Mohon tunggu...
Dono Satrio
Dono Satrio Mohon Tunggu... -

chief researcher Human Study & Neuronomics Q-Pro Nusantara Foundation. Co-creator universal interstudies forum of youth (@UNIFY_Org) focus on unifying paradigm through scientific worldview.

Selanjutnya

Tutup

Money

Rekonstruksi Paradigma Pendidikan dan Pembangunan Inklusif

12 Desember 2013   00:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:02 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita adalah angkatan gagap yang diperanakkan oleh angkatan takabur. Kita kurang pendidikan resmi dalam hal keadilan karena tidak diajarkan berpolitik dan tidak diajar dasar ilmu hukum. Kita melihat kabur pribadi orang karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa. Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus karena tidak diajarkan filsafat atau logika. Apakah kita tidak dimaksud untuk mengerti itu semua? Apakah kita hanya dipersiapkan untuk menjadi alat saja?

Inilah gambaran rata-rata pemuda tamatan SLTA, pemuda menjelang dewasa. Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan, bukan pertukaran pikiran. Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan dan bukan ilmu latihan menguraikan. Dasar keadilan di dalam pergaulan serta pengetahuan akan kelakuan manusia sebagai kelompok atau pribaditidak dianggap sebagai ilmu yang perlu dikaji dan diuji. Kenyataan di dunia menjadi remang-remang.

Gejala-gejala yang muncul lalu lalang tidak bisa kita hubung-hubungkan. Kita marah pada diri sendiri, kita sebal terhadap masa depan, lalu akhirnya menikmati masa bodoh dan santai. Di dalam kegelapan kita hanya bisa membeli dan memakai tanpa hanya bisa berkuasa persis seperti bapak-bapak kita.

Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat. Di sana anak-anak memang disiapkan untuk menjadi alat dari industri dan industri mereka berjalan tanpa berhenti. Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa? Kita hanya menjadi alat birokrasi! Dan birokrasi menjadi berlebihan tanpa kegunaan-menjadi benalu di dahan.

Gelap. Pandanganku gelap.
Pendidikan tidak member pencerahan.
Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan
Gelap, keluh kesahku gelap. (WS.Rendra)

Tulisan ini merupakan kompilasi 150 esai pemikiran yang terpilih dalam event Indonesia Leadership Development Program di Universitas Indonesia tahun 2012

Sebuah prolog sastra dari Rendra yang tak lekang oleh zaman memberikan semangat revolusioner kepada seluruh pemuda Indonesia. Ketika meresapi setiap makna sastra dibalik kata demi kata, ada hal-hal yang membuat jiwa para pemuda untuk terus berpikir dan bertindak secara logis, etis, dan estetis ditengah kondisi bangsa Indonesia saat ini.

Sudah sepantasnya para pemuda Indonesia ikut andil dalam menciptakan kondisi perubahan bangsa Indonesia kearah yang lebih baik. Pemuda saat ini adalah cerminan suatu bangsa atau Negara dimasa yang akan datang. Hal ini perlu dipahami secara mendalam bagi calon-calon pemimpin bangsa dikemudian hari karena siapa lagi kalau bukan generasi muda yang memperbaiki tatanan sosial yang lebih adil, makmur, dan sejahtera.

Seorang pemuda Indonesia harus memiliki integritas dan kapabilitas dalam memberikan solusi yang sustainable agar kondisi bangsa ini mampu menghadapi segala tantangan lokal maupun global. Saatnya kita berhenti mengutuk kegelapan, dan mulai menyalakan lilin solusi baik dari segi pemikiran maupun aksi nyata.

Perguruan Tinggi dan Semangat Kewirausahaan

Pendidikan merupakan akar dan fondasi dari setiap pemikiran bangsa apapun. Paradigma yang tertanam saat ini di sebagian besar kalangan bangsa Indonesia adalah bagaimana merealisasikan filosofi, ideologis, dan nilai luhur yang bersifat nasionalistik, naturalistik ,dan spiritualistik secara holistik untuk menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten serta konsisten dalam membangun bangsa Indonesia. Apakah pendidikan hanya ditandai dengan membaca buku? Apakah pendidikan hanya proses pengumpulan berbagai macam keahlian dan ketrampilan? Bagaimana bila ternyata pendidikan yang kita miliki saat ini tidaklah sepenting yang kita kira ataupun banggakan? Apakah pendidikan akademis merupakan segala-galanya?

Lebih lanjut, pengangguran merupakan paradoks ekonomi yang bersifat kultural maupun struktural yang tidak bisa kita pungkiri keberadaannya. Pengangguran merupakan fakta sosial yang alami. Angka pengangguran tidak bisa kita tekan sampai nol. Menjadi suatu ironi ketika pengangguran adalah lulusan perguruan tinggi yang dimana lulusan perguruan tinggi merupakan elemen masyarakat terdidik yang mempunyai stigma sebagai aktor intelektualitas, agent of change maupun oposisi pemerintah (mengawal pemerintah agar right on the right track dalam menjalankan amanat konstitusi). Lalu apa yang menyebabkan fenomena ini terjadi?

Jika dicermati kurikulum pendidikan di Indonesia bersifat menghapal (tekstual tanpa realitas). Hal ini berdampak pada rendahnya daya juang generasi muda di kehidupan nyata. Permasalahan yang dihadapi dunia nyata tidak semata dapat diselesaikan dengan nilai bagus dan memperoleh pekerjaan yang baik. Sehingga dapat dilihat bahwa Negara ini memiliki pengangguran terdidik dalam jumlah yang tinggi. Berdasarkan data Departemen Tenaga Kerja di Indonesia jumlah pengangguran tahun 2008 sebesar 9,26 juta orang dari angkatan kerja yang berjumlah 113,74 juta orang. Sangat disayangkan dari jumlah pengangguran yang ada sekitar 1,14 juta orang merupakan pengangguran terdidik. Pemerintah hanya mampu menyerap paling tinggi 50% dari jumlah tenaga kerja untuk posisi pegawai negeri, BUMN, maupun militer. Dengan kenyataan ini sektor pendidikan khususnya perguruan tinggi harus mampu mengintegrasikan kurikulum yang bersifat tekstual dan kontekstual dengan orientasi kepada kreativitas dan terbentuknya jiwa berwirausaha yang berlandaskan prinsip muatan lokal prestasi global.

Pengangguran pada dasarnya bisa terjadi oleh berbagai faktor, yakni salah satunya adalah minimnya kualitas pendidikan perguruan tinggi yang hanya menciptakan lulusannya sekedar untuk mencari kerja dan bukan mendidik sarjana pencipta lapangan pekerjaan. Secara realita perguruan tinggi terlalu menekankan pada aspek akademis daripada keterampilan. Penekanan dan orientasi yang berbeda ini menghasilkan pula lulusan yang berbeda serta lulusan perguruan tinggi cenderung teoritis daripada praktis. Para mahasiswa hanya paham dalil teori daripada output nyata.

Penekanan di aspek akademis ini juga membawa dampak pada perilaku. Lulusan perguruan tinggi tidak memiliki soft skill dan hard skill yang baik serta benar berdasarkan humanisme dan religiusitas. Karena lingkungan pendidikan sarjana lebih membebaskan para mahasiswanya dalam berperilaku tanpa memperhatikan aspek moralitas. Salah satu cara mengatasi permasalahan ini adalah memasukkan mata kuliah kewirausahaan. Kewirausahaan harus dijadikan mata kuliah pemgembangan kepribadian menjadi pribadi yang mencerminkan religiusitas dan kewarganegaraan. Hal ini penting karena berwirausaha dapat menciptakan lapangan kerja baru sehingga angkatan kerja terserap dan dapat membantu memberdayakan perekonomian umat. Berwirausaha menjadi aspek fundamental di era globalisasi.

Contoh yang nyata adalah Negara China dan Malaysia. Kita dapat melihat bahwa Negara China melalui perdana menterinya Deng Xiaoping yang berhasil mereformasi negaranya. China telah menjadi Negara wirausaha, kemajuan ini ditunjukkan dari meningkatnya PDB China beberapa kali lipat dari sebelumnya. Menurut IMF, PDB China naik dari $309.3 miliar pada tahun 1980 menjadi sekitar $1.2 triliun pada tahun 2000. Disusul dengan pendapatan perkapita yang meningkat dari $251,4 pada tahun 1980 menjadi $2,371.8 pada tahun 2000. Akselerasi perekonomian yang impresif dari Negara tetangga seperti Malaysia, dengan tangan dingin seorang Mahathir Mohammad, Malaysia berubah menjadi Negara yang mapan secara perekonomian. Mahathir pada awalnya menulis buku “malay dilemma” Yang mengkritik budaya masyarakat pribumi yang malas, ia membandingkan dengan warga non pribumi (etnis tionghoa) yang menguasai perdagangan. Semenjak itu, warga asli Malaysia mulai giat bekerja dan berwirausaha dan Malaysia bangkit dari keterpurukan. Maka tak heran jika Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa ekonomi (entrepreneurship) adalah pilar pembangunan dunia, sebagaimana sabdanya: ”Hendaklah kamu kuasai bisnis karena 90% pintu rezeki ada dalam bisnis atau perdagangan”. (H.R.Ahmad)

Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa kewirausahaan menjadi pilihan terbaik untuk mengatasi kemiskinan dan wirausaha dapat membantu menyelesaikan persoalan serta memecahkan masalah sosial. Dengan wirausaha sebagai kurikulum perguruan tinggi yang bersifat integratif dan komprehensif dapat mendorong sumber daya manusia yang mandiri, kreatif, dan inovatif. Metode yang dipakai harus learning by doing, sehingga memang dapat mendorong lulusan perguruan tinggi untuk membuka usaha, bisa dengan simulasi maupun praktek langsung membuka usaha. Selain bermanfaat secara finansial, berwirausaha juga bermanfaat secara sosial.

Dengan demikian, ketika perguruan tinggi mampu merealisasikan program ini maka para lulusannya dengan sendirinya akan terdorong untuk berinvestasi secara mandiri. Pada akhirnya, kualitas sarjana Indonesia dapat bersaing secara global tanpa menafikan nilai-nilai nasionalistik, naturalistik, dan spiritualistik menuju Indonesia yang sejahtera.

Menuju Rezim Negara Kesejahteraan

Jika ada konsensus kuat untuk membawa arah perekonomian Indonesia menuju model negara kesejahteraan, lantas harus dimulai dari mana? Pertama, konsep Negara kesejahteraan harus dipahami melalui mekanisme tertentu. Kedua, kebijakan sosial dalam tata pemerintahan menjadi jantung utama yang harus senantiasa diaktualisasikan. Kebijakan sosial itu sendiri memiliki beragam definisi. Dari sekian banyak definisi, esensinya terkait dengan peran negara dalam meningkatkan kapasitas warganya. Dengan demikian, tugas dari kebijakan sosial adalah membantu warga negara mengatasi berbagai masalah sosial seperti; pendidikan, pengangguran, kemiskinan, kesehatan, dan lain sebagainnya.

Mengingat kompleksitas persoalan sosial yang dihadapi, maka respons pemerintah bisa menjadi tolak ukur apakah karakter dasar ini berwatak sosial atau tidak. Karena itu, dikenal istilah ”rezim Negara kesejahteraan” yang menandakan bahwa Negara sangat peduli pada kehidupan masyarakat terkait dengan berbagai dimensi sosial yang melingkupinya. Negara kesejahteraan khususnya di Indonesia harus didukung oleh model ekonomi inklusif yang universal dan komprehensif agar terjadi proses pembangunan serta pemerataan ekonomi secara adil dan merata.

Konsepsi negara kesejahteraan memang bukan manifestasi ideologi yang kaku, melainkan sebuah moral yang lentur. Model negara kesejahteraan bukan pemodelan tunggal yang selalu merujuk pengalaman negara-negara Barat, khususnya Eropa daratan. Para pendiri bangsa Indonesia telah memikirkan secara matang fondasi negara kesejahteraan, meski pemikiran mereka ini banyak dipengaruhi oleh berbagai konsepsi yang berkembang di Eropa, khususnya negeri Belanda. Namun demikian, arus pula dilihat bahwa sesungguhnya konstitusi kita sebenarnya sangat inklusif dan bangsa Indonesia seharusnya mensyukuri adanya Pasal 33, 34, dan 27 (ayat 2) UUD 1945.

Pembangunan Ekonomi yang Berorientasi People Driven

Menurut Amartya Sen (peraih Nobel Ekonomi tahun 1998), pembangunan bukan sebuah proses yang dingin dan menakutkan dengan mengorbankan darah, keringat, serta air mata. Pembangunan, menurut Sen, adalah sesuatu yang sebenarnya ”bersahabat”. Pembangunan seharusnya merupakan proses yang memfasilitasi manusia untuk mengembangkan sesuatu yang sesuai dengan pilihannya (development as a process of expanding the real freedoms that people enjoy).

Asumsi pemikiran Amartya Sen, bila setiap manusia mampu mengoptimalkan potensinya, maka kontribusinya untuk kesejahteraan bersama juga akan maksimal. Oleh karena itu, kemakmuran sebuah bangsa dicapai berbasiskan rakyat yang berdaya dan menghidupinya. Salah satu penyebab langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, dan keterbelakangan adalah ketiadaan akses. Akibat keterbatasan akses, pilihan manusia menjadi terbatas bahkan tak ada untuk mengembangkan kehidupannya. Manusia hanya menjalankan apa yang “terpaksa” dapat dilakukan, bukan apa yang “seharusnya” dlakukan. Mengingat hal tersebut, maka potensi dan kontribusi manusia dalam mengembangkan kesejahteraan hidup bersama menjadi terhambat dan lebih kecil. Aksesibilitas yang dimaksud adalah terfasilitasinya kebebasan politik, kesempatan ekonomi dan sosial (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), dan transparasi serta adanya jaring pengaman sosial.

Tak bisa dipungkiri bahwa pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial adalah dua hal yang saling mendukung. Ekonomi tetap penting, karena tingginya tingkat pendapatan bisa dijadikan landasan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang baik agar terciptanya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Namun, pertumbuhan ekonomi yang pesat tanpa disertai keadilan tentu rawan terhadap munculnya keresahan social (social unrest). Tanpa struktur ekonomi yang kokoh dan relatif merata, pembangunan yang dijalankan eksklusif bagaikan membangun “istana pasir yang bisa runtuh setiap saat seiring datangnya ombak tiada henti”.

Meminjam konsespsi dari Prof. Dr. Sri Edy Swasono, dewasa ini kita memerlukan sebuah sistem ekonomi yang mempunyai paradigma baru agar terciptanya suatu negeri yang adil, makmur, dan sejahtera, paradigma baru itu adalah:

1.Meninggalkan titik-tolak manusia sebagai homo-economicus, menuju homo-ethicus, homo-socius, homo-religious, dan homo-humanus.

2.Dalam perekonomian manusia yang harus diperankan dalam posisi ”sentral-substansial” tidak boleh direduksi oleh modal menjadi sekedar ”marginal-residual”.

3.Menegaskan the end of laissez-faire.

4.Menisbikan atau menafikan kompetitivisme sebagai titik tolak dan memadukannya dengan koperativisme dalam konteks ekonomi humanistik.

5.Meninggalkan asas perorangan (self interest) menjadi asas bersama (mutual interest), menghidupkan kebersamaan dan asas kekeluargaan.

6.Mengunggulkan kedaulatan rakyat dan meminggirkan dengan kedaulatan pasar, artinya dalam pembangunan yang dibangun adalah rakyat bukan modal, pembangunan ekonomi adalah derivate dari pembangunan rakyat.

Tanpa adanya transformasi paradigma diatas maka yang terbentuk adalah sistem ekonomi yang eksploitatif dan ribawi. Paradigma reformasi kesejahteraan sosial baru bukan hanya sekedar mengatasi pengangguran dan kemiskinan, tetapi juga bertujuan untuk mencapai keadilan serta kemaslahatan umat secara tersistem, terlembaga, dan berkesinambungan agar bahagia di dunia dan akhirat. Semua konsepsi ini bisa terealisasi jika semua elemen bangsa Indonesia saling bersinergi secara baik dan benar mulai dari para pemuda, political will dari pemerintah, lembaga pendidikan dan lain sebagainya.

Terakhir sebuah konklusi atau motivasi yang sangat sederhana yang justru seringkali terabaikan oleh kita semua bahwa sesungguhnya dunia ini tidak akan pernah kekurangan ide besar yang hebat, tapi selalu kekurangan orang yang memiliki kesungguhan untuk memastikan sebuah ide yang sederhana, terlaksana sampai selesai. Sebuah ide sederhana yang selesai dilaksanakan dengan baik, lebih bernilai daripada sejuta ide cemerlang yang tak pernah dilaksanakan. Bukan besarnya ide yang akan menghebatkan kehidupan, tapi besarnya kesungguhan untuk bekerja dalam ide apapun. Bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia Raya.

Referensi

A Prasetyantoko, Setyo Budiantoro, Sugeng Bahagijo, dkk. 2012. Pembangunan Inklusif: prospek dan tantangan Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Kem.ami.or.id

Seri pemikiran mahasiswa UI. Baduose Media: 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun