Indonesia suatu kali oleh para peneliti di Barat pernah disebut sebagai sebuah negara yang terbelah (fragmented state). Apakah yang dimaksud dengan a fragmented state itu? Dalam konteks politik geografi, fragmented state berarti sebuah negara yang terdiri dari bagian-bagian daerah serta kepulauan, lalu terpecah lagi dalam fragmen-fragmen etnis, budaya, bahasa, agama kepercayaan, dan kemudian terpecah lagi dalam segregasi sosial, ekonomi, ideologi dan politik. Dalam konteks perpolitikan tanah air, dalam sejarahnya, politik nusantara – mulai dari zaman kerajaan sampai era Indonesia merdeka – selalu diwarnai oleh konflik.
Sejak awal, sosok seperti Mahapatih Majapahit, Gajah Mada, dan Proklamator serta Presiden pertama kita, Ir Sukarno, sudah memaklumi tendensi kita sebagai bangsa yang besar namun terbelah. Para pemimpin selanjutnya – baik pemimpin formal, seperti para raja, sultan, sampai presiden, maupun pemimpin informal, para pandhito, pendeta, wali, kyai, cendekiawan – mencoba untuk mengantisipasi tendensi keterpecahan ini guna membangun sebuah gugusan kekuatan yang kokoh di kawasan strategis bernilai tinggi sebagaimana Indonesia saat ini.
Gajah Mada berikrar Sumpah Palapa untuk menyatukan nusantara. Soekarno berikrar bersatu dan merdeka dari kolonialisme dan imperialisme untuk seluruh tanah jajahan. Proklamasi adalah jembatan emas, menurut Bung Karno, menuju kemerdekaan politik dan kemerdekaan ekonomi. Kuncinya adalah persatuan. Dalam politik, untuk tujuan efektivitas sebuah pemerintahan, dikenal sebuah upaya menyatukan dan mengelola arena politik publik yang tadinya terpecah dan konfliktual menjadi lebih tertata dan terkontrol. Upaya tersebut dikenal sebagai sebuah ‘political order’.
Dalam perjuangan menuju kemerdekaan maupun di awal-awal terbentuknya negara Indonesia, para pemimpin nasional kita membangun basis yang kokoh untuk negeri yang baru lepas dari penjajahan ini dengan fondasi dialog yang terbuka, demokratis dan egaliter.
Disadari atau tidak, dialog dan sebuah silaturahim menjadi penting dalam konstalasi rentan politik Indonesia yang sudah sunatullahnya terfragmentasi sedemikian rupa. Dalam masyarakat yang rentan konflik dan dipenuh berbagai trauma serta segregasi ekononomi, sosial dan politik sebagaimana republik tercinta kita ini maka dialog yang terbuka, egaliter, bermarwah, adil dan solutif akan sangat produktif untuk membenahi Indonesia yang kompleks ini.
Ketidakpastian dan kesaling-curigaan antar kelompok, kepentingan politik, etnis, agama maupun klas sosial bisa direduksi dengan mengupayakan dialog dan musyawarah yang sejajar dan mencari titik temu yang adil bagi semua pihak. Dialog akan menghasilkan sebuah konsensus, ia tak boleh statis, namun harus selalu diperbaharui sesuai dengan perkembangan dan konteks sosial ekonomi politik saat itu. Jangan terjebak pada bentuk-bentuk formalitas karena dialog yang otentik seringkali akan justru kau temukan dalam suasana yang informal. Kesepakatan dan pertemuan (politik) yang jujur dan jernih akan menyembuhkan Indonesia dari silang-sengkarut problem sosial dan fragmentasi sosial politik yang entah karena natural atau konspirasi telah eksis dan semakin parah akhir-akhir ini.
Menarik menyimak aksi seorang budayawan besar, sedikit dari yang tersisa saat ini, a great leader, pemimpin informal, Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun hampir dua puluh tahun terakhir. Untuk menyembuhkan Indonesia, Cak Nun dengan kelompok Kiai Kanjeng dan komunitas Maiyahan-nya telah melakukan ‘dialog massal’ dengan rakyat di sejumlah kota secara intens dan teratur. Di Jombang dikenal dengan ‘Pengajian Padhangmbulan’, di Jakarta dengan ‘Kenduri Cinta’, di Yogya dengan ‘Mocopat Syafaat’, di Surabaya dengan ‘Bangbang Wetan’, di Semarang dengan nama ‘Gambang Syafaat’, di Klaten dengan nama “Sadranan Kubro’, di berbagai tempat dikenal juga dengan “Sinau Bareng Cak Nun’.Â
Serial dialog massal ‘berbasis cinta’-nya Cak Nun diikuti oleh ribuan masyarakat dan ditonton oleh jutaan orang baik via TV lokal maupun youtube. Tak sedikit tokoh yang hadir baik di saat acara Majlis Masyarakat Maiyah atau bertemu Cak Nun langsung secara pribadi dengan segala kepentingannya. Bagi Cak Nun, semua pertemuan, sejauh itu untuk kepentingan dan kebaikan untuk masyarakat umum, akan dilayani. Sejauh untuk kemaslahatan umat dan kebesaran bangsa, Cak Nun tak akan ragu untuk berdialog dan mencari solusi pelbagai masalah bangsa.
Menarik saat pertemuan antara Cak Nun dengan seorang pengusaha sukses yang akhir-akhir ini terjun di politik dengan mendirikan sebuah partai baru bernama Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Hary Tanoesoedibjo beberapa waktu lalu. Saya membacanya dari status twitter seorang teman. Kedua tokoh ini membicarakan nasib sepak bola kita, bagaimana mengurai konflik dan mencari jalan keluar penyelesaian karena bagaimanapun sepak bola adalah milik rakyat, bukan milik elite, milik menpora, FIFA, ataupun klub, atau pengusaha. Pertemuan dua tokoh ini menunjukkan kesejatian Indonesia karena merefleksikan banyak simbol. Lebih lanjut, kepada seluruh pemimpin dan tokoh di negeri ini agar sering-seringlah berdialog secara sehat, jujur dan jernih. Intinya, silaturahim politik yang inklusif, adil dan progresif adalah kunci utama, awal yang baik untuk menyembuhkan penyakit sebuah bangsa terfragmentasi bernama Indonesia. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H