Mohon tunggu...
D Jesshecha S
D Jesshecha S Mohon Tunggu... lainnya -

Menjadi sukses itu impian setiap orang. Akan tetapi menjadi orang berarti bagi banyak orang adalah impian utama saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu Cinta yang Kurang

4 Juni 2013   06:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:34 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ibu biasa-biasa saja. Ibu bukanlah seorang perempuan yang cantik dan kaya. Ibu ,cinta yang kurang. Sekarat di antara luka dan doa. Bahkan ibu merasa sesekali abstrak, menyadari ayah kini ada di pelukan perempuan lain. Mendapati rumah bukan lagi tujuan pulang. Ya, itu kenyatan yang begitu menyakitkan.

Sesungguhnya, aku tidak pernah menuntut terlalu banyak dan berkhyal terlalu tinggi. Aku hanya ingin ibu seperti dulu lagi. Ibu yang cinta dan merasa cukup dicinta. Tapi rasanya masa- masa itu tidak akan pernah terulang kembali. Beberapa tahun ini, aku tidak pernah merasakan kebahagiaan. Dirumah yang ada hanya pertengkaran, pertengkaran dan pertengkaran.

Melihat rumah ini, kadang-kadang menghadirakan kemarahan dalm hatiku. Betapa tidak, setiap saat ibu selalu bilang rumah ini hanya milik kami bertiga, terkecuali ayah. “rumah ini milik kita ,Ara. Hanya milik kita bertiga. Ibu,kamu dan Dafa. Aku benci ibu setiap kali mendengar kalimat itu. Aku juga benci diriku yang selalu saja nggak bisa mengerti apa tujuan ibu mengatakan itu. Dan diatara semua itu aku lebih benci ayah yang tidak pernah lagi perduli dan melupakan tanggung jawabnya pada kami bertiga.

Aku hanya tau ibu membenci ayah lebih sedikit dibandingkan dengan rasa cinta ibu pada ayah. Dan kebencian itu berawal dari ayah menikah dengan tante Hanum, teman masa kecil ayah. Ibu semakin sekarat karena cinta. Cinta yang kurang. Aku dapat merasakan semua itu menekan ibu. Aku mungkin akan lebih sedikit tenang dan terhibur, jika aku bisa memberikan jalan keluar untuk itu. Tapi, disaat aku berusaha membantu ibu, aku kembali dihadapkan pada kenyataan yang membuatku semakin sedih dan marah.

Nggak pernah terlintas di pikiranku jika keluarga ayah akan semakin menghancurkan keluarga kami. Keluarga ayah menyalahkan ibu atas semua yang terjadi. Meraka menyalahkan ibu nggak pernah memperhatikan ayah. Ibu hanya bisa diam, meski aku tau pasti ibu terluka mendengar semua itu. Dan aku juga hanya bisa diam dengan perasaan jengkel dan marah.

Tapi aku nggak mungkin membiarkan mereka terus-terusan menyalahkan ibu. Setiap kali kudengar mereka menyalahkanibu. Dan aku nggak cukup ahli meredam emosiku. Aku membela ibu dan terus menyalahkan ayah. Hingga tanpa aku sadari pembelaanku pada ibu telah menghadirkan amarah di hati ibu. Hingga nggak dapat kuhitung dengan jari , berapa kali ibu menamparku.

Argh,,,. Aku jadi benci ibu yang selalu meluapkan kemarahannya padaku. Aku benci ibu yang terlalu mencinta hingga nggak sanggup kehilangan. Aku benci semua ini.Semua ini begitu menyiksaku. Bahkan ayah kini semakin asyik dengan tante Hanum. Sementara ibu, masih sah sebagai istri ayah. Aku tau ibu memang pernah menyinggng soal perceraian, tapi ayah menolak. Dan ibu menurut saja apa yang ayah katakana. Hal yang membuatku semakin membenci ibu. Ibu yang terlalu mencinta, hingga menjadi demikian aneh dan naïf bagiku.

“Kasihan sahara dan Dafa. Mereka masih butuh bimbingan dan kasih sayang.”

Fuihh!!! Aku meludah mendengar kalimat ayah. Sumpah demi Tuhan, bumi dan segala isinya aku benci ibu. Aku benci ibu yang kini tidak jauh beda dengan ayah. Dafa sudah seminggu tidak pulang kerumah dan aku sudah seminggu mangkir dari sekolah, ibu juga biasa-biasa saja.

Itulah ibu. Ibu yang biasa-biasa saja. Ibu yang sekarat diantara asa dan luka. Ibu cinta yangkoma. Aku tidak tau kapan ibu kembali sebaik dan selembut dulu. Kapan ibu nggak akan menampar pipiku lagi.

Seandainya aku seorang sastrawan, akan kutulis semuanya ini kedalam novel. Agar semua yang membacanya terhanyut, terlena dan sampai meneteskan air mata. Tapi aku bukanlah satrawan. Aku adalah Sahara. Anak belasan tahun yang masih dianggap ibu belum pantas ikut memikirkan keluarga. Anak belasan tahun yang masih menganggap ketidakpulangan Dafa sebagai suatu kebiasaan.

Aku ingin ibu tersadar dari cintanya yang kurang. Tanpa beban pikiran yang perlahan-lahan meracuni otak ibu dan membunuhnya. Ingin sekali ku putar waktu dan kembali ke masa itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun