Oleh: Donny Setiawan[1]
Sejak awal Bulan Syawal lalu, masyarakat Garut dibuat heboh oleh peristiwa pengunduran diri Diky Candra sebagai Wakil Bupati Garut. Bagai petir di siang bolong, tiba-tiba saja Diky Candra mengajukan surat pengunduran diri ke DPRD Garut.
“Saya merasa sulit membangun sinergisitas dengan pimpinan daerah lainnya terkait dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah”. Itulah yang beliau tulis sebagai alasan pengunduran dirinya. Menurutnya, hal ini terjadi karena ketidakmampuan beliau untuk menyesuaikan diri dalam pola kepemimpinan yang ada. Ketidaksinergiaan inilah yang menurutnya menjadi salah satu penyebab lemahnya tata kelola pemerintahan di Garut.
Pasca pengajuan surat tersebut, muncul beragam pandangan dari berbagai kalangan. Mulai dari masyarakat biasa, pejabat Garut, para pakar dan akademisi, politisi hingga Gubernur dan Mendagri ikut memberikan komentar dan pandangan atas peristiwa ini. Banyak yang mengecam, tidak sedikit pula yang mendukung sikap Diky.
Perbedaan pandangan yang muncul bukan hanya pada logis atau tidaknya alasan yang diungkapkan oleh Diky Candra. Namun juga terkait siapa yang berhak memutuskan untuk menerima/menolak pengunduran diri Diky Candra dan bagaimana mekanismenya. Malah, akhir-akhir ini polemik di atas semakin meluas terkait dengan siapa nantinya yang berhak menggantikan posisi wakil bupati jika pengunduran diri Diky Candra disetujui. Hingga tulisan ini dibuat, polemik tentang pengunduran diri Diky Candra masih terus bergulir.
Sebagai warga Garut yang ikut merasakan dampaknya,saya melihat banyak pembelajaran berharga yang bisa didapatkan dari peristiwa ini. Jika kita kaji lebih dalam, peristiwa ini ternyata telah mengungkap banyak fakta tentang ketidaksempurnaan aturan perundang-undangan yang kita miliki. Pembelajaran-pembelajaran tersebut setidaknya terkait:
1.Kewenangan Wakil Kepala Daerah
Sejak proses revisi UU No. 32/2004 kembali digulirkan, materi yang cukup banyak mengundang perdebatan adalah terkait dengan tinjauan atas keberadaan wakil kepala daerah. Beberapa kelompok berpendapat posisi wakil kepala daerah tidak diperlukan. Kalaupun diperlukan, wakil kepala daerah tidak perlu dipilih secara demokratis dan jumlahnya tidak harus satu (sesuai kebutuhan). Cukup diangkat dari pejabat PNS yang memenuhi syarat. Kedudukan wakil kepala daerah seperti di atas pernah dipraktekkan di Indonesia ketika diberlakukannya UU No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
Kubu lainnya berpendapat wakil kepala daerah cukup dipilih oleh DPRD seperti ketika UU No. 22/1999 diberlakukan. Sementara itu, ada juga kubu lain yang tetap ingin mempertahankan paket kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat seperti yang terjadi saat ini mengacu pada UU No. 32/2004. Namun menurut mereka, aturan tentang kewenangan wakil kepala daerah ini perlu diatur secara tegas dan rinci.
Pada UU No. 12/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32/2004, klausus yang mengatur secara khusus tentang wakil kepala daerah hanya termuat dalam satu pasal yaitu Pasal 26 tentang tugas-tugas wakil kepala daerah. Mandat undang-undang atas tugas wakil kepala daerah tersebut tidak disertai dengan rincian kewenangan yang diperlukan untuk menjalankan tugas-tugasnya.
Ketidakjelasan rincian kewenangan seperti yang uraikan di atas disinyalir menjadi salah satu penyebab mundurnya Diky Candra dari jabatan Wakil Bupati Garut. Setidaknya itulah yang saya tangkap dari isi surat pengunduran diri Diky Candra.
Ketidakharmonisan kepala daerah dengan wakil kepala daerah akibat ketidakjelasan kewenangan ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Garut, tetapi juga terjadi di banyak daerah di Indonesia. Seperti yang diberitakan oleh beberapa media massa, apa yang dilakukan Diky Candra dikhawatirkan oleh Mendagri akan menjadi pemicu bagi wakil kepala daerah lainnya yang memiliki permasalahan serupa untuk mengambil sikap yang sama dengan Diky Candra.
Menurut saya, dengan tidak menafikan posisinya sebagai sub-ordinasi dari kepala daerah, maka rincian kewenangan wakil kepala daerah harus diatur secara jelas. Hal ini setidaknya dapat memberikan panduan bagi wakil kepala daerah dalam menjalankan tugas-tugasnya.
2.Mekanisme Pemberhentian Wakil Kepala Daerah karena Permintaan Sendiri
Meskipun sejak 14 September 2011 lalu, DPRD Kabupaten Garut sudah menggelar rapat paripurna dan pengunduran diri Diky Candra, namun putusan yang diambil malah menimbulkan polemik baru di masyarakat Garut.
Beberapa kalangan, baik LSM atau akademisi Garut mengecam putusan Rapat Paripurna DPRD tersebut. Mereka menganggap putusan tersebut tidak tegas. DPRD hanya berperan seperti “tukang pos” yang hanya meneruskan surat pengunduran diri Diky Candra untuk diputuskan oleh Mendagri melalui Gubernur.
Polemik ini pada dasarnya diawali karena perbedaan tafsir atas mekanisme pengunduran diri wakil kepala daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 32/2004 dan PP No. 6/2008. UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 29 Ayat (3) yang menyebutkan bahwa pemberhentian kepala daerah/wakil daerah karena permintaan sendiri (Pasal 29 Ayat (1) Huruf(b)) diberitahukan oleh pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan oleh Pimpinan DPRD.
Sementara itu, PP No. 6/2005tentang tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Pasal 123 Ayat (2) Huruf (g) menyebutkan bahwa pemberhentian kepala daerah/wakil daerah karena permintaan sendiri (Pasal 123 Ayat (1) Huruf(b)) diberitahukan oleh pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan pemberhentiannya oleh Pimpinan DPRD. Dalam penjelasan Pasal 123 Ayat (1) Huruf (b) disebutkan bahwa pemberhentian atas permintaan sendiri tidak menghapuskan tanggung jawab yang bersangkutan selama memangku jabatan.
Baik dalam UU No. 32/2004 ataupun PP No. 6/2005, tidak cukup jelas menjelaskan siapa yang berhak memutuskan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah dengan alasan permintaan sendiri. Apakah DPRD? Ataukah Mendagri sebagai pihak yang membuat surat keputusan tentang pengesahan atas pemberhentian dan pengangkatan bupati/wakil bupati?
Satu hari setelah digelarnya Rapat Paripurna DPRD yang membahas pengunduran diri Diky Candra, saya mendapat kesempatan bertemu dengan salah satu Pimpinan DPRD Garut. Saat itu saya bertanya kepada beliau tentang alasan DPRD mengambil keputusan yang dikesankan oleh beberapa kalangan sebagai keputusan yang tidak tegas dan seolah-olah “mengalihkan tanggung jawab” kepada Mendagri.
Beliau mengatakan bahwa itulah “ijtihad” yang diambil oleh DPRD. Keputusan DPRD ini didasarkan tafsir mereka atas klausul aturan perundang-undangan yang mengatur pemberhentian wakil kepala daerah karena alasan mengundurkan diri. Menurut beliau, DPRD merasa tidak mendapatkan arahan yang jelas saat mereka berkonsultasi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kementerian Dalam Negeri.
3.Mekanisme Pergantian Wakil Kepala Daerah yang Mengundurkan Diri
Hal lainnya yang berpotensi menjadi polemik adalah terkait mekanisme pergantian Wakil Bupati ketika pengunduran diri Diky Candra akhirnya disetujui/disahkan. Meskipun nasib pengunduran diri Diky Candra masih belum ada kepastian, namun “bursa” calon Wakil Bupati pengganti sudah menjadi objek yang hangat diperbincangkan oleh masyarakat.
Mekanisme tentang pergantian wakil kepala daerah yang mengundurkan diri diatur dalam UU No. 12/2008 Pasal 26 Ayat (7) dan PP No. 49/2008 tentang Perubahan Ketiga atas PP No. 6/2005 Pasal 131 Ayat (2d) yang sama-sama menyebutkan bahwa dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang berasal dari calon perseorangan karena meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama enam bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya dan masa jabatannya masih tersisa delapan belas bulan atau lebih, kepala daerah mengajukan dua orang calon wakil kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD.
Pada UU No. 12/2008 ataupun PP No. 49/2008 tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai darimana calon wakil kepala daerah yang diusulkan oleh Bupati tersebut berasal. Apakah tetap dari perseorangan? Ataukah boleh dari partai politik? Apakah harus terdaftar sebagai peserta pilkada sebelumnya?
Selain ketidakjelasan di atas, hal lain yang dianggap kurang jelas adalah terkait dengan mekanisme pergantian dan pemilihan wakil kepala daerah pengganti. Apakah calon wakil bupati pengganti harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam UU No. 32/2004? Bagaimana mekanisme verifikasinya? Apakah oleh DPRD? Ataukah oleh KPU?
Aturan yang lebih jelas terlihat dalam regulasi tersebut jika wakil kepala daerah yang mengundurkan diri berasal dari partai politik/gabungan partai politik. Hal tersebut diatur UU No. 12/2008 Pasal 26 Ayat (6) dan PP No. 49/2008 tentang Perubahan Ketiga atas PP No. 6/2005 Pasal 131 Ayat (c).
Polemik lainnya yang mungkin akan muncul terkait pergantian wakil bupati pengganti adalah dampak dari bergabungnya Aceng H.M. Fikri ke Partai Golkar saat menjabat sebagai Bupati Garut. Sebagaimana diketahui, Aceng H.M. Fikri dan Diky Candra ditetapkan sebagai pemenang pilkada dari jalur perseorangan dan kemudian disahkan oleh Mendagri menjadi Bupati dan Wakil Bupati Garut.
Pada saat pengusungan calon wakil bupati pengganti nantinya, Bupati akan banyak dipusingkan dengan banyaknya klaim tentang siapa yang berhak mengisi posisi tersebut. Partai Golkar, Forum Pengusung Calon Independen Garut ataupun parpol lain akan saling klaim bahwa dari kelompok merekalah seharusnya wakil bupati pengganti tersebut berasal.
Sebatas pengetahuan saya, perpindahan “perahu” kepala/wakil kepala daerah atau anggota legislatif tidak hanya terjadi di Kabupaten Garut, tapi juga terjadi di beberapa daerah. Termasuk dialami Wakil Gubernur Jawa Barat saat ini.
Saya kira inilah dampak dari ketidakjelasan regulasi yang mengatur tentang boleh tidaknya kepala/wakil kepala daerah berpindah “perahu” ketika yang bersangkutan masih menduduki jabatan tersebut. Menurut saya, selayaknya KPU, DPRD dan Mendagri bertanggung jawab untuk segera mencari solusi persoalan tersebut.
Melalui tulisan ini saya ingin mengajak pembaca untuk melihat lebih jernih bahwa polemik di atas bukan semata persoalan “domestik” dalam tata kelola pemerintahan di Kabupaten Garut. Persoalan tersebut selayaknya dipandang sebagai persoalan nasional sebagai dampak dari kekurangsempurnaan aturan perundang-undangan yang kita miliki.
Saya sendiri cukup prihatin atas komentar dari beberapa pejabat di Pemerintah Pusat dan anggota DPR RI yang dimuat di beberapa media massa. Alih-alih memberikan komentar yang menyejukkan, beberapa diantara mereka malah memberikan komentar yang tidak bijak dan cenderung memperkeruh suasana. Beberapa malah menyalahkan orang per orang, utamanya Bupati dan Wakil Bupati Garut.
Fenomena konflik kepala daerah dengan wakil kepala daerah akibat ketidakjelasan kewenangan, pemberhentian kepala/wakil kepala daerah karena pemakzulan atau mengundurkan diri ataupun fenomana kepala daerah/wakil kepala daerah yang berpindah “perahu” sebenarnya sudah terjadi sejak otonomi daerah mulai diberlakukan. Namun, Pemerintah Pusat dan DPR RI lambat merespon fenomena-fenomena tersebut dalam bentuk perbaikan regulasi yang lebih antisipatif.
Saya berharap Pemerintah Pusat dan DPR RI dapat belajar dari peristiwa yang terjadi Garut saat ini. Bagaimanapun juga, peristiwa ini telah memberikan sumbangsih pengetahuan yang cukup berharga atas persoalan-persoalan riil yang selama ini terjadi dalam tata kelola pemerintahan di daerah. Khususnya dapat memberikan banyak masukan bagi revisi UU No. 32/2004 yang sedang berlangsung saat ini.
[1] Berdomisili di Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H