“ dukkha “
Life is suffering – Demikianlah kata yang berasal dari karsa sansekerta diterjemahkan dalam bahasa yang dianggap lebih mendunia.
Kata “ Âdukkha “ yang dikutip dari Buddha sering diartikan sempit oleh sebagian besar orang. Terutama dalam bahasa Indonesia, Duka yang besar kemungkinan merupakan kata serapan dari dukkha lebih berkonotasi negatif bagi orang awam. Kalimat “ Hidup adalah penderitaan “ bahkan terdengar sangat menakutkan. Benarkah hidup adalah penderitaan?
Orang yang sepanjang riwayatnya dihujani keberuntungan mungkin sulit memaknai kutipan dari Buddha tersebut. Barangkali orang-orang seperti itu tidak dianugrahi pengalaman untuk menderita, atau mungkin mereka tidak menyadari bahwa sesungguhnya mereka menderita. Lebih ironis lagi mereka yang senantiasa akrab dengan penderitaan memaknai derita/duka seperti sebentang jalan buntu dan berbatu. Mereka terperangkap dalam alur berpikir yang perlahan menggugurkan harapan. Dua paham yang berbeda. Namun taukah anda, kita berada diantara mereka.
Jika hidup adalah penderitaan, lantas bagaimana kita menjalaninya?
Kenyataannya tak satupun diantara kita yang ingin hidup menderita. Semua usaha terbaik kita kerahkan untuk menghindari derita. Bahkan diantara kita ada yang mampu membeli kebahagiaan. Mungkin dengan uang, atau mungkin dengan angan-angan. Disadari atau tidak, Manusia lebih terbiasa mengukur penderitaan orang lain dibanding mengukur penderitaannya sendiri. Kita lebih nyaman menertawakan orang lain dibanding menertawakan diri sendiri. Aneh rasanya melihat seseorang menertawakan dirinya sendiri.
Air mata adalah perlambang yang dianggap paling wajar untuk memahkotai derita. Kekalahan, kehilangan, kekecewaan, hilang asa, dan pengkhianatan, adalah sebagian kata yang dikategorikan dalam penderitaan. Air mata tak pernah salah. Menangis adalah respon mental yang sangat wajar.
“But there was no need to be ashamed of tears, for tears bore witness that a man had the greatest of courage, the courage to suffer “ – Victor E. Frankl (Psychiatrist)
Pernyataan Neurolog sekaligus Psikiater asal Austria sebelumnya cukup menyentil cara berpikir sebagian orang yang merenungkannya. Air mata tak sekedar lambang penderitaan. Lebih dari itu, air mata bahkan menjadi saksi dari sebuah keberanian yang luar biasa. Keberanian untuk menderita. Sayangnya tak semua orang mampu menerima dan memaknai dengan utuh apa yang dinyatakan sang Psikiater diakhir kalimatnya.
Benarkah air mata adalah puncak dari penderitaan? Mungkin benar, namun penderitaan tidak pernah berakhir hanya dengan menangis. Badai tidak berlalu hanya karna hujan yang sebentar. Kita lelah mencari ribuan jalan menghindari derita. Tak kalah lelahnya kita pun mencari selaksa cara untuk lepas dari penderitaan. Namun ada kalanya penderitaan harus dinikmati. Merelakan waktu yang mengilhami. Menangis bukan satu-satunya cara menikmati derita. Setujukah anda?
Menertawakan diri..
Kedengarannya memang aneh. Bagaimana mungkin menganggap penderitaan sebagai sebuah lelucon? Dimana letak humornya? Kita bisa dianggap gila bila menertawakan penderitaan sendiri. Sementara kita diam-diam membudayakan kebiasaan menertawakan penderitaan orang lain. Kegilaan ini sesungguhnya tak lagi asing. Karena sebagian diantara kita telah melakukannya namun tidak disadari, mungkin pada saat itu yang dominan untuk disadari adalah penderitaannya.
Tertawa adalah salah satu bentuk pelepasan. Hampir serupa dengan dinamika menangis. Namun dalam menertawakan hidup, seseorang harus dapat mengubah sesaat pandangannya terhadap sebuah masalah menjadi sebuah lelucon yang pantas ditertawakan. Misalnya, menertawakan keputusan-keputusan penting dimasa lampau sebagai sebuah kekonyolan meski dampaknya menyengat hingga saat ini. Lebih kongkritnya ; Saat anda menyadari bahwa pasangan anda justru menjadi beban seibarat bumi yang diumpuk dipundak anda, maka tertawakanlah apa yang menjadi alasan anda memilihnya sebagai pasangan hidup. Contoh lain ; Kita asik mengetik tugas dari pekerjaan kita sampai-sampai lupa untuk di-save, lantas tiba-tiba mati lampu dan tugas kita raib begitu saja. Sepakat-lah kita bahwa, marah, kesal, kecewa membawa sebagian orang meneteskan air mata jika ia berani untuk menangis. Namun, sebagian lainnya diantara kita tak mampu menerima kenyataan seperti demikian. Akal sehat kita belum siap untuk kenyataan itu. Maka dalam tahap mental seperti ini, orang yang berani menertawakan dirinya adalah orang yang paling memahami letak sumber masalah yang dianggapnya itu konyol.
Kelihatannya-pun memang gila. Tapi menertawakan hidup adalah reaksi alami terhadap sesuatu yang benar-benar sulit dipahami. Tidak ada salahnya untuk ditertawakan dan diceritakan pada orang lain bila anda berkenan.
Pada beberapa sesi konseling hal ini kerap terjadi. Seseorang yang berpanjang-lebar menceritakan riwayat masalah yang dialaminya, tertawa terbahak-bahak ketika menyadari letak permasalahan yang sebenarnya dekat untuk dijangkau dan penyelesaian masalahnya sangat sederhana. Hidup yang terlalu serius ternyata perlahan membangun tembok bagi seseorang untuk melihat alternatif lain dalam memecahkan ataupun meredahkan masalah. Pernahkah anda sibuk mencari bolpion yang ternyata sudah digenggaman anda? Atau Kecairan kacamata yang ternyata bertengger sejak tadi diatas kepala anda? Lalu akhirnya anda menemukannya sendiri dan menertawakannya. Itu adalah contoh sederhana.
Menertawakan penderitaan diri bukan berarti kita menutupi betapa sukarnya kita menjalani kenyataan yang ada saat itu. Tertawa adalah sebuah kesadaran bahwa sesungguhnya penderitaan yang lebih dari itu pernah kita lalui sebelumnya. Amatilah sekitar anda dan temukanlah mereka yang tersenyum menahan tawa. Mungkin diantaranya sedang jatuh cinta, dan dengan kemungkinan yang sama mereka sedang mencoba mengapresiasi penderitaannya dengan tawa .
Jika hidup adalah penderitaan, maka tertawakanlah hidupmu! Karena anda beruntung untuk menderita. Tapi tertawa saja tidak cukup kalau anda tak berbanah hidup dan mengadaptasi situasi. Bersyukurlah karena anda menderita, itu artinya anda masih hidup. Jika hidupmu hanya sebatas bahagia, maka betapa singkatnya hidupmu? Penderitaan justru membuat hidup terasa sangat panjang. Banyak orang yang berani mati seperti pahlawan bagi orang lain. Tapi tidak banyak orang yang berani hidup menjadi pahlawan untuk dirinya sendiri.
Penderitaan adalah anugrah yang diselipkan ditengah bentang hidup dalam rupa yang berbeda. Selanjutnya bagaimana kita menyikapinya? Anda berhak menangis.. Andapun berhak tertawa..
“ Kita tidak bisa memaksakan penderitaan kita pada orang lain, Kita-pun tidak bisa memaksakan kebahagiaan kita pada orang lain “
SALAM TAWA..
SALAM DERITA…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H