Pernahkan anda tertarik kepada seseorang ketika melihatnya pada 'pandangan pertama'? Apakah anda akan 'merasakan' diri anda sedang 'jatuh cinta'? Atau mungkin lebih ekstrim, langsung mengungkapkan perasaan anda padanya? Eits, jangan terburu"! Inilah yang aku sebut sebagai "tindakan emosional"! Apa yang anda 'rasakan' tidak lebih dari "reaksi hormon" tubuh.
Perasaan kita bekerja berdasarkan stimulus yang ditangkap oleh indera kita. Hasil rangsangan itu diteruskan melalui syaraf" menuju sistem limbik di dalam otak kita, atau dikenal sebagai "alam bawah sadar". Sistem limbik ini terdiri atas hipotalamus, talamus, korpus amigdala, hipokampus dan korteks limbik. Sistem ini berfungsi sebagai menghasilkan perasaan, mengatur produksi hormon, memelihara homeostasis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa senang, metabolisme dan memori jangka panjang. Ketika korteks limbik menerima stimulus, terjadilan proses pengaturan perasaan kita. Stimulus yang diteruskan pada hipotalamus dipilih mana yang penting atau tidak berdasarkan "rekaman nilai emosional" kita.  Jika stimulus 'wanita cantik' atau 'pria tampan' yang diterima hipotalamus sesuai dengan rekaman nilai emosional anda, maka  sistem limbik akan mengeluarkan hormon dopamin sehingga timbullah "sensasi euforia". Hal inilah yang membuat anda merasa tertarik, jatuh cinta, hingga membutakan pandangan rasional anda.
Perlu diingat, karena reaksi perasaan bekerja pada alam bawah sadar, maka ia tidak melewati pertimbangan rasional dalam pikiran kita. Berapa banyak kasus pernikahan yang berakhir perceraian hanya karena 'mengklaim' mereka 'tidak cocok'. Inilah yang disebut sebagai tindakan emosional. Jika demikian sungguh tragis, pernikahan yang didasarkan atas 'perasaan' keindahan paras pasangannya.
Sebenarnya hal ini tidak hanya terjadi pada perasan terhadap seseorang, tetapi perasaan kita terhadap segala realitas di luar diri kita, entah makanan, pekerjaan, ancaman, bencana, dan alam.
Apa yang kita 'rasakan' enak atau 'tidak enak' sesuatu sebenarnya tidak berhubungan dengan 'esensi kebaikan' atau keburukan yang melekat pada tindakan kita. Barangkali kita 'merasa' lelah dan bosan belajar atau bekerja setiap waktu. Tapi kelelahan atau kebosanan kita tidak berhubungan dengan kebaikan yang melekat pada tindakan belajar atau bekerja. Toh, kalau tidak belajar, kita akan bodoh; kalau tidak bekerja, kita akan miskin, entah kita 'merasa' senang atau berminat pada pekerjaan/ pembelajaran yang kita lakukan atau tidak. Karena, kebaikan/ keburukan "dinilai" berdasarkan hasil tindakan berupa dampak/ efek yang ditimbulkan terhadap diri maupun realitas di luar kita (baca : lingkungan).
Sama pula dalam pemilihan pasangan hidup, kita dituntut untuk tidak hanya menilai dari 'penampakan fisik' tetapi kesamaan cita-cita dan nilai-nilai (baca : agama), dedikasi, pendidikan dan keahlian, Â kepribadian, keturunan, hingga kemapanan tentu menjadi pertimbangan dalam pemilihannya. Berdasarkan kriteria tersebut, (idealnya) dibobot dan dinilai satu per satu secara terperinci lagi rasional, hingga ditemukan berapa nilai kebaikannya. Kalau orang jawa menyebutnya, "bobot, bibit, bebet", ternyata mengandung muatan filosofis tentang pemilihan pasangan yang rasional.
Tidak hanya dalam pemilihan pasangan, tetapi dalam memutuskan segala tindakan kita entah beribadah, belajar, bekerja, berkeluarga, berorganisasi, bermasyarakat hendaknya didasarkan atas penilaian (rasional), bukan perasaan semata. Jangan memutuskan sesuatu ketika pikiran emosional, tetapi putuskanlah ketika pikiran jernih, sehingga keputusan/ tindakan kita itu adil, bermanfaat, maslahat, dan membawa rahmat kepada semesta alam.
Dan ingatlah atas firman Allah SWT :
" Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). " Â (QS. Ali 'Imran 3 : 14)