Sidang Jessica Sianida telah bergulir cukup lama sejak tanggal 15 Juni 2016. Kini, lima bulan kemudian, season finalebelum juga dicapai. Padahal, 28 episode telah berlalu. Apa gerangan yang membuat persidangan ini tak kunjung usai?
Selain permasalah teknis, dalam sidang ke-27, Jaksa Penuntut Umum mengemukakan poin-poin yang memberatkan Jessica. Salah satunya adalah ia membangun alibi yang berbelit-belit untuk mengaburkan fakta untuk menghambat proses penegakkan hukum. Tentu perlu diingat bahwa Jessica secara konsisten berbohong di ruang sidang. Belum lagi Penasehat Hukumnya kerap mendatangkan ahli-ahli yang kredibilitas dan kesaksiannya patut dipertanyakan.
Jessica seperti membuat drama di ruang sidang. Akibatnya, proses sidang menjadi mirip dengan sebuah panggung sandiwara. Tiap jam berita baru di-update secara online agar tidak ada yang tertinggal informasi. Berbagai media televisi menyorot hal semacam ini secara rutin, dan membuat proses sidang tampak seperti sinetron favorit keluarga Indonesia. Spotlight ini juga lah yang lalu memecah opini masyarakat.
Saat kasus ini masih hangat, mungkin kesimpulan naif sangat mudah terbentuk. Bukti sementara mengarah ke arah pihak yang sama. Namun, akibat sidang yang dipanjang-panjangkan dan pemberitaan yang terus-menerus, kini opini terbelah. Ada juga pihak-pihak yang yakin bahwa Jessica tidak bersalah.
Pemberitaan masif ini juga memenuhi rasa penasaran masyarakat akan cara membunuh yang tergolong baru ini. Sianida: sebuah alat pembunuh ukuran kantong. Saya pikir kasus semacam ini hanya ada di komik Detective Conan. Rupanya di dunia nyata pun begitu adanya. Masyarakat jadi mengenal substansi yang dapat membunuh tanpa jejak. Lihat saja betapa sulitnya jejak sianida di tubuh Mirna ditemukan. Mudah-mudahan saja kasus ini tidak menjadi inspirasi oleh pihak-pihak yang ingin membalas dendam.
Lewat berita televisi dan online, mereka melihat betapa mudahnya merenggut nyawa orang dan lolos dari kasus tersebut dan; berharap hal serupa terjadi juga pada mereka. Tidak hanya mengambil emas, mereka pun memilih cara yang kejam dan menyiksa. Betapa kuatnya peran media dalam menanamkan ide di masyarakat.
Untungnya, nasib lebih bijaksana kali ini dan para pelaku pun dijerat oleh Kepolisian. Namun, tidak bisa dikesampingkan sebuah kenyataan bahwa ide membunuh dengan sianida ini mulai merambat dari otak ke otak. “Media is the right arm of anarchy,” mengutip Dan Brown. Bukan tak mungkin anak-anak kita ‘terinspirasi’ dari kasus yang sama. Alangkah baiknya kita kembalikan fungsi media sebagai agen kebenaran, dan segera tutup drama TV di meja hijau ala Jessica dengan vonis yang adil seadil-adilnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H