Tertatih-tatih raga berjalan pada pinggiran talun sehabis hujan. Basah. Daratan tampak becek, air yang terus menerus bergemericik. Kaki raga terseok-seok berdecik membelah genangan kecil air. Tampak raga memegangi pergelangan tangannya, erat. Hingga urat nadi membiru terlihat di bawah siku.
Jiwa berkeliling-keliling di atas bangkai mobil sedan yang terbakar. Ia melihat kerangka yang mengepul asap kecil di kaca spion. Badan mobil yang tadinya putih sebagian menghitam oleh api, sampai bagian tengah badan mobil. Kaca depan menganga, berlubang besarnya segenggam batu. Mirip editan gambar di photoshop agar terlihat mendramatisir. Tapi, ini terlihat nyata, dan memang nyata.
Jiwa mengarahkan pandangannya ke belakang kepulan partikelnya. Sejajar dengan mobil, tampak kacau balau, puluhan bahkan ratusan batu berserakan. Bukan, itu bukan batu, lebih kecil dari sebuah batu, kerikil. Berwarna keemasan dan sedikit penyok. Jiwa mendekati jalanan yang berkerikil itu, berputar-putar sesaat. Kemudian meninggikan terbangnya. Sontak kaget, itu bukan kerikil keemasan, tapi selongsong peluru kosong yang entah dimana mata pelurunya.
Mata sang raga terasa lelah, pandangannya mulai kabur. Ia hampir tak sadarkan diri karena kehausan. Sejauh mata memandang, terlihat puing-puing.
“Apakah sudah selesai?” raga bergumam sendiri hampir pingsan.
Tiba-tiba tubuhnya terjelembab ke tanah. Pipi kanannya mengenai permukaan aspal jalan yang basah, dadanya tersungkur dilindungi oleh lengan kanan. Dia jatuh dengan tengkurap, punggung menghadap langit.
Wajah raga nampak basah oleh air dari aspal, menetes ke ujung hidung dan jatuh lagi ke bumi. Samar, di depan pelupuk matanya persis ada kubangan berwarna merah. Membelalak dan terangkat alis raga, ia jatuh di simbahan darah yang memerah. Aliran yang tadi ia injak bukan air sembarang air, itu darah. Darah manusia yang mengalir sebatas mata kaki, deras melaju seperti parit.
Seketika kembali badannya lunglai lemas, tak sadar apa yang terjadi.
Dari jauh jiwa kembali menatap luasnya jalanan mati itu, sepi dan hening. Sayup-sayup terdengar tangisan, merintih sebuah rasa kesalahan yang begitu amat.
“Siapa gerangan yang menangis?” ujar jiwa penuh keheranan.
“Bukankah puing-puing ini telah koyak mati dimakan peradaban busuk”
Sekelibat cepat jiwa terbang penasaran mencari sumber sayup-sayup suara tangisan. Ia berputar-putar pada lampu penerang jalan, mencari turun di bawah jembatan. Menembus bangkai-bangkai kendaran yang sudah tak berpemilik. Jiwa memumbung tinggi ke angkasa, diam sejenak diantara awan mendung. Memejamkan indranya dan mulai menatap ke bawah. Nampak seonggok daging hangus bergeliat-geliat seperti ulat. Layaknya merpati, ia menukik ke daratan menghampiri sosok itu.
Raga merasakan dingin. Ada angin datang seperti akan hujan lebat. Ia masih lemas dan tetap tergeletak di atas aspal. Bahkan hampir tak sadarkan diri. Sesaat raga menyatukan pelupuk mata yang kotor akan darah kering.
“Ku pejamkan mata sejenak, mungkin Tuhan belum mau mengambil rohku sekarang. Biarkan aku istirahat sejenak, tak kudengar ada burung pemakan daging yang akan menyantap punggungku. ” bisiknya dalam hati. “Semoga ada keajaiban nanti saat ku buka mata, jika tidak maka aku adalah bangkai yang sudah menggoreskan kebaikan untuk bumi ini”.
Belum sampai beberapa detik matanya terpejam, datang sekumpulan partikel asap. Putih pekat. Berputar-putar mengelilingi tubuh raga.
“Kenapa kau raga teronggok sendiri di sini?” kata jiwa setengah berteriak di sisi muka raga yang tergeletak pada aspal. “Kau nampak koyak bersimbah darah. Adakah gerangan kau sama dengan puing-puing hangus itu?”
Raga tak jadi pingsan, matanya setengah membuka, bibirnya mengecap semampunya.
“Tolong… to..to..long”
“Kau asap putih, kaukah izrail yang sangat tenar di telinga orang naza’?”. Berusaha raga menggerakan bibirnya. “Kalau iya, kenapa kau datang sekarang?. Masih banyak hal yang harus aku selesaikan dalam setengah abad hidupku nanti”.
Jiwa keheranan, ia tak menyentuh raga dalam beberapa waktu. Kembali ia berputar-putar mengelilingi tubuh raga. Benar-benar mengenaskan.
Sekejap jiwa menghempaskan partikelnya ke tubuh raga yang terbaring telungkup. Wajahnya kini menghadap langit, kaki dan tangannya membuka ke samping kanan serta kiri raga. Ia terlentang bebas.
Jiwa mencoba mendekati batang hidung raga yang terengah-engah. Mulutnya masih mencoba berkata-kata namun tak satupun kata yang terdengar jelas.
“Hei raga, tak kenalkah suaraku ini?” Bisik jiwa di dekat telinga raga. “Kenapa keadaanmu begitu mengenaskan? Apa yang sedang kau perlakukan pada dirimu?”
Raga tak menjawab, ia tenang tertidur dalam beberapa waktu. Jiwa melingkarkan partikel, membentuk oval seperti bola football. Diam sejenak, seketika ia menghembuskan semacam Kristal kecil ke mulut raga.
Semenit kemudian raga terbangun, ada rasa segar terasa di pinggang dan sekujur tubuhnya. Tapi, rasa nyeri masih tetap terasa.
“Bagaimana tidurmu semenit lalu wahai daging hangus?” ujar jiwa yang sudah terduduk disamping kiri raga, sambil mencibir dan menatap pepohonan di bahu jalan.
“Aku terkoyak oleh peluru tajam, dijilati semburan api, saat aku meminta keadilan?” jawab raga sambil terlentang menatap langit.
“Adakah kau tahu wahai jiwa, keadilan dan kebenaran harus tetap berdiri tegak di bumi ini. Tapi itu bukanlah hal mudah, butuh darah, butuh pengorbanan” Sembari raga menutup mata dan menghela nafasnya.
Jiwa memutar partikelnya menghadap raga, tersenyum berkata, “Keadilan dan kebenaran tak butuh darah dan korban, mereka hanya butuh diplomasi, kepercayaan dan …”.
“Apa kau bercanda jiwa?” potong raga dengan tetap memejamkan mata.
“Dari dahulu keadilan dan kebenaran harus dibayar dengan perjuangan. Kau tahu diplomasi memang menjadi salah satu alat untuk mencapai kebahagiaan atas adil dan benar. Tapi kepercayaan itu akan palsu ditangan sang pemilik kuasa busuk”.
“Lihatlah sekelilingmu, puing-puing itu adalah tindakan nyata pemilik kuasa atas diplomasi yang ia tuturkan”
“Kau tahu, beberapa abad silam, pembunuhan secara keji di renggut atas nama keadilan dan kebenaran yang pemilik kuasa busuk. Dalam enam minggu saja, delapan puluh ribu bangkai manusia tergeletak begitu saja. Atas nama kekuasaan, dua puluh dua ribu mati mengenaskan dalam waktu sekejap. Akibat dianggap pemberontak maka tujuh ribu manusia mati seketika oleh tangan Kaisar Roma. Kemudian atas nama rakyat “Tuhan” Jerman, Perkotaan seperti parit darah mengalir deras merah. Bahkan saat pagi hari tiba seratus lima puluh ribu tentara daratan asia menghabiskan dan luluh lantahkan sebuah peradaban yang begitu besar”.
Air mata menganak sungai di ujung mata raga. Bercampur debu merah, terhenti pada lekukan teilnganya.
“Dan sekarang, pembantaian itu belum jua usai”, Raga mengangkat tangan kanannya menghadap barat, menutup layar mukanya yang kotor oleh aspal. Nampak jari kelingking dan jari tengahnya hilang. Putus.
“Atas nama kebenaran dan keadilan semu, manusia tak bersenjata diberangus peluru dan dibakar oleh “fire gun”. Sejenak ratusan bahkan ribuan jasad tak berdosa menemui sang pencipta”.
“Kemudian akan timbul pertanyaan, dimana letak keadilan dan kebenaran? Jika mengatasnamakan kekuasaan semua bisa diambil jalan pintas, ‘membunuh’!”
Jiwa hanya terdiam mendengarkan raga berbicara. Nampaknya ia paham apa yang membuatnya begitu antusias bercerita.
“Darah telah mengering, tubuh telah terkoyak, namun perjuangan mencari keadilan dan kebenaran yang sebenar-benarnya akan terus berlanjut, baik dengan darah ataupun tanpa darah”.
“Pembantaian tidak akan usai, ketika didalam jiwa penguasa masih busuk dan memendam rasa haus akan darah, menghalalkan segala cara untuk memalsukan rasa adil dan benar”.
Jiwa mendekat perlahan, menyampingi tubuh raga yang tergeletak. “Tapi akupun yakin, darah akan mengering hilang, ketika kau…” sambil partikel jiwa mengusap butiran aspal pada bahu raga, “masih jernih melihat bumi dengan mata batinmu, bukan saja akalmu. Lalu kau berlaku atas jalan Tuhanmu”.
“Aku terus menengadah pada sang pencipta, agar kedamaian merasuk pada bumi yang telah tua ini”.
Hujan tiba-tiba membasahi jalanan berpuing itu. Serentak merah darah terseret riak hujan, mengepul asap kecil dan bau aspal yang terguyur air. Jiwa membawa tubuh raga terbang melewati mendungnya langit hitam. Menembus tajamnya hantaman rastusan air. [mengesankan]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI