Mohon tunggu...
Dora Sembada
Dora Sembada Mohon Tunggu... -

sembada lan ora dora

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tentang Menilai Presiden Kita

14 Mei 2015   08:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:04 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selalu ada keanehan dalam menilai presiden kita, karena penilaian yang terjadi dapat begitu ekstrem perbedaannya, antara yang sangat mendukung, menyanjung-nyanjung dan memujanya setinggi langit, seolah dia tokoh dan nabi yang tak pernah salah, hingga mereka yang mengecam, merendahkan, bahkan melecehkan, seolah seorang yang sama sekali tidak punya kapasitas untuk menjadi pemimpin. Hal ini sebenarnya bukan hal baru, karena sejak zaman Soekarno hal itu sudah terindikasi terjadi. Kita kenal misalnya para pemuja Soekarno yang menganugerahi presiden pertama itu dengan berbagai gelar, dari Pemimpin Besar Revolusi, Presiden Seumur Hidup, dan sebagainya. Di sisi lain, ada juga para penentang yang cenderung menjauhinya, bahkan mantan Dwi Tunggalnya, Bung Hatta juga memutuskan untuk berpisah jalan karena merasa tidak sepaham. Saya mungkin tidak banyak bercerita tentang kondisi masa itu, karena tidak mengalami sendiri dan hanya membaca dari berbagai literatur.

Di era Soeharto, kondisi yang terjadi juga tidak banyak berbeda. Ada banyak penyanjung dan pengikut, yang seringkali juga para penjilat yang mengaminkan segala sesuatu yang disampaikan oleh Pak Harto. Kita kenal banyak golongan, terutama yang berafiliasi dengan Golkar, yang mendukung segala kebijakan Soeharto, benar ataupun salah.Namun demikian, dalam kondisi semacam itu, masih juga ada yang berani menentangnya, misalnya yang dilakukan oleh kelompok Petisi 50, yang berisi para mantan pejabat dan intelektual yang berani menyuarakan hal yang berbeda dengan kebijakan Soeharto, terutama mengenai Dwi Fungsi ABRI dan asas tunggal Pancasila. Kita lihat bagaimana Soeharto dengan kekuasaanya waktu itu mampu untuk mematikan gerak langkah para penentang itu, bahkan hingga ke anak turunnya.

Di era Habibie, masa transisi yang serupa badai itu, kita dapat melihat bagaimana seorang Teknokrat harus menanggung beban yang begitu berat, seringkali hanya karena dia adalah 'mantan' anak kesayangan Soeharto, sehingga dia harus menerima kenyataan ditolak pertanggungjawabannya oleh MPR yang berkuasa ketika itu. Meskipun harus diakui, Habibie adalah presiden yang menurut saya paling bersih dari kepentingan kekuasaan itu sendiri. Beliau ibaratnya seorang yang nothing to loose, karena kalaupun kekuasaan itu tidak dia dapat, dia memiliki reputasi yang diakui di dunia lain, yaitu pakar teknologi penerbangan. Namun karena keputusan-keputusannya yang terkesan teknokratis dan nir politis, menjadikannya sasaran tembak yang empuk dari berbagai lawan politik yang tentu sangat berhasrat untuk memegang kekuasan. Akhirnya tersingkirlah beliau, dengan hanya sedikit pendukung yang tetap setiap di belakangnya, yang kapasitasnya mungkin tidak dapat disejajarkan dengan berbagai tokoh politik pengejar kekuasaan lainnya. Kita sebut yang beberapa itu seperti Pak Ahmad Watik Pratiknya dan Dewi Fortuna Anwar.

Selanjutnya, era Gus Dur, kita disuguhi kegaduhan politik yang disebabkan oleh ucapan dan tindakan presiden yang memang terkesan semau gue, walaupun di belakang hari, kita mengetahui beberapa kebijakannya yang terbukti bervisi jauh, misalnya mengenai pendirian Kementerian Kelautan dan Perikanan, penetapan Menteri Pertahanan yang dijabat oleh sipil dan berbagai kebijakan terkait multi etnis dan agama. Langkah-langkah pruralistik yang dilakukan beliau mudah menjadi sasaran tembak mereka yang menganut keagamaan 'garis keras'. Pendukung fanatik Gus Dur ditengarai muncul dari kalangan NU dan PKB yang membela mati-matian junjungan yang seringkali diangkat setaraf wali itu. Langkah-langkah demokratis yang diambil walaupun seringkali tampak otoriter menjadi ajang para pemburu kekuasaan untuk berjuang menjatuhkannya. Dan terjadilah itu kemudian.

Era Megawati mungkin terkesan adem ayem, sesuai dengan kepribadiannya, walaupun banyak hal terjadi sebenarnya dalam era ini, seperti penjualan BUMN dan kasus BLBI. Tidak banyak yang saya ingat mengenai konflik-konflik yang terjadi baik antara pendukung maupun penentang pada era ini. Mungkin karena rezim ini sebenarnya hanya rezim lanjutan, sehingga semua bersabar menunggu Pemilu berikutnya.

Selanjutnya di era SBY yang mencapai dua periode kita mengenal bagaimana dukungan kuat dari para kader Demokrat yang cukup fenomenal sebagai partai baru yang langsung mampu mengusung presiden. Walaupun hal ini tidak terlepas dari ketokohan SBY dan kemampuannya memoles dan menjual citra yang positif meskipun dengan berbagai cara, termasuk kesan teraniaya. Kesan hati-hati, santun, namun juga memunculkan kesan keragu-raguan membuatnya menjadi sasaran tembak berbagai kalangan, terutama PDIP yang merasa Ketua Umumnya dipecundangi oleh presiden baru yang merupakan mantan anak buah yang dianggap tidak tahu diri itu. Bahkan seringkali, beberapa anggota dari Sekretariat Gabungan, terutama PKS yang memilih posisi berseberangan dengan kebijakan presiden. Namun demikian, SBY akhirnya mampu selamat menjalani dua masa pemerintahannya, meskipun terdapat beberapa kasus yang menggoyang, terutama skandal Century.

Tibalah era presiden terakhir, yang sebetulnya sungguh membuat tanya. Bagaimana bisa orang yang bukan pemimpin partai, hanya berpengalaman memegang jabatan level walikota, kemudian gubernur yang sebagaimana jabatan walikota juga tidak diselesaikan, yang tingkat keberhasilannyapun masih diperdebatkan, akhirnya mampu menjabat sebagai presiden dengan mengalahkan tokoh lain yang mungkin memang mudah menjadi sasaran tembak karena jejak masa lalunya yang dinilai kelam terkait HAM. Presiden ini, dengan kapasitas yang belum sepenuhnya teruji, akhirnya dipilih oleh sebagian lebih sedikit rakyat, namun dipandang seolah-olah pemimpin besar yang telah berprestasi. Segala langkah dan keputusannya dapat dilihat dari persepsi yang positif, bahkan mungkin ekstra positif, seolah-olah tanpa cacat dan salah. Dengan mudah kita dapat menemukan banyak tulisan orang-orang yang menyanjung Jokowi seolah nabi yang tanpa salah, dan dengan mudah tulisan-tulisan tersebut mendapat tempat terhormat yang menjadikan suaranya terdengar nyaring, walaupun isinya di bawah standar: kualitatif, tanpa data, tanpa fakta, hanya berisi subyektifitas dan dugaan-dugaan sesaat. Para penulis itu, dengan mengusung asumsi dan kadang-kadang halusinasi, mampu menilai Jokowi seolah pemimpin besar setara pemimpin dunia lainnya, sekaligus melecehkan dan mengentuti pakar-pakar seperti Yusril Ihza Mahendra dan pemegang keilmuan yang berkompeten lainnya, seolah pendapat para pakar itu hanyalah sampah.

Menyedihkan melihat fenomena ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun