Satu ketika dalam imajinasiku..
Kubayangkan janin-janin yang belum terlahirkan boleh meminta, jadi apa mereka setelah dilahirkan. Janin-janin yang polos itu riuh dalam gemuruh. Ada yang meminta menjadi presiden, ilmuwan, pilot, dokter, polisi, tentara. Ada pula yang minta menjadi pendeta, ustad, biksu, biarawati. Setiap janin akan dikabulkan permintaannya.
Setelah mereka terlahirkan.. Betapa kenyataan tak sebersahaja ketuban dan ari-ari yang tak pamrih. Janin-janin itu tidak bisa hidup dengan berdiri diatas keyakinannya sendiri. Uang dan kekuasaan sepertinya membuat mereka menjadi lebih hidup. Janin-janin itu terkejud dengan apa yang dilihatnya didunia. Mereka tak sadar, mereka lahir berbalutkan nafsu.
Sang janin presiden mengangkang diatas kekuasaan. Janin ilmuwan mulai sombong dengan setiap penemuan, pilot selingkuh dengan perempuan kokpit, janin dokter menggugurkan janin lainnya sebagai mata pencaharian, polisi berwenang untuk sewenang-wenang, tentara berperang memerangi kaumnya sendiri.
Satu ketika dalam imajinasiku..
Ketika para janin pendeta sibuk dengan kotbah yang tidak plural. Ustad fasih berbahasa Qur’an namun tak mampu menerjemahkannya dalam kasih. Biksu-biksu dan para biarawati mulai lelah untuk mengabdi. Ketika itu pula mereka menyesal untuk pernah dilahirkan dimuka bumi ini..
Seperti pada satu ketika dalam imajinasiku ini..
Aku tak pernah memilih untuk lahir dan menulis puisi..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H