Persepsi umum mengatakan masa remaja merupakan masa terindah. Masa ini penuh keceriaan dan kebersamaan dengan teman-teman sebaya baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan pergaulan yang lain. Sebagaian anak remaja bahkan ada yang telah menorehkan prestasi, baik di bidang akademis maupun bidang lainnya. Namun tidak semua anak remaja beruntung dan bisa menampaki masa mudanya dengan mulus. Ada pula anak remaja yang karena salah dalam memilih pergaulan menyebabkan mereka terjerumus ke dalam lembah hitam. Seperti yang dialami oleh beberapa pemuda-pemudi yang baru-baru ini tertangkap razia dalam operasi premanisme untuk mencegah terjadinya tindak kriminal yang dilakukan oleh Polres Klaten. Dihimpun dari solopos.com (17/1/2015), dalam operasi tersebut, petugas menemukan enam remaja cewek dan dua pria tinggal bersama dalam satu kos. Dalam penggeledahan yang dilakukan oleh petugas di kos tersebut, petugas juga menemukan puluhan kondom di kamar remaja tersebut. Sungguh miris memang, para remaja yang jatinya merupakan generasi penerus dan tumpuan bangsa, malah terjerus dalam pergaulan bebas. Hal ini sungguh ironis mengingat pemberitaan semacam ini kerap kali kita dengar setiap tahunnya.
Dan lebih ironis lagi adalah pergaulan bebas semacam ini yang biasanya kita jumpai di kota-kota metropolitan namun belakang ini juga terjadi di Kabupaten Klaten Bersinar yang notebenenya bukan kota metropolitan. Secara geografis, letak Kabupaten Klaten berada di antara 2 propinsi yakni propinsi DIY dan Jawa Tengah, serta berada di antara 2 kota besar yakni Solo Raya dan Yogyakarta. Klaten merupakan jalur penghubung di antara kedua kota besar tersebut. Hal ini berimplikasi pada perkembangan kebudayaan kedua kota tersebut akan mempengaruhi arus kebudayaan yang masuk ke Kabupaten Klaten. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab arus kebudayaan “pergaulan bebas” menjangkiti Kabupaten tercinta ini. Selain itu, masa remaja yang merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa, masa di mana seseorang mencari jati dirinya yang membuat ia menjadi begitu labil juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan para remaja salah dalam memilih pergaulan sehingga terjerus ke dalam ‘pergaulan bebas’.
Menurut Erickson – seorang ahli psikososial, setiap tahap perkembangan manusia selama hidupnya terdapat krisis yang harus dihadapi masing-masing individu sesuai kelompok usianya. Pada masa remaja yang berkisar umur 10-20 tahun, krisis yang dihadapi adalah “krisis identitas”. Pada masa ini, remaja berusaha mencari jati dirinya dan mulai mempertanyakan hal-hal seperti siapa aku, ingin menjadi apa diriku dan apa yang aku cari dalam hidupku (Santrock, 2008). Para remaja akan berusaha mengeksplorasi banyak hal yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk menemukan jawaban atas “identitas dirinya” yang sebenarnya. Dalam eksplorasi tersebut, para remaja akan mengindentifikasi lingkungan sekitarnya, dan jika mereka merasa cocok dengan lingkungan tersebut, maka mereka akan mulai menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut dan menjadi bagian dari lingkungan tersebut.
Namun seringkali ketika melakukan pencarian jati dirinya tersebut, para remaja harus berbenturan dengan lingkungan sekitarnya yang kurang mendukung. Dalam pergaulan teman sebaya misalnya, seringkali kita jumpai budaya pacaran yang “melewati batas” dalam lingkungan pergaulan anak muda, bahkan ada sebagaian remaja yang menyatakan bahwa jika seseorang laki-laki belum pernah pacaran maka ia tidak “keren”. Hal ini lantas membuat para remaja yang belum pernah pacaran akan dihadapkan pada kondisi sulit di mana mereka dihadapkan pada pilihan mengikuti lingkungan tersebut atau tidak. Di sisi lain, jika mereka tidak mengikuti ‘perilaku’ tersebut, maka mereka akan dicap sebagai orang yang tidak ‘keren’ dan mereka akan dijauhi temannya. Di lain sisi, jika mereka mengikuti ‘perilaku’ tersebut, maka mereka akan menjadi ‘keren’ dan mereka akan banyak mendapatkan teman. Perilaku-perilaku semacam inilah yang lantas membentuk budaya ‘pergaulan bebas’ di antara kaum remaja saat ini.
Dari pergaulan bebas ini akan mengakibatkan terjadinya “kerusakan moral” di antara kalangan anak remaja. Berdasarkan pengamatan penulis yang mengamati perkembangan “pergaulan bebas” di Kabupaten Klaten ini, kerusakan akhlak yang terjadi sudah cukup parah. Menurut catatan KPA (Komisi Penangulan AIDS) Klaten mencatat rata-rata dalam sebulan ditemukan 6 kasus baru dan yang lebih mencengangkan lagi adalah dalam kasus ini petugas juga menemui pelajar SMA yang terkena HIV (dihimpun solopos.com 11/7/2014). Sementara itu, menurut KUA Prambanan Klaten mencatat bahwa sebanyak 25% dari 400 wanita Prambanan diketahui telah hamil duluan sebelum menikah (dihimpun solopos.com 28/6/2013). Selain itu, Komnas PA Klaten juga mencatat kasus kekerasan dan kejahatan seksual sebanyak 45 kasus selama tahun 2014. Pelaku dalam kasus tersebut diketahui tidak hanya dilakukan oleh orang tua, melainkan juga anak-anak (dihimpun tribunjogja.com 25/1/2014). Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan moral di Kabupaten Klaten memang sudah cukup parah, sehingga perlu segera dilakukan upaya penanganan serius untuk mengatasi kondisi ini. Akankah kita tetap diam melihat kondisi kerusakan akhlak yang kian memprihatinkan ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H