Mohon tunggu...
Dona🍀
Dona🍀 Mohon Tunggu... Insinyur - a lifetime student ^^

a woman, book lover, traveller (wannabe). Trying to live like a lily, which can grow and bloom even in a plain. :)

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Culture Shock dalam Berkarier (kembali)

15 Januari 2022   23:35 Diperbarui: 16 Januari 2022   19:51 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Umumnya orang akan mengatakan "ga kerasa ya, udah xx bulan disisi". Tapi untukku itu berbeda, menjalani rutinitas bekerja di tempat baru yang masih hanya 2 bulan terasa sangat melelahkan, terasa cepat tapi terasa berat. Kehidupan baru ini bermula sebagai akibat dari 2018 lalu saya memutuskan resign dari sebuah company di Jakarta dan memutuskan melanjutkan kuliah di negeri lain dengan harapan di masa depan bisa mendapatkan karier yang lebih baik dengan gelar baru, skill yang terupdate dan meningkat, dan pengalaman bertambah. Harapan lainnya adalah bisa berpindah bidang pekerjaan, bukan di sektor manufacturing lagi. Karena menggeluti pekerjaan di bidang ini selama 8 tahun, sejak lulus kuliah undergraduate, saya mengalami banyak tantangan yang cukup menguras emosi. Masalah perburuhan, struktur organisasi, budaya yang sepertinya "wanita" sangat minim berkarier di spesialisasi pekerjaanku, dan banyak hal lainnya membuatku merasa overwhelming. Meskipun karier saya cukup bagus, bahkan aku ditawarkan posisi yang lebih baik sebelum aku resign, ditawarkan kembali ke kantor lagi jika sudah lulus sekolah, etc. Dan group company tempatku bekerja sebelumnya juga memiliki benefit yang terbilang cukup baik dan favorit di Indonesia.

Kuliah dan belajar bahasa lanjutan setelah lulus, membuatku tinggal selama 2,5 tahun di negara lain.  Maret 2021 memutuskan kembali ke Indonesia dan mencoba meniti karier kembali. Ternyata efek COVID 19 membuat mendapatkan pekerjaan yang diimpikan tidak semudah yang dipikirkan sebelum berangkat kuliah. Setelah 3 bulan istirahat full di rumah, bulan Juni aku memutuskan mulai untuk mencari pekerjaan dengan update akun Jobstreet dan Linkedin. Lucky me, waktu mencari pekerjaan, saya ditawari ikut membantu senior kampus undergraduate dulu untuk operasional start up company beliau. Aku ambil kesempatan ini dan tidak memikirkan sedikit pun tentang berapa "benefit"-nya, karena memang pure ingin belajar tentang start up. Saya juga tahu jelas start up tsb juga masih merintis. selama 3 bulan join di start up company, saya hanya sesekali terjun ke lapangan dan mostly bekerja di rumah.

Kemudian, akhir bulan September saya dapat kabar baik dengan adanya beberapa company menawariku pekerjaan via Linkedin.Believe or not, banyak lowongan yang saya apply via Jobstreet untuk bermacam posisi dan satu pun tidak ada yang mengabari. Infonya sih karena pandemi, lowongan di Jobstreet itu hanya pajangan aja. Oh ya, saat itu saya apply juga cpns dosen kemdikbud dan lagi persiapan test SKD. Ketika saya memutuskan untuk fokus ke cpns, ternyata pada saat H-7 test SKD cpns, 4 company yang sama sekali tidak di-apply menawarkan posisi berbeda di dalam waktu yang bersamaan. Setelah menimbang2, akhirnya saya mengikuti interview di 2 company. Hal ini karena saya pikir tentu akan kewalahan dengan semua persiapannya. Saya selalu berusaha mempersiapkan diri semakismal mungkin setiap mau melakukan interview. H-1 test SKD diumumkan kalo posisi di 2 company itu aku lolos. Besoknya, saya tetap ikut test SKD juga, dan thanks God, saya juga lolos untuk next step. 

But, singkat cerita dengan semua perasaan "roller coaster" 2 minggu di akhir September dan awal Oktober, akhirnya saya memilih untuk bekerja di company yang sesuai dengan "passion" dan align dengan pengalaman kerja terdahulu, sector manufacturing. Menurutku ambisi perusahaan tersebut tentang zero carbon target, digitalisasi, industri 4.0, sustainability, etc, mendukung value dan target yang aku punya. Another company is a global company too, but a chemical company.

Di satu sisi lainnya, pilihan ini membuat rencanaku di tahun 2018 untuk lepas dari dunia manufacturing setelah lulus postgraduate menjadi belum terealisasi. Beberapa alasan lain saya memilih company ini juga karena lokasinya di luar Jabodetabek, kota pulau kecil yang nyaman, tidak hectic dan dekat dengan pintu international exposure. Plus pandemi covid 19 benar-benar membuat pilihan hidupku berubah. saya lebih suka di kota kecil yang mana orangnya mungkin tidak se"tidak-peduli" warga Jabodetabek dengan protokol kesehatan. Karena sepanjang penglihatanku saat pandemi ini, sulit sekali melihat masyarakat Jakarta sekitarnya untuk taat prokes, mungkin karena diverse-nya warga dan tingkat perekonomian di Jakarta.

Setelah 2 bulan bekerja di kota baru ini, aku menyadari bahwa kenyataan yang saya alami beneran di luar pemikiranku, iklim kerja yang berbeda, kebiasaan orang yang berbeda, mentoring system yang berbeda, plus beban kerja yang berbeda dengan 2 companies sebelumnya tempatku bekerja. In my opinion, bekerja di company ini beneran kayak "another level of job". Dulu saya hanya bertanggung jawab di bidang technical thingy dan project management, tapi disini saya juga harus memikirkan value addition, menghitung costing RFQ and its breakdown sebelum diteruskan ke Procurement. Plus program digitalisasi company membuat beban pekerjaan bertambah, meskipun koordinasi jadi bisa dimana aja, tapi itu membuat tidak ada batasan waktu dalam bekerja. Saat inilah aku menyadari bawhwa aku mengalami "culture shock" ketika kembali lagi ke dunia kerja. Standar company yang tinggi, efisiensi sumber daya, program digitalisasi industri 4.0 yang juga mengharuskan para supplier mengikuti trend digitalisasi. Menurut pengamatan saya selama 2 bulan ini, para supplier Indonesia masih kesulitan mengikuti program digitalisasi, mereka berpikir no value added ke sistem mereka, sehingga itu berefek langsung pada pekerjaan tim yang berhubungan langsung dengan para supplier (like me) untuk koordinasi masalah teknikal produk. Semuanya terasa menjadi lebih complicated dan berat. Ya, I know setiap perubahan itu memang awalnya berat. Build and implement a new system always never easy.

Di awal bergababung, saya cukup percaya diri dengan pengalaman2 bekerja yang sebelumnya akan membantu pekerjaanku di tempat baru. Tetapi, setalah 2 bulan bekerja membuatku berpikir kembali "what I'm doing here, why I always feel never good enough for this/them, am I that "slow"?". Rasa tertantang dan excited bisa join di company dengan level world class company, global company, pelan-pelan terkuras ketika aku merasa lingkungan ini berbeda dengan yang aku kira, jauh dengan yang aku pikirkan. Belum lagi di kota ini saya merasa beneran sendiri, karena keluarga dekat tidak ada, berbeda dengan di Jakarta, dimana saya dikelilingi keluarga dan sahabat-sahabat dekat. Dan lagi-lagi, disini rekan kerja satu departemen semua laki-laki dan sudah bapak-bapak. Di tempat bekerja sebelumnya, saya juga selalu menjadi wanita satu-satunya di departemen saya, tapi banyak yang single. Untuk berteman dekat dengan rekan dari departemen lain juga sangat sulit. Saya menyadari kalau disini culture "after office hour" tidak sama dengan yang pengalaman di Jakarta sebelumnya. Dulu di Jabodetabek, saya dan teman2 sering sekali untuk hang out after office-hour. Meskipun beda departemen tapi kita selalu dekat dan mencoba mencari hiburan untuk sejenak melupakan tekanan di kantor. Di kota baru ini, culture yang aku lihat adalah after office hour langsung pulang ke rumah masing-masing. Beneran hanya berhubungan di jam kerja dengan rekan kantor. Di kota ini juga saya mengalami bahwa ini adalah hal yang umum menanyakan ke orang yang pertama dikenal "kamu suku apa, agama apa?" dan bahkan hari pertamaku join di company aku ditanya "emang umurmu berapa?". Yes, that's totally a shocking experience, I have a culture shock. Saat ini, di Jakarta menurutku pertanyaan ini sangat jarang ditanyakan orang2, apalagi baru kenal.

Menjalani semua ini dalam 2 bulan ini membuatku sempat berpikir untuk back off dari masa probation ini.  Karena satu hal yang saya dapat dari melanjutkan sekolah ke luar negeri, mengenal lebih banyak orang dengan latar belakang berbeda, mendengar pengalaman mereka, tertanam di pikiranku "kita ga harus bertahan di tempat yang membuat depresi, yang membuat selalu bertanya sama kemampuan dirimu, never feel enough". Bukan berati saya menyerah atau cengeng, atau susah move on dengan zona nyaman. Kerasnya jam bekerja dan sulitnya mempelajari hal baru, waktu istirahat yang cuma 2-3 jam, never ending experiments and report, Prof yang sangat demanding, daily life culture yang sangat berbeda semuanya sudah aku alami saat kuliah postgraduate. Dan aku juga sudah memiliki pengalaman bekerja di 2 company yang berbeda, dan itu juga tidak mudah dan penuh tantangan. Tapi disini semuanya sangat berbeda. Tambahan lagi, aku berpikir some of people around me di kantor sepertinya tidak aware dengan kesehatan mental, not having a "help each other" mindset, dark jokes about woman and sex is common, kepo sama kehidupan orang lain membuat hari2-ku menjadi lebih berat. Plus, kekhawatiranku tidak memenuhi ekspektasi peersku yang cenderung lebih menunjukkan sisi "senioritas" atau mungkin menantang diriku dengan label "experience hired" membuatku juga stress akhir2 ini. Ketika aku bertanya sesuatu malah ditanya balik "menurutmu gimana". :(

But, for now, saya masih mencoba menguatkan diri, mencoba bertahan, mengingat masih banyak orang lain yang kesulitan mencari pekerjaan di masa pandemi ini. Sedangkan saya sangat beruntung dihubungin oleh para talent hunter. Oleh karena itu saya harus lebih bersyukur dan lebih bekerja keras. Saya harus melihat sampai batas mana diriku mampu. Saya harus melihat bahwa orang disekitarku tidak semuanya "mengecewakan", orang baik tetap ada dan nyata, direct superior yang supportive dan appreciate ketika saya bertanya membuatku untuk berpikir optimis kembali: I can do this, I'll grow a lot here. Reminiscing of previous experiences, I put in my mind "worse than this condition, I have been passed". Tidak ada suatu kebetulan di dunia ini, everything is happened for a reason. Every cloud has a silver lining. 

So Ganbatte, Jiayou, Semangat..

PS:  Btw, ada yang mengalami hal yang sama denganku di platform ini? kalo ada, please share and if you don't mind, kindly tell me how you to overcome it. Thank you.

Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun