Mohon tunggu...
Donyawan Maigoda
Donyawan Maigoda Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer | Novelis| SEO Writer| Owner PT Xinxian Boba Indonesia

Hanya manusia biasa yang hobi menulis saat sedang gabut

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bernapas dalam Duka

16 Agustus 2023   03:46 Diperbarui: 16 Agustus 2023   03:47 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Polusi Udara - Image by brgfx (freepik.com)

Di suatu malam yang gelap, suasana di kota Jakarta telah berubah menjadi bayang-bayang keserakahan manusia. Dahulu, langit malam itu memancarkan keindahan alam semesta dengan segala cahaya bintangnya. Namun kini, langit yang pernah indah itu tak lagi menghiasi langit ibukota. Cahaya lampu-lampu kota telah meredupkan cemerlang bintang-bintang, seolah-olah alam pun harus tunduk pada lambang kemajuan manusia.

Kabut hitam menyelimuti kota seperti mahluk gelap yang haus akan nafsu, menyamarkan setiap sudut dan belokan. Seakan ada kekuatan magis yang mempersatukan kabut itu, menjadikannya seperti tentakel dari makhluk raksasa yang mengepung Jakarta. Kabut itu tak hanya menjalani peran sebagai penutup langit, tetapi juga sebagai pembatas antara dunia manusia dan keindahan langit yang telah diabaikan.

Suara angin malam berdesir dan berbisik kepada awan, seolah-olah alam sedang berbicara dengan sendu, "Apakah ini jalannya? Menyelimuti bumi dengan nafsu hitammu?" Suara itu terdengar seperti rintihan alam yang tertindas, mencoba mencari jawaban dari langit yang pernah menjadi surga bagi bintang-bintang. 

Di tengah kegelapan yang menyelimuti, kabut hitam tak kenal lelah dalam menjalankan tugasnya untuk menutupi langit Jakarta. Angin malam yang pelan-pelan berhembus tidak mampu mengusir kabut tersebut, seolah-olah alam telah menyerah pada dominasi manusia. 

Awan-awan bergerak perlahan, mengikuti perintah angin, dan langit semakin terasa mencekam dalam kegelapan dan kebisuan yang terpatri dalam gelapnya malam kota. Mereka berkumpul, membentuk formasi yang tak teratur, seakan tengah meratapi nasib yang telah mereka temui. Suara gemuruh samar terdengar dari langit, seperti isakan hati yang diliputi duka.

Awan pertama di barisan depan berkata dengan suara serak, "Kami tak bisa bernapas lagi di bawah beratnya polusi ini." Lalu, awan-awan lainnya pun bergabung dalam tangisan mereka, menciptakan harmoni yang miris di antara kabut hitam yang tetap menguasai.

Namun, tak hanya awan yang menangis dalam diam. Angin yang berbisik-bisik seperti pelukan ibu pada anaknya yang demam, membawa suara-suara keluhan alam ke tempat-tempat yang jauh dari pandangan manusia. Suara-suara ini tak terdengar oleh telinga yang terlalu sibuk dengan kehidupan modern. Dan pada malam-malam seperti ini, alamlah yang benar-benar merasa kesepian, terabaikan oleh cahaya-cahaya neon yang memanggil manusia pada tuntutan-tuntutan kota.

Sementara langit Jakarta terbungkus dalam kerumitan kabut hitam, kehidupan manusia berjalan seolah tanpa menghiraukan dampak yang telah terjadi. Mereka sibuk dengan urusan-urusan sehari-hari, tak sadar bahwa alam juga memiliki suara yang ingin didengar.

Pohon-pohon yang tersisa merintih dalam kebisuan. Daun-daunnya yang keriting dan kering tak mampu lagi memancarkan keindahan. Mereka mencoba mengecam hati manusia yang lewat di bawahnya, dengan suara yang lebih seperti bisikan dalam angin. "Kalian datang sebagai tamu, tetapi lupa etika yang seharusnya kalian bawa," gumam daun-daun yang layu akibat polusi udara. Namun, bisikan mereka tak sampai ke telinga manusia yang terlalu sibuk untuk mengindahkan.

Seorang perempuan muda berhenti sejenak di bawah pohon tua yang menjulang. Dengan tatapan penuh pertanyaan, ia menatap daun-daun yang keriting dengan wajah bertanya-tanya. "Kenapa kalian diam?" tanyanya pelan, tangan menjulurkan bunga plastik yang hampir terbang diterpa angin. Daun-daun itu hanya menatap dengan mata sayu, tak mampu menjawab pertanyaan yang tajam. Mereka pun tetap dalam kebisuan, seperti pasukan terhormat yang tak bisa bicara ketika dihadapkan pada ketidakadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun