Mohon tunggu...
DoNo Salim
DoNo Salim Mohon Tunggu... -

Seorang pemuda yang hanya ingin membagi dunianya lewat sebuah tulisan-tulisan ringan yang menghibur dan menginspirasi semua orang.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mahasiswa 1/2 Abadi (Bab I, Part 1: Mau Jadi Apa?)

2 April 2017   11:09 Diperbarui: 14 April 2017   20:00 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kamu beneran gak mau beli? Ini sudah dikasih diskon besar loh!” Ujar Sukron bertanya ke gue, yang tengah asyik bermain Hape sambil menatap ke arah teras rumah.

“.........” Gue hanya diam, gak menanggapi sedikit pun pertanyaan dari Sukron.

“Kamu kok diem sih, emang kamu gak pingin lulus apa?!” kata Sukron setengah berteriak, sambil mendekatkan wajahnya ke arah gue. Seolah, mulut Sukron terbuka sangat lebar dan siap menelan gue bulat-bulat.

“Kamu wes gendeng apa? Itu resikonya besar loh, lagian uang segitu daripada kamu beliin kunci jawaban, mending kamu beliin kerupuk Barokah. Bisa jadi pengusaha kerupuk kamu besok,” Ucap gue dengan nada sedikit kesal, menanggapi tawaran Sukron untuk membeli kunci jawaban Ujian Nasional.

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa Sukron adalah teman SMA gue. Dia memiliki tubuh yang agak tambun, dengan warna kulit agak putih, serta rambut lurus dilengkapi poni yang menyilang ke arah sebelah kiri. Mirip Dora yang habis potong rambut pake gunting kuku. Awalnya, ketika mendengar namanya, gue kira Sukron adalah sesosok manusia berkepala kacang atom (baca: namanya mirip merek kacang atom di warung-warung). Meskipun begitu, Sukron merupakan salah satu teman SMA terbaik gue. Alasannya tak lain dan tak bukan ialah, karena kita sama-sama anak rantau. Gue merantau dari Singaraja (Bali) ke Surabaya dan Sukron dari Fak-Fak (Papua) ke Surabaya.

Kembali ke masalah Ujian Nasional atau sering dikenal dengan UN. Perdebatan gue dimulai, saat gue dan Sukron tengah asyik menikmati hangatnya matahari sore hari di depan teras rumah gue. Tiba-tiba Sukron kembali menanyakan perihal promo jual-beli jawaban yang memang tengah menjadi primadona di semua kalangan pelajar saat itu. Hal itu terjadi karena pada tahun 2014, Menteri Pendidikan, Bapak Muhamad Nuh membuat sebuah kebijakan yang menjadi ketakutan banyak pelajar di Indonesia. Sebuah kebijakan UN pertama kali dengan 20 tipe soal yang berbeda dalam 1 kelas. Bila biasanya, dalam 1 kelas hanya terdapat 2 tipe soal yakni Tipe A dan B, maka pada UN 2014 akan ada 20 Tipe Soal dengan jenis soal yang berbeda pula di dalamnnya. Dengan kata lain, peluang pelajar untuk memperoleh soal yang sama dalam 1 kelas, gak mungkin bisa terjadi.

Rumor adanya jual-beli jawaban pun, semakin berhembus kencang di tahun 2014. Bahkan, banyak bertebaran promo-promo, seperti lagi belanja di Indomaret, yakni beli 2 gratis 1. Harga yang ditawarkan pun sangat bervariasi, mulai dari 250 ribu hingga 1 juta rupiah. Gue sendiri gak paham, apa yang membedakan harga murah dan mahal di sini. Mungkin, kalau yang murah, kita cuma dapat kunci jawabannya saja. Sedangkan, kalau yang mahal kita dapat kunci jawaban, plus dengan gratis pijat dan creambath di dalam kelas.

Sebuah tawaran yang menggiurkan, namun bagi gue, semua itu hanya janji-janji semata. Seperti halnya sedang digoda oleh iklan sabun pembersih wajah, “Dengan memakai sabun ini, wajah kamu bisa 10x lebih bersih dan putih dari sebelumnya, loh!” Gue gak percaya sama semua iklan sabun pemutih wajah di Indonesia. Kelak gue akan percaya, kalau sabun itu sudah dipakai oleh orang Zimbabwe dan kemudian ia membuat ritual pembakaran hewan. Ritual sebagai acara syukuran, karena wajahnya sudah berubah menjadi kinclong, mirip kayak cabe-cabeandi pinggiran Jakarta (baca : mukanya putih kayak mayat, tapi lehernya hitam penuh daki).

“Jadi, menurutmu kita gak usah pake kunci jawaban nih? Emang kamu gak takut?” tanya Sukron lagi, dengan wajah agak panik.

“Kron, tolong dengerin aku,” ujar gue sambil meletakan tangan kanan gue ke pundak Sukron. “Ujian Nasional itu cuma soal niat. Kalau kita belajarnya niat, pasti lulus kok. Lagian, gak mungkin Tuhan tutup mata sama usaha kita. Jadi gak usah mikir yang aneh-aneh, tetap mikir positif.” Sambung gue lagi, sambil menepuk-nepuk pundak Sukron, berusaha untuk menyemangatinya.

“Iya Don, kita pasti bisa! Pasti bisa kok, aku percaya sama kamu, Don!” Kata Sukron sambil menggenggam kedua tangan gue sangat erat dan dengan tatapan penuh keyakinan. Di tengah obrolan kami, tiba-tiba terdengar suara dari seberang jalan, yang seketika membuyarkan obrolan kami sore itu, “Cieee, cieee, so sweet banget sih! Sudah lamar aja langsung, biar langsung kawin!!”

..........

Singkat cerita, gue telah berhasil melewati UN pada 2014 dengan selamat. Seperti prediksi gue, ternyata UN itu gak seseram yang dikatakan kebanyakan orang. Buktinya gue bisa lulus dengan nilai yang cukup memuaskan, meski tanpa membeli kunci jawaban sekalipun. Namun ternyata, lulus UN saja, belum cukup untuk mengakhiri perjalanan hidup gue. Kini gue berada di ujung dilema baru, antara harus memilih kuliah atau tidak.

Malam itu, gue sedang berkumpul bersama teman-teman, selang sebulan setelah kelulusan. Gue ke sana dengan 3 orang teman gue, yakni Intan, Prima, dan Sukron. Intan merupakan seorang gadis berkulit putih yang sangat manis, dengan rambut panjang dan lebat, serta hidung yang mancung sekali. Manis dan hidung mancung? Ya, Intan mirip seperti hasil perkawinan silang antara boneka Barbie dan Pinokio. Sedangkan Prima, memang dia tidak seputih dan semanis Intan, namun dia orang yang sangat baik dan hangat sekali. Bukan hanya itu, Prima juga memiliki kelebihan yang menjadi ciri khasnya, yakni kelebihan jidat. Bisa dibilang, dia agak sedikit jenong gitu deh. Intan dan Prima itu mirip gue sama Sukron, mereka berdua sepasang sahabat yang selalu kemana-mana bareng.

 Kami mengobrol di sebuah warung makan yang menjual menu utama, Fried Chicken. Kami duduk di meja paling pojok dan memesan menu yang sama, paket 1 nasi, 1 ayam, dan  1 es teh manis. Tapi untuk urusan ayam, gue berbeda selera dengan yang lainnya, gue lebih senang dada dibangdikan paha. Di saat seperti ini, otak Cina gue mulai bekerja. Menurut gue, kalau membeli ayam selain dada itu adalah kerugian besar, karena dagingnya cuma sedikit, padahal harganya sama saja.

“Err~ Apa kabar?” ucap gue memulai basa-basi, dengan agak sedikit canggung, sambil menunggu Sukron mengambil pesanan di meja kasir.

“Kaku banget sih kamu, No, nanyain kabar segala, orang cuma sebulan doang gak ketemu,” kata Prima meledek.

“Baik kok, Don. Kamu sendiri apa kabar?” kata Intan dengan suara yang pelan dan lembut, sampai bikin gue pingin tidur di atas meja.

“Baik juga kok, hehe. Kalian habis ini, mau ke mana?” tannya gue, “Eh, maksudnya, habis lulus ini, kalian mau ngapain? Mau kuliah atau kerja kah? Atau nikah? Hehe,” sambung gue lagi melanjutkan pertanyaan sebelumnya.

“Kirain apaan, Don. Kalau aku sih, disuruh sama Bapak kuliah, Don,” jelas Intan sambil mengurai rambut panjangnya.

“Kalau aku sih, Alhamdulillah,sudah kerja seminggu No, di Matahari Departement Store,” jawab Prima dengan penuh bangga.

“Kerja jadi apa? Jadi patung yang dipajang di depan Matahari itu, yak?” tanya gue dengan muka serius.

“......” Prima cuma diam, sambil gigitin botol saos di hadapannya.

Selang beberapa saat, Sukron pun datang membawa pesanan kami. Berhubung sedang makan, kami sejenak menghentikan obrolan kami yang sedang seru. Obrolan seru mengenai masa depan masing-masing. Bagi Sukron, masa depannya tidaklah semenarik anak-anak pada umumnya. Kenapa begitu? Ya, secara blak-blakan,Sukron sudah bilang ke gue, kalau dia gak bisa kuliah dulu, karena belum ada biaya. Namun, di satu sisi, dia layak bangga, karena dia sudah bekerja dari saat kelas 2 SMA. Sebelumnya, dia sudah bekerja di Hotel sejak SMA sebagai waiter di berbagai Hotel besar di Surabaya. Sekarang, Puji Tuhan, dia mendapat pekerjaan yang lebih baik setelah lulus, yakni sales dari salah satu merek Hapeterkenal. Sedangkan gue? Hmm, gue belum jadi apa-apa dan belum tau akan melangkah ke mana. Gue bimbang, bagaikan kapal otok-otok yang ditaruh di dalam baskom. Ya, gue hanya bisa muter-muter di tempat yang sama saja dan belum keluar dari zona nyaman gue.

Kegalauan gue berawal setelah kelulusan SMA, karena gue masih bingung, apakah harus kuliah atau tidak. Di satu sisi, gue ingin kuliah, namun di satu sisi, sosok gue yang pemalas meminta untuk refreshing sejenak selama setahun. Gue memiliki prinsip, bahwa sukses itu gak harus kuliah dan menjadi sarjana kok. Pemahaman itu gue dapatkan, karena gue terinspirasi dari banyak orang sukses yang bukan merupakan seorang sarjana. Contohnya Bill Gates, Mark Zuckerberg, dan Pak Tejo. Siapa itu, Pak Tejo? Beliau adalah pengusaha ayam hias warna-warni yang dijual di depan sekolah-sekolah Dasar.

“Kuliah, gak kuliah itu sama aja, kalau rejekinya bagus ya bagus aja, walaupun  cuma lulusan SD sekalipun. Setuju gak, Jenong?” ujar Sukron, sambil meledek Prima yang masih asyik gigitin botol saos.

“Iya Don, kali ini, aku setuju banget sama Sukron. Nasib kita itu ditentuin dari yang di atas loh. Jadi gak usah galau lagi,” kata Prima sok bijak.

“Yaps, bener tuh. Paling penting sih, kalau nanti udah sukses semua, jangan lupa sama teman lama yak,” ujar Sukron, sambil menyeruput sisa es teh di dalam gelasnya.

“Sudah, jangan galau lagi, masih muda kok galau terus, kita pasti sukses dengan jalan hidup kita sendiri-sendiri kok nanti, Don.” Ujar Intan berusaha menghibur gue, sambil melemparkan senyuman manisnya ke arah gue.

Pertemuan singkat malam itu, diakhiri dengan penuh kehangatan dan pengharapan. Ya, kita semua saling berharap dan percaya, bahwa kita semua akan bisa sukses kelak. Senang rasanya, bisa bereuni dengan beberapa teman lama. Gue tidak menyangka, ternyata kita masih bisa tetap akrab, meskipun sudah tidak mengenakan seragam yang sama lagi. Bukan hanya itu saja, kebahagiaan gue malam itu semakin lengkap, ketika mendengar kalimat terakhir dari Sukron, “Tenang, aku yang bayarin makanan mu, Don!”  

..........

“Don, besok kita berangkat ke Tangerang, ya!” kata Cik Gong, dengan nada sedikit panik setelah menutup telepon rumah yang diangkatnya.

“Hah?! Besok?! Kok mendadak banget sih,” ujar gue bertanya dengan penuh rasa penasaran, sambil melompat dari atas kasur.

**Lanjutan cerita akan segera dipost, jadi pantau terus "Mahasiswa 1/2 Abadi" di Kompasiana :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun