Oleh : Doni Umardani
Picture take from www.kenstyle.co.jp
Masyarakat Indonesia sekarang telah menjadi masyarakat yang konsumtif. itu dapat dilihat dari fakta sehari-hari. Rupiah melemah, dollar mencapai Rp. 11.500 namun tidak begitu mempengaruhi daya beli masyarakat kita, Termasuk membeli barang- barang mewah sekalipun. Bisa di lihat, di pusat-pusat perbelanjaan baik di ibu kota maupun di daerah penuh jejal dengan orang-orang yang sedang berbelanja apalagi di akhir dan awal bulan, entah itu mereka berbelanja kebutuhan pokok atau pun hanya sekedar makan siang, malam, hangout, sudah menjadi suatu trend atau kebiasaan masyarakat kita sekarang. Sepertinya seminggu tidak ke pusat perbelanjaan seperti ada yang kurang.
Barang mewah mulai dari smart phone, jam tangan, mobil, motor selalu laris manis di pasaran. Ada apa dengan masyarakat kita? Bukan kah kita sekarang ini sedang mengalami krisis?yang saya amati krisis ini bukanya tidak berdampak pada masyarakat kita. tetapi masyarakat kitalah yang tidak ingin merasakan dampak dari krisis. Dan masyarakat kita banyak yang "tidak ingin tahu" yang mana kebutuhan premier dan yang mana kebutuhan sekunder. semuanya mereka anggap penting karena trend dan gengsi. Jadi smartphone, motor, mobil mereka anggap kebutuhan yang wajib dan mendesak. Padahal sedikit dari masyarakat kita yang benar-benar mengoptimalkan smartphone nya sebagai hand phone yang benar-benar canggih. kebanyakan yang penting memiliki apa yang sedang trend. Perhatikan menjelang lebaran, penjualan kendaraan bermotor naik drastis baik roda dua maupun roda empat. Masyarakat kita menggap penting mempunyai kendaraanm baru, baju baru, semua serba baru di hari raya. padahal mobil yang sebelumnya mereka miliki tak bermasalah, masih sangat layak di pakai.
Memang sih hak seseorang untuk membelanjakan uangnya untuk apa saja. Tapi sebaiknya perlu di ingat belanjalah dengan bijak. lihat pengeluaran dan pemasukan. bukan karena merasa mudah memiliki segala sesuatu dengan kredit, mudah untuk memutuskan mengambil barang-barang yang sebenarnya tidak begitu perlu. Pada akhirnya cicilan sulit di bayar dan barulah merasa sedang krisis. Padahal tanpa ada krisis pun gaya hidup seperti itu membahayakan anggaran keuangan pribadi.
Mungkin itu pulalah yang membedakan krisis sekarang dengan krisis di tahun 1998, walau krisis tidak begitu terasa oleh masyarakat kita, karena masyarakat kita masih dengan mudah mendapatkan pinjaman-pinjaman dari penyedia jasa pinjaman baik yang resmi maupun ilegal.
Hindarilah berboros-boros, perbanyaklah menabung, karena kita tidak tahu kebutuhan kita kedepan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H