Mohon tunggu...
Donovan Aditya Yahya
Donovan Aditya Yahya Mohon Tunggu... -

Entrepreneur, educator, lifelong learner. www.donovanyahya.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kartini, The Lifelong Learner

30 Maret 2019   13:30 Diperbarui: 30 Maret 2019   13:35 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tentu Anda sudah mengenal tokoh besar Indonesia bernama Kartini (1879-1904). Kita merayakan hari kelahirannya sebagai hari kartini. Dia mempunyai sebuah visi yang luhur: Ingin mendirikan sekolah bagi kaum wanita Jawa. Sayang hidupnya terlalu singkat (meninggal pada umur 25 tahun) sehingga beliau belum sempat merealisasikan visinya selama hidupnya. Namun visinya dan semangatnya yang berkobar-kobar sangat berpengaruh bagi bangsa Indonesia, hingga namanya diabadikan sebagai pahlawan nasional.  Dari mana datangnya visi Kartini?

Beliau terlahir di keluarga terpandang, yakni sebagai puteri dari Bupati Jepara. Dengan status sosial tersebut, beliau mendapat kesempatan untuk bersekolah di sekolah untuk orang-orang Eropa di Semarang, sehingga beliau bisa belajar bahasa Belanda dan bergaul dengan anak-anak Eropa dengan segala perbedaan budayanya yang membuat wawasannya menjadi luas.

Salah satu pengalaman yang mempengaruhi Kartini (dikisahkan oleh Agnes Louise dalam Pembuka buku Habis Gelap Terbitlah Terang) adalah ketika dia ditanyakan oleh teman baiknya, seorang gadis Belanda, Letsy.

Sebuah pertanyaan dari Letsy, "Kalau sudah besar kamu mau jadi apa?" Sebuah pertanyaan yang membingungkan dan menarik buatnya. Setelah Kartini pulang sekolah, dia mengulang pertanyaan tersebut, "saya akan jadi apa kalau sudah besar?" Ayahya, yang sangat mencintainya, tidak menjawab tetapi senyum dan mencubit pipinya. Kakak lelakinya mendengarnya dan berkata, "anak perempuan seharusnya menjadi apa, ya Raden Ajoe tentunya." Raden Ajoe adalah gelar untuk wanita Jawa yang telah menikah dan berstatus sosial tinggi, sementara puteri yang belum menikah dari seorang bupati disebut Raden Adjeng.

Kartini memutuskan dia tidak ingin hanya sekedar menjadi Raden Ajoe. Dia ingin menjadi wanita kuat yang melawan prasangka. Ketika mencapai usia 12 tahun, menurut adat istiadat dia harus tetap di rumah, sehingga beliau harus berhenti sekolah. Beliau memohon dengan sangat kepada ayahnya agar dapat melanjutkan studinya, namun ayahnya merasa terikat dengan aturan adat istiadat setempat, dan beliau akhirnya harus dikurung di dalam "kotak", sebutan Kartini untuk rumah mewahnya.

Dia menghabiskan empat tahun tidak pernah keluar dari "Kaboepaten", sebutan untuk pelataran rumah Bupati yang besar tersebut. Namun di sinilah semangat lifelong learningnya terus menyala. Karena tidak banyak hal yang bisa dilakukan di rumah, beliau menjadi rakus dalam membaca buku. Di dalam surat-suratnya yang kemudian dibukukan kita kenal dengan judul Door Duisternis Tot Licht [1], Kartini beberapa kali menyatakan kecintaannya akan membaca: "Bagaimana saya melalui waktu tersebut saya tidak tahu. Saya hanya tahu bahwa itu[2] sangat menyedihkan. Tetapi ada satu kebahagiaan yang tinggal dalamku: Membaca buku-buku Belanda dan berkorespondensi dengan teman-teman Belanda tidak dilarang." Di bagian lain beliau juga menulis, "Kami mempunyai banyak waktu untuk membaca, dan membaca adalah kesenangan terbesar kami---kami, yaitu, aku dan adik-adik perempuanku." 

Dengan banyak membaca buku-buku Belanda, melihat penderitaan dirinya yang berwawasan luas namun "terpenjara" karena adat istiadat, bersurat-menyurat dengan kawan-kawan Belanda, kemudian keprihatinannya melihat nasib wanita-wanita Jawa di sekelilingnya yang minim pendidikan, timbullah suatu visi yang luhur untuk mendirikan sekolah bagi kaum wanita tersebut. Walaupun hidupnya singkat, nama beliau tetap dikenang hingga berabad-abad kemudian karena warisan visinya yang hebat. Dan berkat lifelong learning-lah beliau bisa menelurkan visi tersebut. Sedikit catatan happy ending: Pada akhirnya visi Kartini untuk mendirikan sekolah bagi kaum wanita berhasil direalisasikan: Pada tahun 1907, sekolah R. A. Kartini pertama berhasil didirikan di Batavia, sebagian besar berkat upaya dari Dr. Abendanon, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Ratu Belanda, dan beberapa orang berpengaruh lainnya yang mendukung visi tersebut.

Visi bisa didefinisikan sebagai suatu gambaran keadaan masa depan yang diinginkan, atau yang ideal. Visi akan membuat kita hidup dengan penuh semangat, "membuat hidup jadi hidup" dan penuh tujuan. Dari mana datangnya visi? Visi bisa timbul sebagai hasil dari suatu sintesis dari pengalaman hidup (yang mungkin tidak enak, seperti Kartini), mempunyai pergaulan luas, melihat kenyataan, kemudian memperluas wawasan dengan terus memperluas wawasan dengan belajar seumur hidup, baik dari sekolah formal maupun belajar informal, hingga muncul suatu gagasan baru berupa visi.


 Catatan Kaki

[1] kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Armijn Pane dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun