Mohon tunggu...
Michael Tan
Michael Tan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Manusia yang hidup dari Kata dan Nada

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

17.25 (The Untold Story)

17 Februari 2014   20:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:44 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

17.25

Rikuh, namun janji terlanjur membawa kita berpulang pada ingatan senjakala. Segalanya telah berubah kecuali kita, yang masih saja berhemat kata. Entah sudah berapa lama. Kau masih saja pandai menyembunyikan perasaanmu. Ada kebahagian kecil terurai digaris wajahmu. Untuk kedatanganku yang sebentar ini.

Sesekali terbaca olehku sorot matamu yang sendu. Seperti rembulan yang telah ranum oleh rindu yang laten, teruntai rasa yang tersisa, terkikis waktu.

Segala pertahananku runtuh. Ketika kau rebahkan segala kerinduan tepat dipundakku. Dan seketika itu pula kita melayang pada apa yang kita sebut kenangan. Aku terhening, mungkin begitu pula denganmu. Saat ini aku tak lagi pandai memilih kata kias kehadiranmu. Aku bukan lagi aku yang lihai merayumu. Kerinduanku tertahan tepat diujung lidahku.

Kita masih saja melayang pada apa yang kita sebut kenangan.

Stasiun Tugu Jogja adalah saksi yang setia. Sementara waktu terpacu lebih laju dari kereta yang hanya numpang lewat saja. Kita berdua tau, bahkan keajaibanpun tak mampu memutar waktu. Saat itu aku memilih pergi. Melepaskan janji-janji yang melukai perasaanmu yang memilih tetap disini. Seandainya kau tau waktu itu, sepanjang perjalanan aku tak henti menghakimi diriku sendiri.

Jakarta telah menyulapku menjadi seperti ini. Lihatlah, kesederhanaanmu membuatku tak pantas bersanding disisimu. Dulu kau selalu menegur angan-anganku, yang terlalu angkuh menantang masa depan dengan lantang. Aku memamg menang tentang itu, menang sebagai seorang pecundang. Perlahan kau merangkul tanganku, seolah kau tak mempersoalkan kekalahanku terhadap janji-janji yang sudah melukai perasaanmu.

Aku senang melihat simpul senyummu. Saat kau dapati aku mengenakan jam tangan pemberianmu, yang kau beli dari tabunganmu. Dulu kau selalu mengingatkanku soal waktu, karena kata terlambat sempat menjadi nama tengahku. Namun apa yang terjadi mungkin sudah menjadi firasat yang mengintaimu disiang dan malam yang tersisa. Kau memang paling ahli menyembunyikan perasaanmu. Ketenanganmu tak goyah sampai diujung waktu kau melepaskanku yang gusar bersama impian-impian liarku.

Seperti dugaanmu, Aku telah menjadi keinginanku. Terkadang aku menyalahkanmu yang merelakanku untuk menghidupi pilihanku.Kau pernah dengan penuh kesantunan memberiku kesempatan untuk memilih pergi. Kini, dengan kesantunan itu pula kau menerimaku disini dengan apa adanya aku.

Seperti dugaanmu pula, aku telah mendua hati. Menjalani sisa hidup dengan orang yang coba aku cintai. Seseorang yang telah menungguku di altar suci. Sepatah kata terucap dari bibirmu yang lugu; Tak ada yang perlu disesali. Andai saja kau tau, penyesalan adalah sarapan pagiku. Dari bibirmu yang lugu itu pula kau meminta; Syukuri atas apa yang pernah kita lalui. Aku terpaku pada langit Jogja yang merekah jingga, entah Tuhan mana yang sudi menerima ucapan syukur manusia seperti ini.

Kau pernah menjadi pelecut semangatku disetiap pagi. Membangunkanku dari mimpi-mimpi yang nyaris tidak mungkin terjadi. Menjadi pelipur dan tawa ketika hariku terlampau kaku. Menjadi mata ketika aku tak mampu melihat tujuan hidupku. Sementara kini aku menjelma manusia digital yang nyaris tak kau kenali lagi.

Aku tak mampu merangkum perasaanku sekarang. Ketika semakin genap makna pelukanmu sebelum aku pergi saat itu. Mungkin saat itu aku terbuai dengan segala cerita tentang Jakarta, serta impian yang ditawarkannya. Mungkin kau tak mengharapkan aku untuk kembali, sekalipun untuk menggenapi satu dari ribuan janji.

“ Kelak, apapun yang terjadi; Ditempat ini, kita akan merasa utuh kembali. Untuk merekat segala kemungkinan dengan kerelaan hati “kalimat yang terselip dalam pelukanmu saat itu.

Kepergianku ternyata tidak mengurangi kepekaanmu. Sering kali kau menelefon dan kubiarkan ponselku berdering seolah takbertuan. Sesekali kau menyapaku lewat media sosial yang enggan kau kuasai. Mimpi ku mungkin terlalu tinggi, sehingga menjadikanku pribadi yang semakin dingin terhadapmu. Hingga akhirnya kau memilih untuk tidakmengusikku lagi.

Segala keluh dan kesahku kini tak lagi kuceritakan padamu. Jakarta dimalam hari telah mencuri setiap janji. Kini aku hidup diantara segala yang tak abadi. Menikmatinya inci demi inci. Aku bahkan tak hanya kehilanganmu, aku kehilangan diriku sendiri. Sampai pada satu titik aku menemukan seseorang untuk kusandingkan bebanku yang semu. Seseorang yang membuatku merasa pantas dengan apa adanya aku saat ini. Karena aku sadar betul, terlalu perih untukmu menerima siapa aku saat ini.

Bahasa tubuhmu tak sedikitpun menunjukkan penolakan. Kini asumsiku senasib dengan angan dan mimpiku yang terpatahkan. Kau cukupkan segala kerinduanmu dari pundakku. Tatapanmu tidak pernah berubah. Tapi kali ini waktu telah mengajarkanku untuk membaca dengan jelas, kerelaan atas segala kemungkinan itu.

Kita tak mampu mengelabui jarak dan waktu yang antagonis. Bedanya, kau telah menyadari itu sejak awal, sementara aku tetap angkuh dengan keberadaanku.

Aku masih ingin bercerita dan mendengarkan ceritamu. Mesikipun kau bersikukuh tak ingin menceritakannya. Kau bilang kau akan baik baik saja, ketika aku meminta maaf atas pilihan-pilihanku yang serba egois. Yaa, aku akan belajar meyakininya. Dan belajar memiliki keyakinan sepertimu.

Keretaku sudah bersandar dijalur utara Stasiun Tugu Jogjakarta. Namun rasanya aku masih ingin meluangkan sisa sisa waktu ini bersamamu. Menyisiri malioboro dengan segala lagu tentangnya. Jogjakarta dengan segala kesederhanaannya. Seperti yang selalu aku temukan didalammu. Kau akan selalu istimewa dimataku. Sepenggal cerita yang pernah kita tulis bersama adalah pengantar bagi cerita kita selanjutnya; karena waktu tidak berjalan mundur. Kita akan mengukir cerita masing-masing, menitipkannya didalam doa. Berharap para malaikat menyimpannya dalam kotak ajaib, agar kelak kita dapat membuka dan saling bercerita.

17.25 Waktu Jogjakarta. Kereta Senjaku segera membawaku kembali ke Jakarta. Kembali pada kenyataan. Kau melepasku dengan pelukan yang sama seperti pelukan pada kepergianku terdahulu.

“ Jika hidup adalah pilihan dan kau telah memilih, maka jadilah hidup untuk pilihanmu “ kalimat yang kau selipkan dalam hangat pelukmu.

Sampai jumpa kekasih.. Sampai bertemu pada segala kemungkinan yang ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun