Apa kerja wartawan di Jambi? Itulah pertanyaan Bung Iwan Piliang kepada saya dalam postingnya. Mantan Sekjen PWI Reformasi itu tidak bermaksud menyinggung perasaan saya apalagi kami memang sudah kenal akrab saat bersama almarhum Budiman S Hartoyo membesarkan PWI Reformasi. Tetapi pertanyaan tersebut membuat saya sedikit "tersinggung" karena bagaimanapun saya masih dikenal sebagai wartawan (penulis) di Jambi kendati sejak hampir lima tahun silam saya sudah mundur secara teratur dan memilih menjadi citizen reporter di beberapa media online walau tidak mendapat honor. Bung Iwan Piliang merasa wajar melontarkan pertanyaan tersebut kepada saya karena beliau juga sering mendapat laporan tentang sejumlah kasus "perampokan" lahan rakyat oleh pengusaha-pengusaha besar di Jambi untuk dijadikan Hutan Tanaman Industri (HTI) sebagai bahan kebutuhan pabrik pulp di daerah ini. Fenomena ini juga terjadi di Riau, dan sudah berlangsung puluhan tahun.
Kini tak secuilpun lahan baru yang bisa digarab oleh petani karena semuanya sudah habis "dijual" oleh pemerintah daerah. Salah satu contohnya terjadi di Kabupaten Tebo. Kasus ini sudah dilaporkan masyarakat dan LSM ke Kejagung dan KPK. tetapi tetap saja tidak ampuh. Jujur (tanpa bermaksud membela diri), saya dan beberapa teman wartawan termasuk LSM sudah sering meneriaki masalah ini, tetapi itu tadi, ibarat kata pepatah lama "anjing menggonggong kapilah tetap berlalu". Kurangnya presure dari media dan LSM juga menjadi salah satu penyebab mengapa kesewenangan ini masih terus berlangsung.
Sekedar ilustrasi, sejak media massa di Jambi dimiliki oleh grup besar yang lebih mementingkan keuntungan bisnis ketimbang membela rakyat, maka disinilah letak persoalan kenapa "pedang" wartawan di Jambi menjadi tumpul. Sayapun menjadi miris ketika melihat kawan-kawan wartawan yang lebih banyak berburu iklan ketimbang berburu berita yang bagus. Berita-berita investigasi untuk membela kepentingan rakyat sangat sulit ditemui di media apapun di daerah ini. Kalaupun ada bukanlah berita investigasi dan tidak pernah adanya verifikasi terhadap masalah yang dikemukakan. Hasilnya, tentu saja lebih banyak berpihak kepada pengusaha yang nota bene adalah sumber iklan mereka.
Celakanya lagi, hampir semua media di Jambi menjadikan Pemda sebagai sumber iklan yang empuk. Entah berapa milyar rupiah tiap tahunnya dikeluarkan pemda untuk membayar semua iklan-iklan advertorial yang hampir tiap hari menghiasi wajah media di Jambi. Bayangkan, Gubernur atau Bupati yang melakukan kunjungan kerja ke sebuah desa terpencil saja dijadikan iklan advertorial. Padahal ini adalah berita yang bagus dan seyogyanya media wajib memberitakan peristiwa tersebut tanpa harus minta dibayar dalam bentuk iklan. Pendek kata, bila Gubernur atau Bupati ingin beritanya bagus harus bayar. Setiap hari wajah media cetak di Jambi penuh dengan advertorial.
Para wartawan yang hanya digaji tidak lebih dari Rp 1 juta perbulan, mau tidak mau harus berburu iklan dari pemda dan pengusaha untuk mendapatkan fee iklan dari kantornya. Inilah yang menyebabkan kenapa orang-orang yang sudah berbuat zholim terhadap rakyat seperti halnya para pengusaha yang sudah terang-terangan merampok tanah rakyat, tenang-tenang saja lantaran semua persoalan terhadap pers bisa diatasi dengan iklan dan (maaf) angpou kepada oknum-oknum wartawan yang hidupnya memang pas-pasan. Integritas para jurnalis memang tengah dipertaruhkan secara murah di daerah ini.
Saya tidak bermaksud mencerca mereka, bahkan terkadang terpaksa harus bisa "memaklumi" kenapa mereka mau melakukan hal itu. Idealisme tanpa pemenuhan kebutuhan materi juga sesuatu yang tidak ada artinya kalau tidak mau kita sebut dengan "omong kosong". Sesungguhnya "pemberontakan" kawan-kawan wartawan (barangkali juga wartawan di daerah lain) terhadap rendahnya kesejahteraan yang diberikan perusahaan tempat mereka bekerja, sepertinya sudah tidak ada artinya lagi.
Saya tidak skeptis menghadapi hal ini. Tetapi sejak lima tahun lalu saya merasa lebih baik mundur dari tempat saya bekerja karena khawatir suatu saat saya juga kena penyakit "wartawan pemburu iklan". Apalagi saya memang tidak pandai mencari iklan dan tidak pernah belajar menjadi account executive. Tetapi, apapun alasannya, saya kira ini tetap menjadi agenda penting bagi siapapun yang merasa peduli terhadap nasib kawan-kawan wartawan di daerah, termasuk yang ada di Jambi. Bila tidak, kondisi ini akan terus menjadi budaya yang akhirnya tidak bisa lagi diubah. Sehingga hak rakyat untuk mendapatkan informasi yang sesungguhnya telah dikebiri oleh pers-pers kapitalis.
Apa kerja wartawan di Jambi? saya pikir mereka terus berharap adanya perbubahan. Mereka juga butuh pertolongan dan perhatian, sama halnya para buruh pabrik yang mendapat perlakuan yang tidak adil oleh perusahaannya. Bagaimanapun, wartawan adalah "pejuang" demokrasi dan penyambung lidah rakyat. Andaikan saya punya kekuasaan untuk membredel media massa yang sudah sewenang-wenang terhadap wartawan, maka hal itu akan saya lakukan hari ini juga!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI