Banyak yang mencemooh bahkan merendahkan kata "BOCOR" yang sering didengungkan oleh pak prabowo terutama saat sesi debat capres, baik jilid 2 maupun jilid 3. Ada yang menyebutkan, bahwa pada debat jilid 3, pak prabowo menyebut kata bocor sebanyak 10 kali dan itu terdengar sangat membosankan. Kontan, masyarakat awam terutama pendukung capres sebelah yang mendengar, akan menerima dengan skeptis bahkan sinis apa yang diucapkan pak Prabowo sampai berkali-kali itu.
Ada hal yang membuat saya kemudian ingin memikirkan dan mengkaji apa yang di katakan pak Prabowo itu. Sebuah kata yang sebenarnya tak sesederhana orang bayangkan. Lalu yang menjadi pertanyaan mengelikan adalah mengapa Indonesia yang kekayaan alamnya melimpah, sampai urusan garam saja harus mengimpor dari luar, sampai rakyatnya saja masih banyak yang di bawah garis kemiskinan. Itukah Indonesia yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa ini? Mungkin jika bung Karno, Bung Hatta, Bung syahrir dan pendiri bangsa lainnya bisa menyaksikan dari alam sana, Indonesia yang mereka bangun saat ini seperti ini, mereka pasti akan tertunduk lesu dan bersedih dalam hatinya.
Sebagai masyarakat awam, saya mencoba untuk perpedoman pada keyakinan akal sehat saya dalam berpikir, bukan ikut-ikutan apa kata orang. Apa makna kata bocor itu? Apa yang bocornya?. Baik akan saya uraikan semampu saya dalam menjawab pertanyaan itu.
Bila kita telaah lebih dalam, selama ini kehadiran investasi asing dalam pengelolaan SDA Â di negara kita akan memiliki kontribusi besar dalam peningkatan penerimaan negara, terutama melalui royalti dan pajak. Apakah pernyataan itu benar? Pada kenyatannya, hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Mengapa demikian?
Jika kita lihat, pada tahun 2011 lalu, ada 14 perusahaan asing di sektor migas tidak pernah membayar pajak selama puluhan tahun hal ini diungkapkan oleh KPK secara gamlang. Akibatnya, negara dirugikan sebesar Rp 1,6 triliun.Ini bukanlah angka yang kecil. (Lihat: KOMPAS.com, 14 perusahaan migas asing tak bayar pajak,15 Juli 2011 .
Lalu, pada tahun 2013 silam, KPK melalui ketuanya, Abraham Samad, mengungkapkan, ada sekitar 60 % perusahaan tambang di Indonesia yang tak membayar pajak dan royalti kepada negara. Menurutnya, banyaknya perusahaan asing yang tidak membayar pajak dan royalti itu karena kesepakatan ilegal dengan aparat dan pejabat di daerah. Sungguh memilukan. (Lihat: KOMPAS.com, 60% perusahaan tambang tidak bayar pajak dan royalti, 3 Juli 2013.
Kenyataan ini juga diakui sendiri oleh pemerintahan SBY sendiri. Pada tahun 2013 lalu, melalui Menteri Keuangan Agus Martowardojo, terungkap bahwa sekitar 4.000 perusahaan multinasional yang berbasis di Indonesia ternyata tidak membayar pajak. Lebih parah lagi, perusahaan berskala internasional itu diketahui telah mangkir pajak selama tujuh tahun (Lihat: Liputan6.com,4.000 Perusahaan Multinasional Mangkir Bayar Pajak Selama 7 Tahun, 12 April 2013. Link : http://bisnis.liputan6.com/read/560158/4000-perusahaan-multinasional-mangkir-bayar-pajak-selama-7-tahun).
Nah! dari fakta-fakta di atas kita dapat melihat betapa besarnya potensi penerimaan negara yang menguap akibat ‘kenakalan’ perusahaan asing dan domestik di Indonesia. Belum lagi, banyak sekali kontrak pertambangan–Kontrak Karya, Ijin Usaha Pertambangan (IUP), dan PKP2B–yang merugikan penerimaan negara. Dalam skema kontrak karya, misalnya, diketahui banyak sekali kontrak karya yang merugikan negara. Dalam kasus kontrak karya dengan PT. Freeport, contohnya, royalti yang diterima negara hanya 1 persen untuk emas dan 1,5 - 3,5 persen untuk tembaga. Hal serupa juga terjadi pada banyak sekali PKP2B dan Kuasa Pertambangan (KP).
Belum lagi, penguasaan asing dalam pengelolaan migas kita juga membawa dampak-dampak lain, seperti penjualan minyak dan gas dalam bentuk mentah dan harga murah, biaya cost recovery yang sangat tinggi, dan menyuburkan ekonomi rente.
Belum lagi, sebagaimana diungkapkan KPK, banyak sekali ijin pertambangan di Indonesia yang bermasalah. Menurut Wakil Ketua KPK, Busro Muqoddas, sebanyak 50% dari 7.501 izin usaha pertambangan (IUP) saat ini tidak clean and clear. Di sektor kehutanan juga terjadi demikian. Dari 150 juta hektar lahan hutan yang dikelola oleh korporasi, baru 11% yang sudah clean and clear. Dengan demikian, potensi kehilangan penerimaan negara di sektor tersebut sangat besar.
Kemudian, untuk memikat para investor asing agar betah berinvestasi di Indonesia, pemerintah menggelontorkan berbagai insentif, termasuk keringanan pajak, keringanan bea keluar, dan lain-lain. Inilah yang selanjutnya kita sebut dengan makna kata "bocor".
Sebetulnya masih banyak masalah terkait pengelolaan SDA ini. Namun, sejumlah fakta di atas sudah cukup mewakili betapa pengelolaan kekayaan alam sekarang ini menyebabkan potensi penerimaan negara justru mengalir ke kantong-kantong perusahaan asing dan cecerannya masuk ke kantong segelintir elit kompradornya di dalam negeri.
Dari uraian di atas kita bisa menarik benang merah, bahwa untuk mengatasi kebocoran potensi kekayaan alam dan aset negara, kita butuh seorang pemimpin bangsa yang tegas dan berkomitmen dalam menutupi kebocoran tersebut. Karena hal ini akan membawa Indonesia menjadi negara yang mandiri, disegani, berdiri diatas kaki sendiri dan sejahtera. Dalam hal ini saya percaya pada PRABOWO-HATTA !. #SelamatkanIndonesia !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H