Mohon tunggu...
Dono Satrio
Dono Satrio Mohon Tunggu... -

chief researcher Human Study & Neuronomics Q-Pro Nusantara Foundation. Co-creator universal interstudies forum of youth (@UNIFY_Org) focus on unifying paradigm through scientific worldview.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

No Tolerance for Intolerance

3 Desember 2013   01:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:23 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Islam yang Rahmatan lil’alamin, Kristen yang Cinta Kasih dan Hindu Buddha yang Bijakbestari, barang siapa di antara mereka menghina ajaran agama orang lain, maka  ia telah dengan sendirinya tidak lagi memiliki komitmen pada keimanan dan melecehkan ajaran agamanya sendiri” (Pidi Baiq)

Salah satu hal penting dari suatu masyarakat yang ideal adalah adanya sebuah komunitas di mana setiap seluruh anggotanya bisa membangun suatu kehidupan yang berkembang untuk dirinya sendiri dan juga orang lain, yang satu sama lainnya itu bisa saling peduli(FPIKHB, 2011). Toleransi mungkin bukan segala-galanya, tetapi  itu adalah langkah pertama untuk menuju rasa ingin tahu dan minat menuju saling memahami antar segala keyakinan yang bersifat heterogen. Bisa belajar saling menghargai untuk akhirnya akan bisa menghargai keanekaragaman. Jika kita bisa mendapatkan semua orang menjunjung tinggi sikap toleran, setidaknya kita tidak akan saling bertikai maupun bersifat eksklusif. Toleransi merupakan hal-hal untuk suatu alasan yang jelas, bahwa adanya keragaman kepentingan serta perbedaan keinginan adalah merupakan masalah prinsip(private business), sehingga pada batas tertentu kita bahkan sulit untuk bisa mengerti mengapa orang lain harus berpikir dan berperilaku seperti yang mereka lakukan, namun kita harus mau mengakui bahwa hal itu adalah hak mereka untuk melakukannya, karena untuk suatu hal yang sama perbedaan kita sendiri juga ingin dihargai oleh mereka. Masyarakat yang menjunjung tinggi sikap toleran melibatkan orang-orang yang bisa bergaul secara damai dan koperatif, yang bisa saling mengakui hak-hak orang lain untuk bebas memilih, dan bisa saling memberi ruang yang sesuai antara satu sama lainnya. Di dalam kebebasan beragama, sikap toleran memiliki peranan yang sangat penting. Yang akan memungkinkan pengikut agama lain untuk mengikuti keyakinan spiritualnya tanpa adanya penindasan atau diskriminasi. Toleransi di dalam beragama adalah hak dasar dalam suatu masyarakat yang demokratis. Menjadi suatu tujuan mulia, dan sangat penting bagi perdamaian dunia. Tanpa adanya toleransi beragama, hal ini akan membuat sulit terjadinya dialog agama. Hal ini juga akan membuat sulit kita untuk mencoba obyektif di dalam memahami keyakinan dan praktik keagamaan orang lain. Demikianlah,toleransisebagai satu sikap yang baik untuk memberi kehangatan dan kegembiraan. Yang akan membuat kehidupan merasa lebih baik dan menjadi sebuah prinsip dan tuntutan etis bahwa setiap orang harus bisa saling menghormati hak-hak orang lain dan kebebasan, namun tetap menunjukkan adanya batas-batas rasional, karena kita tidak bisa toleran terhadap mereka yang ingin melakukan perbuatan merugikan orang lain dan tidak bisa toleran terhadap mereka yang ingin melakukan kehendak bebas untuk tidak toleran(no tolerance for intolerance). Harmonisasi Antarumat Beragama Rasul Muhammad Saw sebagai suri tauladan yang baik diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyampaikan kepada mereka yang berbeda keyakinan serta memberikan kebebasan dengan menyatakan: “Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. Al-Baqarah: 256), dan “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku” (QS. Al-Kafirun: 6). Selain perbedaan dalam agama, Allah SWT juga menetapkan perbedaan dalam suku bangsa, ras, etnis dan lain sebagainya (QS. Al-A’rad: 4). Allah SWT sendiri bangga menyatakan keberagaman ciptaannya itu (QS. Arrum: 22). Sebab itu, pantaskah jika manusia selalu bertikai dengan segala perbedaan yang menyebabkan spektrum warna kehidupan itu pudar? Diversity in unity, unity in diversity. Sudah sepatutnya kita harus mensyukuri indahnya keragaman perbedaan diantara pemeluk agama dalam bingkai persatuan dan saling mengakui keberadaan masing-masing pemeluk agama yang berbeda tanpa timbul rasa sinis ataupun curiga dalam memandang agama minoritas selain agama Islam. Oleh sebab itu, ketika seseorang tidak bisa berpikir maupun bersikap inklusif maka ia bisa dikatakan tidak dewasa dan bijaksana dalam beragama. Pada dasarnya semua pemeluk agama memiliki kesempatan yang sama untuk beraktualisasi serta bereksplorasi menuju tingkat spiritualitas menurut garis lurus agamanya masing-masing sehingga bertemu pada tempat yang tertinggi (realitas esoteris). Maka tak perlu saling tuduh menuduh akan klaim kebenaran yang paling hakiki sebab The Faithful are numerous, but the Faith is one: their bodies are numerous but their soul is one. Mari kita hormati segala bentuk  dan warna kehidupan sebagai manifestasi persatuan serta kemajuan kearah yang lebih progresif. Quo Vadis Bhinneka Tunggal Ika? Beberapa hari yang lalu kampus saya mengadakan pameran berbagai stand agama dalam rangka milad fakultas ushuluddin. Banyak pihak yang pro maupun kontra ketika melihat acara tersebut, terutama pihak kontra mereka beranggapan dengan terselenggaranya acara itu secara tidak langsung pihak kampus mendukung adanya gerakan “pluralisme berkedok krtistenisasi”. Argumentasi yang mereka bangun adalah sangat bodoh pihak kampus yang notabennya Universitas Islam Negeri melegalkan acara itu. Pasalnya, masing-masing dari agama selain Islam memberikan deskripsi masing-masing agama dan memberikan kitab sucinya secara gratis. Saya pikir mereka terlalu reaktif-defensif dalam menyikapi fenomena itu dan terperangkap oleh doktrin psikologis yang mereka konsumsi dari guru mereka bahwa ketika ada paham keyakinan yang berbeda langsung di justifikasi dengan “awas nanti iman kita tergadaikan”. Agak kurang tepat jika sikap seperti ini terus dipelihara dan mengkristal dalam pemikiran seseorang yang sedang hidup di dunia yang penuh dengan pertukaran lintas budaya, pemikiran ataupun agama. Tak bisa dipungkiri bahwa untuk konteks keindonesiaan, seseorang tidak cukup melontarkan semangat ukhuwah Islamiyah (persatuan Islam)tapi haruslah memandang juga aspek ukhuwah Watoniyah (cinta tanah air) dan ukhuwah Bashariyah (cinta kemanusiaan). Karena kita semua hidup dalam dimensi plural bukan dimensi singular khusunya dalam berbangsa dan bernegara. Artinya, hendaklah kita harus lebih open minded dalam berinteraksi satu sama lain dan janganlah mempertajam nuansa Neo devide et empera (politik pecah belah melalui agama). Oleh sebab itu, sudah saatnya kita tidak terprovokasi oleh kaum yang berargumen dengan taklid buta (absolutis-tekstualis) yang mengedepankan sentimen agama atau apapun itu yang bersifat sensitif. Isu agama dan kewajiban kita untuk membela agama dapat dijadikan isu untuk memecah-belah bangsa kita. Ini sudah terjadi, tengah terjadi. Kita lupa akan pesan Founding Father, amanah Bung Karno yang pernah diberikannya pada tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, BPUPKI: “Pertama-tama, Saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia merdeka yang namanya saja Indonesia merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberikan kekuasaan pada satu golongan yang kaya, untuk memberikan kekuasaan pada satu bangsawan? “Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara’semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya–tetapi semua buat semua............................... Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia ialah dasar: Kebangsaan. Saudara-saudara Islam yang lain, maafkanlah saya memakai perkataan ‘kebangsaan’ ini! Saya pun orang Islam, tetapi saya minta kepada saudara-saudara, janganlah saudara-saudara salah paham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia merdeka ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit tetapi saya menghendaki ssatu nationale staat (nation-state atau negara kebangsaan, negara yang berbasis kebangsaan, bukan agama, bukan khilafah, juga bukan komunis–penulis).... “Satu Nationale Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu....Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempo sedikit, apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syarat-syarat bangsa? “Menurut Renan syarat bangsa ialah: ‘kehendak akan bersatu’. Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu, mau bersatu....Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu. “Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Baeur....Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib. Saudara Ki Bagoes Hadikoesomo atau Tuan Munandar mengatakan tentang ‘Persatuan antara orang dan tempat’. Persatuan orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya! “Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya...... “Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah kesatuan. Allah SWT membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan dimana ‘kesatuan-kesatuan’ di situ. Seorang anak kecil pun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan.” Dengan demikian, sudah jelas bahwa sesungguhnya bangsa kita memiliki berbagai macam latar belakang tradisi, adat istiadat, suku, budaya, bahkan agama. Justru hal itu janganlah dijadikan sebagai pemicu konflik horizontal yang mengancam disintegrasi bangsa kita dan hanya berkutat menghabiskan energi kita hanya untuk menyalakan api permusuhan tersebut. Akan tetapi, jadikanlah itu semua sebagai medium perekat untuk saling bertoleransi dengan harmonis berlandaskan semangat Bhinneka Tunggal Ika sebagai identitas bangsa kita. Dengan begitu, kita bisa saling memahami satu sama lain dan mempererat rasa solidaritas dan loyalitas nan humanis. Mari bung kenali kultur bangsa kita niscaya akan mengenal negeri kita. “Bhinneka Tunggal ika tan Hana Dharmma Mangrwa”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun