Oleh: Donny Setiawan[1]
Sebagian masyarakat mungkin mengetahui bahwa 19 Juli 2011 yang lalu BPK RI Perwakilan Jawa Barat telah menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Garut Tahun 2010 kepada DPRD dan Bupati Garut beserta 9 (sembilan) kabupaten/kota lainnya. Proses pemeriksaan BPK atas LKPD TA 2010 ini dilakukan selama kurun waktu 8 April-27 Mei 2011.
Seperti biasanya, hasil pemeriksaan oleh BPK ini disajikan dalam tiga buku, yaitu: Buku I. Laporan Hasil Pemeriksaan Keuangan atas Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Garut Tahun 2010 per 31 Desember 2010; Buku II. Laporan Hasil Pemeriksaan Sistem Pengendalian Internal; dan Buku III. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan. Ketiganya diterbitkan bersamaan pada tanggal 6 Juli 2011.
Pemeriksaan BPK RI atas laporan keuangan Pemkab Garut setidaknya diatur dalam UU No. 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Dalam kedua undang-undang tersebut disebutkan bahwa laporan hasil pemeriksaan yang telah diserahkan kepada lembaga perwakilan (DPRD), dinyatakan terbuka untuk umum. Oleh karenanya, LHP BPK dapat dikatakan bukan dokumen yang dikategorikan rahasia negara.
Dari kajian saya atas ketiga buku tersebut, secara umum temuan-temuan BPK atas LKPD Garut TA 2010 dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori, yaitu:
1.Ketidaksinkronan, kekurangtepatan dan ketidaklengkapan data pelaporan keuangan;
BPK menyatakan bahwa Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan per 31 Desember 2010 telah disajikan secara wajar dan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. Atas dasar ini BPK RI memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian. Namun demikian, saya menemukan terdapat beberapa ketidaksinkronan dalam pencatatan laporan keuangan setelah dibandingkan dengan beberapa sumber data lain.
Dari hasil kajian saya terhadap materi laporan keuangan yang ada di Buku I ditemukan beberapa pencatatan yang berbeda. Perbedaan pertama saya temukan ketika membandingkan pencatatan Aset Lancar pada Neraca Keuangan per 31 Desember 2010 dalam buku LHP dengan yang tertuang dalam Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan (LPP) APBD TA 2010 yang diserahkan ke DPRD. Dari perbandingan tersebut ditemukan terdapat perbedaan jumlah/selisih untuk pencatatan Piutang Pajak dan Retribusi sebesar Rp. 11 miliar. Pada neraca yang dicantumkan dalam LHP dituliskan Piutang Pajak dan Retribusi Rp. 17 miliar, sementara pada LPP APBD TA2010 sebesar Rp. 6 miliar.
Menurut saya, data laporan keuanganyang diserahkan ke DPRD seharusnya sama dengan data yang dijadikan materi pemeriksaan oleh BPK. Hal ini mengingat status pencatatannya sama yaitu per 31 Desember 2010.
Apakah ini berarti capaian Piutang Pajak dan Retribusi sebesar Rp. 11 miliar sengaja tidak dilaporkan oleh Pemkab Garut ke DPRD? Perbedaan data neraca ini pernah ditemukan juga pada tahun 2009 dengan komponen yang berbeda.
Perbedaan lainnya saya temukan ketika mengkaji pencatatan data transfer dana dari Pemerintah Pusat ke Pemkab Garut. Saya mencoba membandingkan antara data Laporan Realisasi Anggaran dalam LHP, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri Keuangan terkait alokasi dana transfer serta data penyaluran dana transfer ke daerah dalam website Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan. Dari perbandingan tersebut, ditemukan terdapat kelebihan transfer dana dari Pemerintah Pusat khususnya pada Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam sebesar Rp. 66 miliar.
Saya belum mengetahui secara pasti apa penyebab terjadinya kelebihan transfer ini. Tampaknya perlu dilakukan konfirmasi lebih lanjut kepada Kepala DPPKA Kab. Garut atau Direktorat Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan mengenai hal ini.
Terkait dengan kekurangtepatan pencatatan laporan keuangan, ditemukan auditor BPK di Dinas Bina Marga untuk kegiatan Rehabilitasi/Pemeliharaan Berkala Jalan Kabupaten dan Dana Penguatan Infrastruktur dan Prasarana Daerah (DPIPD) untuk Bidang Jalan dan Jembatan. Kegiatan yang anggarannya sebesar Rp. 8 miliar dan 10,8 miliar tersebut dialokasikan dan dicatat dalam kategori Belanja Barang dan Jasa. Padahal seharusnya dikategorikan dalam Belanja Modal karena memiliki nilai manfaat lebih dari 12 bulan.
Kekurangtepatan pencatatan laporan keuangan juga tercermin dalam penyajian penyertaan modal dari investasi terarah kepada 21 (dua puluh satu) kantor cabang BPR senilai Rp. 1,99 miliar. Temuan ini sudah diungkapkan BPK pada LHP BPK RI atas LKPD TA 2009.
Terkait dengan temuan ketidaklengkapan data pendukung dalam pertanggungjawaban pencatatan laporan keuangan diantaranya ditemukan dalam penyajian piutang lainnya dan piutang kios pasar yang ada dokumen pendukung yang memadai. Temuan ini adalah temuan yang sama pada LHP BPK RI atas LKPD TA 2009.
Temuan lainnya terkait ketidaklengkapan data pendukung pertanggungjawaban laporan keuangan terdapat dalam penyaluran dana Bantuan Sosial dan Bantuan Hibah 2010. BPK menemukan terdapat 56 (lima puluh enam) organisasi/kelompok masyarakat dengan jumlah total Rp. 12,9 miliar yang belum menyerahkan laporan pertanggungjawaban penggunaan dana.
2.Penatausahaan persediaan dan aset tetap yang belum tertib;
Temuan terkait penatausahaan persediaan dan aset tetap ini dituangkan secara rinci oleh auditor BPK pada Buku II. Pada Buku II disebutkan bahwa terdapat penatausahaan persediaan di Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, BLUD RSUD Dr. Slamet dan Sekretariat Daerah yang dinilai BPK belum memadai. Hal ini didasarkan pada hasil stock opname terhadappersediaan barang yang diantaranya berupa obat-obatan dan ATK.
Sementara itu, penatausahaan aset tetap di DPPKA, Dinas Bina Marga, Sekretariat Daerah, Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan dinilai auditor BPK tidak tertib. Diantaranya malah terdapat Aset Tetap senilai Rp. 203,8 miliar yang tidak dapat ditelusuri keberadaannya. Aset Tetap tersebut diantaranya berupa: kendaraan roda empat, kendaraan roda dua, laptop, printer, scanner, dan lain-lain.
3.Kebijakan/Implementasi kebijakan yang kurang tepat;
Kekurangtepatan implementasi kebijakan ditemukan BPK diantaranya pada penyertaan modal pada 6 (enam) kantor cabang BPR yang telah dilikuidasi senilai Rp. 585 juta. Penyertaan modal pada kantor cabang BPR yang telah dilikuidasi ini dinilai tidak jelas dasar perhitungannya. Temuan ini adalah temuan yang sama yang diungkap BPK pada LHP tahun-tahun sebelumnya.
Kebijakan dan implementasi kebijakan lainnya yang dinilai kurang tepat ditemukan oleh auditor BPK di BLUD RSUD Dr. Slamet. Setidaknya terdapat 5 (lima) temuan BPKdi RSUD Dr. Slamet Garut. Temuan-temuan tersebut adalah:
a)Adanya piutang pasien kerjasama (Asuransi Blue Dot, Bumi Putera dan Furi Asih serta Koperasi Karyawan RSUD) yang berpotensi tidak tertagih senilai kurang lebih Rp. 326,8 juta;
b)Over-quota penggunaan dana Jamkesda dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat senilai kurang lebih Rp. 14,7 miliar tidak dapat diklaim karena Pemprov Jabar tidak mengakuinya sebagai hutang;
c)Over-quota penggunaan dana Jamkesda Pemkab Garut melalui SKTM senilai kurang lebih Rp. 110,5 juta tidak dapat diklaim kepada Pemkab Garut;
d)Penarikan dana Jamkesmas senilai kurang lebih Rp. 31,8 miliar dari Rekening BRI yang tidak melalui proses verifikasi dari Tim Verifikator Independen sebagai diatur dalam pedoman penyaluran dana Jamkesmas;
e)Pengadaan obat non-generik di RSUD Dr. Slamet senilai kurang lebih Rp. 848,7 juta tidak memperhatikan Peraturan Menteri Kesehatan tentang kewajiban rumah sakit untuk menggunakan obat generik;
f)Penyediaan Biaya Umum/Operasional bagi RSUD Dr. Slamet senilai kurang lebih Rp. 504,9 juta diluar anggaran yang telah ditetapkan tidak sesuai ketentuan; dan
g)Kebijakan pemberian remunerasi kepada pejabat pengelola dan pegawai senilai kurang lebih Rp. 2,3 miliar dinilai tumpang tindih dengan pemberian jasa pelayanan dan biaya operasional;
Secara umum, temuan di RSUD Dr. Slamet Garut terjadi karena kelemahan manajemen organisasi. Sementara itu, dua temuan terakhir di atas terjadi karena adanya kebijakan yang tidak tepat dan berpotensi terjadinya pemborosan dan tumpang tindih alokasi.
Kebijakan tersebut adalah terkait adanya biaya umum dan biaya penunjang yang diatur dalam Peraturan Daerah No. 2/2007tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan dan Fasilitas Lainnya pada Badan Pengelola RSUD Dr. Slamet Garut dan Peraturan Bupati No. 264/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda No. 2/2007. Selain itu, Keputusan Bupati Garut No. 900/Kep.74-RSU/2010 tanggal 8 Februari 2010 tentang Pemberian Remunerasi kepada Pejabat Pengelola dan Pegawai RSUD Dr. Slamet Garut dengan Status Pola Pengelolaan Keuangan BLUD-Penuh TA 2010 dinilai tunpang tindih dengan Peraturan Bupati No. 264/2007 dan Peraturan Bupati No. 561/2009 tentang Tambahan Penghasilan PNS berdasarkan Beban Kerja di Pemerintah Kabupaten Garut.
Berkenaan dengan tumpang tindih kebijakan di RSUD Dr. Slamet tersebut, maka PNS di RSUD berpotensi mendapatkan 4 (empat) jenis remunerasi/tambahan penghasilan/tunjangan pegawai, yaitu dari: jasa pengelolaan retribusi, jasa pelayanan, remunerasi dari pendapatan RSUD dan remunerasi/TPP PNS dari APBD. Dalam hal ini pendapatan RSUD sebagian besar didistribusikan untuk pembayaran tambahan penghasilan pejabat pengelola dan pegawai. Hal tersebut secara jelas mengindikasikan terjadinya pemborosan anggaran di RSUD Dr. Slamet Garut.
Dari uraian di atas terlihat bahwa permasalahan hutang-piutang program Jamkesmas dan Jamkesda ternyata telah berlangsung sejak tahun 2010. Untuk hal ini saya sepakat dengan auditor BPK bahwa persoalan ini dilatarbelakangi dengan tidak adanya kebijakan yang jelas tentang siapa penduduk miskin yang berhak menjadi penerima manfaat program Jamkesmas/Jamkesda.
Ketidakjelasan ini membuat masyarakat miskin ataupun tidak miskin dapat melakukan klaim terhadap pelayanan Jamkesmas/Jamkesda dengan berbekal SKTM dari Kepala Desa. Hal ini secara nyata berimplikasi pada penetapan alokasi kebutuhan anggaran untuk program Jamkesmas/Jamkesda menjadi sulit diprediksi.
Berdasarkan temuan-temuan di RSUD Dr. Slamet di atas, setidaknya 4 (empat) kali BPK merekomendasikan kepada Bupati Garut untuk memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada Direktur RSUD Dr. Slamet Garut.
4.Adanya indikasi penyalahgunaan anggaran;
Beberapa temuan yang terindikasi adanya penyalahgunaan anggaran sebagaian besar dituang auditor BPK dalam Buku III. Pada Buku III, auditor BPK menyimpulkan adanya ketidakpatuhan, kecurangan dan ketidakpatutan pada Pemerintah Kabupaten Garut. Kesimpulan tersebut didasari atas adanya 10 (sepuluh) pokok temuan ketidakpatuhan di Sekretariat DPRD, DPPKA, Sekretariat Daerah, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan dan RSUD Dr. Slamet Garut. Dari 10 (sepuluh) pokok temuan tersebut terindikasi kerugian negara kurang lebih sebesar Rp. 6,5 miliar.
Beberapa temuan penggunaan dan pertanggungjawaban anggaran yang diungkapkan BPK di beberapa SOPD malah dituliskan secara jelas terindikasi fiktif, tidak layak dibayarkan dan tidak sesuai kenyataan. Menurut saya malah dapat dikategorikan terindikasi penyalahgunaan anggaran secara disengaja. Oleh karena itu, temuan-temuan tersebut sangat layak ditindaklanjuti melalui pemeriksaan investigatif oleh aparat hukum.
Temuan-temuan yang terindikasi penyalahgunaan anggaran diantaranya adalah:
a)Pemberian hak-hak keuangan (uang representatif dan tunjangan) selama kurang lebih 15 (lima belas) senilai Rp. 522 juta kepada tiga anggota DPRD Garut yang dinyatakan bersalah dan memiliki kekuatan hukum tetap;
b)Pembayaran uang lembur pada bulan Desember 2010 untuk kegiatan Penyusunan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD kepada pegawai di Bidang Anggaran DPPKA senilai Rp. 63,3 juta yang diindikasikan tidak benar karena sudah dibayarkan sebelumnya pada bulan Agustus dan September 2010 senilai Rp. 223 juta;
c)Pertanggungjawaban 14 (empat belas) kegiatan pengadaan ATK dan penggandaan di Bidang Anggaran DPPKA senilai Rp. 432,8 juta terindikasi fiktif. Menurut pengakuan Bendahara Pengeluaran Pembantu Bidang Anggaran DPPKA, uang tersebut tidak dibayarkan kepada 6 (enam) rekanan (CV. Riana Jaya Prima, CV. Ikhsan Mandiri, CV. Cipanas, CV. Dua Putra, CV. Shadili, CV. Mega Jaya Puteri). Melainkan disimpan di rekening tabungan atas nama Sdr. RNR dgn No. Rek: 0006957110100 di bank BJB Cab. Garut atas sepengetahuan Kabid. Anggaran. Uang tersebut digunakan oleh Bid. Anggaran dengan sepengetahuan Kabid. Anggaran untuk keperluan diluar kedinasan dan atau pribadi serta diberikan kepada pihak tertentu (pejabat & staf Pemkab Garut);
d)Penggunaan dana makan minum di Bagian Umum Sekretariat Daerah senilai Rp. 1,09 miliar yang dinilai kurang tepat dan tidak sesuai kenyataan. Pada kenyataannya, bukti-bukti pengeluaran penyediaan makan minum dibuat oleh Staf Pelaksana Administrasi dengan sepengetahuan Kabag. Umum dan Kasubag. Protokol dan Rumah Tangga hanya untuk formalitas namun tidak mengetahui secara pasti penggunaannya. Menurut Kasubag Protokol dan Rumah Tangga, uang yang sebenarnya digunakan untuk membayar kegiatan-kegiatan diluar anggaran yang tersedia;
e)Kegiatan Penyelenggaraan dan Pembinaan Internal Umat Beragama pada Bagian Administrasi Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah sebesar Rp. 461,9 juta dilaksanakan sebelum anggaran ditetapkan dan pertanggungjawabannya tidak diyakini kebenarannya;
Atas temuan-temuan tersebut, BPK RI merekomendasikan kepada Bupati Garut diantaranya untuk memberikan sanksi sesuai ketentuan kepada Kepala Bidang Anggaran dan Bendahara Pengeluaran Pembantu Bidang Anggaran DPPKA, Kepala DPPKA, Kepala Bagian Umum Setda, Kepala Sub Bagian Rumah Tangga dan Protokol dan Bendahara Pengeluaran Pembantu di Bagian Umum Setda serta Kepala Bagian Administrasi Kesejahteraan Rakyat dan Bendahara Pengeluaran Pembantu di Bagian Administrasi Kesra Setda.
Sejak LHP ini diserahkan oleh BPK ke DPRD dan Bupati Garut sampai dengan tulisan ini dibuat, DPRD belum membahas dan menindaklanjuti temuan-temuan tersebut. Sejauh pengamatan saya, pembiaran yang dilakukan oleh DPRD Garut terjadi juga untuk LHP BPK RI atas LKPD Garut TA 2009.
Padahal, apabila mengacu pada Permendagri No. 13/2010 tentang Pedoman Pelaksanaan fungsi Pengawasan DPRD terhadap Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan BPK Pasal 6 Huruf (a) bahwa pembahasan atas laporan hasil pemeriksaan BPK dilakukan oleh DPRD paling lambat 2 (dua) minggu setelah menerima laporan hasil pemeriksaan BPK.
Pada akhirnya saya berharap bahwa tulisan ini dapat menjadi pengetahuan yang cukup berharga masyarakat Garut atas kinerja Pemeritahan Kabupaten Garut, khususnya pada tahun anggaran 2010. Mudah-mudahan dengan tulisan ini memberikan insiprasi bagi masyarakat untuk memperkuat pengawasan atas kinerja Pemerintahan Kabupaten Garut guna terciptanya tata kelola pemerintahan yang adil, amanah dan bertanggung jawab.
[1] Direktur Eksekutif Perkumpulan INISIATIF; Institute for Innovation, Participatory Development and Governance. Berdomisili di Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H