Mohon tunggu...
Dona🍀
Dona🍀 Mohon Tunggu... Insinyur - a lifetime student ^^

a woman, book lover, traveller (wannabe). Trying to live like a lily, which can grow and bloom even in a plain. :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Karantina Covid-19, Bayar Mahal untuk Menjaga Diri, Free dengan Perasaaan Waswas

27 Maret 2021   13:17 Diperbarui: 16 Januari 2022   00:19 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Disclaimer: saya menulis ini bukan untuk menjelekkan wisma atlit, saya hanya sharing pengalaman saya. Mungkin hari itu saya beneran apes karena mengalami ini, cz Ketika saya share di group FB backpacker, saya sudah di-gas sama beberapa orang, dibilang berhati2 berkomentar, dan jangan menyampaikan informasi bohong. Karena banyak yang juga yang tidak terima dengan pengalaman saya, pengalaman mereka berbeda. Saya beneran berharap bahwa, hanya saya yang apes dan memang hanya hari itu aja ada kejadian seperti itu. Semoga...

Ini saya mau share pengalamanku tentang harus karantina 5 hari karena baru pulang dari Taiwan setelah selesai studi. Karena peraturan pemerintah yang mengharuskan karantina selama 5 hari di Jakarta, rencana yang awalnya saya melanjutkan penerbangan ke Medan, jadi harus ditunda. Dari Taiwan, sebelum penerbangan saya harus menyediakan report bebas COVID-19, PCR test result yang harganya kalo di Taiwan sekitar 3.5 juta rupiah. Mudik ke Indonesia itu di masa-masa COVID ini memang kayak bakar duit.

Nyampe di Soekarno Hatta, kita harus isi data eHAC dan report ke Satgas COVID untuk nanti ditentukan dimana tempat karantina. Karena saya adalah pelajar, saya berhak di wisma atlit. Oh ya, pengalaman untuk isi data eHAC itu sendiri sangat melelahkan. Saya dari Taiwan sudah wanti-wanti dengan download aplikasi dan coba isi dari Taiwan. Karena saya selalu mengikuti perkembangan berita kepulangan ke Indonesia. Tapi, setiap coba submit data, selalu crash. Okaylah, saya pikir di Soekarno Hatta nanti bisa diisi. Ternyata sampai di Soetta, masalah baru muncul, koneksi wifi sulit didapat, beneran ga bisa, dan dengan banyaknya WNI yang pulang dan tidak bisa connect ke internet, bisalah kalian bayangkan banyaknya complain dan riuhnya suasana antri saat itu. Saya butuh 1.5 jam dari landing dan akhirnya bisa submit data saya. Itupun harus lewat web browser, bukan aplikasi eHAC. Pada saat saya isi data, nanya ke petugas yang standby di Soetta "kenapa data saya crash melulu", Bapak itu tidak paham kenapa ga bisa, trus disuruh tanya ke pihak Kemenkes. Sebenarnya saat Bapak itu jawab, "saya kurang tahu", jujur saya kesel banget "kalo begitu Bapak buat apa disini, kalo tidak bisa menjelaskan gimana penggunaan aplikasi ini?", dan setelah maju ke depan nanya petugas Kemenkes, dijawab "oh, Ibu pakai iPhone ya, kalo di iPhone memang ga bisa, isi via web aja". Oh My God, pengen kuteriak rasanya, kalo gitu ngapain bikin aplikasi di App store kalo memang crash. Tapi saya tetap mencoba sabar, memahami mungkin mereka juga capek, dan saya sendiri juga sangat capek cz berangkat dari Tainan ke Taoyuan itu dari jam 11 malam untuk flight jam 9 ke Indonesia.

Next, antri bus mau ke wisma atlit. karena saya banyak pulang dengan saudara2 yang pekerja migran, maka antri untuk wisma atlit pun tidak kalah riuhnya. Hal yang sangat saya heran adalah, ketika saudara2 kita itu tidak bisa menjaga jarak, dan setiap ada bis, rebutan mau sampai tidak peduli orang lain. Saya sampai beberapa kali ngomong, mba tolong jaga jarak. Padahal petugas TNI juga sudah mengarahkan supaya per 20 orang yang berangkat. . Dan semua pasti dapat bus. Saat di bandara saya pikir, ya udahlah, ga apa2 kali ya, cz mereka ini semua punya hasil PCR yang negative. Mencoba untuk berpikir positive. Oh ya, sebelumnya banyak info kalo di wisma atlit itu tidak recommended untuk karantina, cz seruangan diisi bertiga. Tapi saya tetap memilih untuk tinggal di wisma atlit, berhubung tabungan semasa studi sudah semakin menipis, dan saya yakin dengan pemerintah Indonesia yang sudah sangat baik memberi fasilitas gratis. Buat saya, karantina tidak perlu fasilitas hotel, yang penting aman, bersih, dan protocol kesehatan penting.

Akhirnya saya dapat giliran naik bus ke wisma atlit Pademangan, di dalam bus, protocol Kesehatan dijalankan, tiap bangku diiisi 1 orang, cool, saya pikir. Trus berapa saat kemudian, ada penjual kartu yang masuk ke bis, menawarkan kartu Indonesia, saya pikir okaylah, coz banyak butuh untuk menghubungi keluarga, dan mereka tetap pakai masker kok. Sepanjang perjalanan dari bandara ke wisma atlit saya beneran kaget melihat masyarakat kita yang ada di luar, ada yang pake masker, ada juga yang tidak. sedih melihatnya. Karena kalo ingat di Taiwan, meskipun kasus local nol, semua orang ketika di luar rumah selalu pakai masker dan ketika berkumpul juga pakai masker.

Berapa saat kemudian, tibalah bis di wisma atlit. Saya kaget di depan halamaan wisma atlit, banyak sekali pedangang makanan, mulai dari baso, nasi goreng, peyek dan es campur. Oh My God, ada apa ini? Sudah kayak pasar malam di Taiwan. Bukannya harusnya kawasan ini steril ya? Ya benar sih di luar gerbang wisma atlit, tidak masuk ke dalam, tapi tetap aja kan mereka jual di kawasan yang mungkin akan kontak dengan penguhuni wisma atlit? Saya terdiam dan shocked melihat itu, sampai ada nenek2 masuk jualan peyek bilang: neng jangan melamun, padahal saya tidak melamun, saya shock pengen nangis.  Bis kami berhenti dan menunggu antrian ke dalam wisma atlit. Karena memang hari itu banyak banget yang transfer ke wisma atlit. Pas bis berhenti, masuklah penjaja makanan ke bis menawarkan makanannya? Dan beberapa dari meraka ga pakai masker. What?? Saya beneran kaget. Kok bisa? Rasanya pengen menangis, karena memang sudah sangat lelah dan kaget dengan semua ini. Kalo dibilang parno dan lebai, saya tidak paham lagi sih, tapi saya memang takut terinfeksi karena kondisi kurang fit dan perjalanan yang melelahkan.

Kemudian masuklah petugas TNI, Bapak yang sangat tegas menjelaskan tentang aturan di wisma atlit, informasinya cukup jelas dan beliau menjelaskan bahwa kerumumunan ini tidak seharusnya ada, tapi dengan alasan "kemanusiaan" dan "life must go on" mungkin, terjadilah ini semua. Dan karena ada beberapa peserta karantina tidak taat aturan, makanya ada beberapa ada yang karantina, yang awalnya negative jadi positif selama karantina. Mendengar itu saya semakin shocked. Apalagi nanti saya harus seruangan dengan 2 orang yang tidak saya kenal, saya tidak tau aktifivas mereka kemana, dan ketika saya lengah, saya bisa saja jadi terinfeksi. Jujur saat itu, saya beneran takut dan parno. Trus Bapak itu menanyakan apakah ada yang mau ditransfer ke hotel dengan biaya sendiri? Dan tanpa pikir panjang saya angkat tangan karena saya sudah sangat lelah sekali, ingin segera istirahat tanpa harus berada di kerumumunan orang (peserta karantina) di halaman wisma atlit. Thank God, ada option ini. Saya harus menguras tabungan saya lagi, tapi tidak apalah, karena saya khawatir saya tidak bisa jaga diri selama di dalam wisma atlit, lengah ketika tinggal dengan orang yang tidak saya kenal.

Turun dari bis, bagasi kita sudah diturunkan, kita disuruh cuci tangan, dan antri untuk registrasi. Karena saya minta ditransfer ke hotel dengan biaya sendiri, saya diarahkan ke sisi lain. Saya melihat untuk prosedurnya memang sudah benar, dan ada jarak saat registrasi. Saya melihat penjelasan dari mba2 nurse dan petugas TNI yang teriak2 mengarahkan. Saya yakin mereka sudah sangat lelah. Dan saya beneran marah melihat orang2 di halaman wisma atlit yang berkumpul. Kenapalah mereka tidak sabar untuk 5 hari aja karantina tanpa bergerombol tanpa pesan makan dari penjaja di luar gerbang, karena setau saya makanan yagn disediakan di wisma atlit sangat layak. Kenapa mental kita rakyat Indonesia ini tidak bisa taat untuk hal sepele kayak gini. Yang kita hadapi saat ini adalah pandemic yang tidak terlihat, tapi efeknya nyata. . Karena keegoisan kita, mungkin nyawa orang lain akan terancam. .

Sekali lagi. saya menulis ini bukan untuk menjelekkan wisma atlit atau menakut2i orang lain. Saya sangat berterima kasih dan bangga dengan pemerintah Indonesia yang memberi fasilitas ini, karena beberapa negara yang saya tau, semuanya dibebankan ke rakyatnya. Tapi yang saya ingin sampaikan, ayuklah kita warga Indonesia lebih taat dan lebih memikirkan orang lain. Kalo kita ignorance, pandemic ini akan sulit hilang dari negara kita, kita akan menderita lebih lama lagi. Kita bisa jadi orang yang beradab dan taat aturan bukan dari segi bependidikan tinggi ato tidak, kaya miskin, orang kota atau desa. Tapi memang basicnya kita semua manusia adalah sama, dan seharusnya adab itu adalah hal mendasar. Thanks buat petugas yang sudah bekerja keras dan semangat selalu, semoga diberi kesehatan dan kesabaran. Semoga covid segera berakhir dari Indonesia, dan kita bangkit lagi. Indonesia bisa.

Salam..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun