5 Juni 2020 bisa jadi merupakan Hari Lingkungan Hidup Sedunia tersukses yang pernah terjadi di Indonesia, dimana secara kasat mata dapat terlihat dengan cerah dan birunya langit di Jakarta. Namun sedihnya, hal ini terjadi karena Indonesia khususnya wilayah Jabodetabek sedang berjuang menghadapi pandemi Covid-19 dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), bukan karena kebijakan dan action dari Pemerintah untuk menurunkan emisi. Blessing in disguise? Ya.. bisa dikatakan demikian.
Dalam Conference of Parties(COP) 21 di Paris, 30 November 2015, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Indonesia berkomitmen dan sanggup menurunkan emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030. Bahkan, sampai 41 persen jika mendapatkan bantuan internasional. Menurut Presiden, penurunan emisi dilakukan dengan mengambil beberapa langkah di berbagai bidang. Di bidang energi pengalihan subsidi bahan bakar minyak ke sektor produktif. Juga, peningkatan penggunaan sumber energi terbarukan hingga 23 persen dari konsumsi energi nasional pada tahun 2025.
Sekembalinya ke Indonesia, pada 8 Desember 2015, Presiden meresmikan kapal listrik Marine Vessel Power Plant (MVPP) guna mencukupi kebutuhan listrik di sejumlah daerah.  MVPP ini bisa menggunakan ragam pilihan bahan bakar, seperti Heavy Fuel Oil (HFO), High Speed Diesel (HSD) maupun gas. Artinya MVPP inipun masih tidak ramah emisi. Ironis mengingat  1 minggu sebelumnya Presiden berbicara di event internasional komitmen untuk mengurangi emisi.
Sebenarnya, bagaimanakah kebijakan nasional Indonesia khususnya dalam penyediaan energi listrik? Sejak periode pertama pemerintahannya, Presiden Joko Widodo sudah mencanangkan program  35 ribu Megawatt (MW) pembangkit listrik baru. Pemerintah bersama PLN dan swasta akan membangun 109 pembangkit; masing-masing terdiri 35 proyek oleh PLN dengan total kapasitas 10.681 MW dan 74 proyek oleh swasta/Independent Power Producer (IPP) dengan total kapasitas 25.904 MW.
Untuk mempermudah pihak swasta dan memperkuat peran PLN, dukungan pemerintah pun telah ditetapkan melalui Perpres No. 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan dan perubahannya melalui Perpres No. 14 Tahun 2017.
Meskipun Perpres tersebut sudah menjelaskan bahwa sumber energi primer adalah berasal dari energi fosil dan energi baru dan terbarukan (EBT), namun dalam pelaksanaannya hampir semua pembangkit baru yang dibangun adalah menggunakan sumber energi fosil. Program ambisius 35.000 MW ini sendiri cenderung berjalan sangat lambat, dimana per akhir 2019 baru mencapai 11% yang sudah terealisasi. Dan pada Maret 2020, Menteri ESDM Arifin Tasrif memastikan bahwa pembangunan pembangkit listrik akan menggunakan EBT Â setelah program pembangkit proyek 35.000 MW rampung. Artinya dalam waktu dekat jangan berharap akan ada pengurangan emisi sesuai komitmen internasional Indonesia terhadap Paris Agreement.
Indonesia sendiri sudah melakukan ratifikasi terhadap Paris Agreement melalui UU No. 16 Tahun 2016. Hal ini berarti komitmen Indonesia terhadap penurunan emisi sudah menjadi ketentuan hukum nasional. Politik hukum yang mendasari kebijakan-kebijakan energi Presiden Joko Widodo, idealnya haruslah sejalan dengan komitmen yang tertuang di Paris Agreement tersebut. Jangan sampai Presiden terjebak melakukan "basa-basi" internasional, demi alasan kepentingan nasional.
FYI, hari ini 17 Juni 2020 langit Jakarta kembali berselimut polusi dimasa PSBB transisi ini. Haruskah kita mengucapkan "Selamat datang New Normal, bye bye Paris Agreement"?
* Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan bukan sikap instansi tempat penulis bekerja. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H