Oleh: Donny Setiawan[1]
Akhir-akhir ini media massa diramaikan oleh pemberitaan tentang mundurnya Rd. Diky Candra dari jabatan Wakil Bupati Garut Periode 2009-2014. Setidaknya Mendagri, Gubernur Jawa Barat, para pakar pemerintahan, politisi lokal dan nasional serta aktivis LSM turut memberikan komentar atas peristiwa ini. Sebagian kalangan malah berpendapat bahwa mundurnya Wakil Bupati pada saat masih menjalani masa jabatannya -- bukan karena diangkat menjadi menteri atau mencalonkan kembali menjadi kepala daerah -- merupakan peristiwa yang pertama kali terjadi di Indonesia.
Alasan mundurnya Diky Candra memang berbeda dengan Fadel Muhammad ketika mengundurkan diri dari jabatan Gubernur Gorontalo ketika beliau akan diangkat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan oleh SBY. Berbeda pula dengan alasan mundurnya 63 kepala daerah pada tahun 2009 karena yang bersangkutan akan mencalonkan kembali menjadi kepala daerah (incumbent).
Menurut pengakuan Ketua DPRD Garut sebagaimana dilansir di banyak media, surat permohonan pengunduran diri Diky Candra sudah diterima pimpinan DPRD pada tanggal 5 September yang lalu.
Pada surat pengunduran dirinya, Diky mengungkapkan bahwa alasan beliau mundur merasa kesulitan membangun sinergisitas dengan pimpinan daerah lainnya (Bupati) terkait dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Menurutnya, mungkin ini karena ketidakmampuan beliau untuk menyesuaikan diri dalam pola kepemimpinan yangada selama ini.
Ketidaksinergiaan inilah yang menurut Diky menjadi salah satu penyebab lemahnya tata kelola pemerintahan daerah di Kabupaten Garut. Menurut beliau, perbedaan pandangan dan prinsip ini jangan diartikan adanya konflik antara beliau dengan Bupati. Namun lebih pada perbedaan cara dan gaya dalam memimpin.
Diky memilih mundur dengan alasan untuk mencegah terjadinya efek buruk di birokrasi dan masyarakat akibat ketidaksinkronan ini serta demi kelancaran penyelenggaraan pemerintah daerah. Diky berharap, dengan mundurnya beliau dapat membuat Bupati lebih fokus dengan gagasan-gagasannya dalam mengawal pemerintahan.
Sebelumnya, pemberitaan di media massa menafsirkan alasan pengunduran diri Diky Candra karena adanya ketidakharmonisan dengan Aceng H.M. Fikri selaku Bupati Garut. Tafsir ini muncul mengingat sudah sejak lama rumor tentang ketidakharmonisan antara Bupati dan Wakil Bupati ini beredar di masyarakat Garut. Bahkan beberapa waktu lalu pada salah satu acara seminar tentang evaluasi satu tahun pemerintahan Aceng-Diky, beberapa sesepuh Garut mencoba mendamaikan keduanya. Di sisi lain, melalui pemberitaan di media massa Aceng Fikri dan Diky Candra membantah adanya ketidakharmonisan ini.
Apapun yang menjadi alasan Diky Candra mundur, saya berpendapat bahwa kejadian ini adalah bukti nyata dari potret ketidakjelasan peran dan kewenangan wakil kepala daerah dalam regulasi kita. Ketidakjelasan peran dan kewenangan wakil kepala daerah beberapa waktu lalu menjadi perdebatan hangat di pemerintah pusat dan dilansir di beberapa media nasional. Bukan hanya Diky Candra yang mengalami situasi ini, tapi juga wakil-wakil kepala daerah di tempat lain.
Tampaknya takdir juga yang menentukan jika persoalan ini diungkapkan secara nyata di Garut melalui Diky Candra. Dalam hal ini, saya pribadi sangat mengapresiasi keberanian dan sikap yang dipilih oleh Diky Candra tersebut. Terlepas kemudian apakah beliau jadi mengundurkan diri atau tidak.
Saya berharap pemerintah pusat, khususnya Kementerian Dalam Negeri dapat mengambil pembelajaran dari peristiwa ini. Besar harapan saya peristiwa di Garut ini dapat memberikan masukan tersendiri pada proses perubahan UU No. 32/2004 yang saat ini sedang berlangsung, khususnya terkait dengan peran dan kewenangan wakil kepala daerah.
Pada UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 12/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32/2004, mekanisme pemberhentian kepala daerah/kepala daerah diatur secara terperinci pada Pasal 29. Pada Ayat (3) Pasal 29 tersebut disebutkan bahwa pemberhentian kepala daerah/wakil daerah karena permintaan sendiri (Pasal 29 Ayat (1) Huruf (b)) diberitahukan oleh pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan oleh Pimpinan DPRD.
Pada PP No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, mekanisme pemberhentian kepala daerah/kepala daerah diatur secara terperinci pada Pasal 123. Pada Ayat (2) Huruf (g) Pasal 123 tersebut disebutkan bahwa pemberhentian kepala daerah/wakil daerah karena permintaan sendiri (Pasal 123 Ayat (1) Huruf(b)) diberitahukan oleh pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan pemberhentiannya oleh Pimpinan DPRD. Dalam penjelasan Pasal 123 Ayat (1) Huruf (b) disebutkan bahwa pemberhentian atas permintaan sendiri tidak menghapuskan tanggung jawab yang bersangkutan selama memangku jabatan.
Namun, baik dalam UU No. 32/2004 ataupun PP No. 6/2005 tersebut tidak cukup jelas menjelaskan siapa yang berhak memutuskan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah dengan alasan permintaan sendiri. Apakah ke Mendagri sebagai pihak yang membuat surat pengesahan pengangkatan kepala daerah/wakil kepala daerah? Ataukah langsung ke Presiden sebagaimana pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah karena alasan melanggar sumpah jabatan dan tidak melaksanakan kewajiban? dan bagaimana peran Gubernur pada kasus ini? Mari kita tunggu bagaimana DPRD dan para pakar pemerintahan menafsirkan regulasi ini.
Jika mencermati mekanisme di atas, Saya menafsirkan bahwa selayaknya dilakukan dua kali Rapat Paripurna. Rapat Paripurna pertama untuk memutuskan apakah permintaan pengunduran diri Diky diterima atau tidak oleh DPRD. Sementara itu, Rapat Paripurna kedua untuk meminta pertanggungjawaban Diky selama 2,5 tahun memangku jabatan Wakil Bupati.
Saya berharap, Diky Candra memanfaatkan Rapat Paripurna kedua (pertanggungjawaban) untuk mengungkapkan sejelas-jelasnya alasan pengunduran dirinya termasuk upaya dan kesulitan yang dihadapi beliau selama ini. Dugaan saya, Diky memang sengaja memilih untuk memanfaatkan momentum tersebut. Itulah mengapa apabila kita simak apa yang Diky katakan di media massa sejauh ini tidak begitu mendetil.
Oleh karena itu, sudah selayaknya rakyat Garut mendesak DPRD agar segera menyelenggarakan Rapat Paripurna pertanggungjawaban Diky Candra, bukan hanya Rapat Paripurna untuk mengambil keputusan disetujui atau tidak pengunduran diri Diky. Sudah selayaknya pula rakyat Garut mendesak Diky Candra agar mau dengan jujur mengungkap alasan-alasannya dalam Rapat Paripurna tersebut dan menjelaskannya lebih lanjut kepada rakyat Garut. Momen ini tentunya sangat ditunggu oleh rakyat Garut untuk menghilangkan sahwa sangka dan rumor yang saat ini sudah terlanjut berkembang di masyarakat.
Sejauh pengamatan saya, saat ini memang tengah berkembang pro-kontra dan polemik di masyarakat Garut. Kondisi ini terjadi diawali ketika beberapa waktu lalu terjadi beberapa aksi massa dari sekelompok masyarakat yang menuntut Aceng-Diky mengundurkan diri dari jabatannya. Pada perkembangannya, masyarakat kemudian terpolarisasi dan terkelompokkan antara yang mendukung agar Aceng-Diky mundur dan ada pula yang mendukung agar keduanya tetap bertahan. Tampaknya, saat ini masing-masing kelompok sedang merapatkan barisan dan berkonsolidasi. Namun demikian, tidak sedikit masyarakat yang cuek atas dinamika ini.
Saya mengkhawatirkan bahwa peristiwa mundurnya Diky Chandra ini semakin memperkuat polarisasi masyarakat seperti yang diuraikan di atas. Konsolidasi massa untuk saling memperkuat dukungan dari masing-masing kubu bukan tidak mungkin mengarah menjadi pertikaian fisik, seperti yang terjadi pada aksi massa di bulan Ramadhan lalu. Jika ini terjadi, tentunya masyarakatlah yang kembali menjadi korban. Khususnya masyarakat awam yang diorganisir oleh elite untuk mengamankan kepentingannya dengan diiming-imingi loyalitas semu dan sejumlah uang tanpa mereka tahu apa persoalan yang sedang terjadi sebenarnya.
Apapun keputusan yang diambil oleh DPRD dalam Rapat Paripurna serta apapun yang akan diungkapkan Diky Candra dalam momen tersebut, saya hanya ingin mengajak masyarakat Garut untuk menyikapinya dengan lebih bijak. Masyarakat pun dapat berfikir dengan jernih mencari penyebab dan penyelesaian masalah sebenarnya.
Yang jelas, peristiwa ini menjadi THR tersendiri dari Diky Candra yang diberikan kepada rakyat Garut di awal bulan Syawal. Banyak hikmah dan pembelajaran yang bisa diraih. Saya berharap, mudah-mudahan pasca peristiwa ini terjadi banyak perbaikan dalam tata pemerintahan di Kabupaten Garut.
[1] Berdomisili di Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H