Sewaktu kecil aku adalah sosok anak yang pemalu sekaligus polos. Bisa dibilang pada zaman itu, aku termasuk orang ketinggalan zaman. Kalau bahasa beken orang sekarang, gak gaul gitu lah. Pernah masa SD dulu, aku sampai takut keluar rumah. Perasaan fobia ini pun berlangsung hingga jelang kelulusan SMA. Apakah ada kaitannya dengan sikap hormat atau lebih tepat dibilang bahwa aku sangat cengeng saat ayah aku sudah mendelik (karena murka) atau tak jarang membentak jika aku dipandang keliru oleh ayahku. Jiwa yang sangat ekstrem takut itu menjelma menjadi ketakutan yang akut lalu bersarang dan bermetamorfosis menjadi kebusukan yang bernama sikap sentimen.
Sampai pada MOS kuliah, kengerian jiwa ini masih tertancap walau intensitasnya cukup berkurang. Waktu-waktu ini, tak banyak teman yang kukenal. Hanya satu-dua yang dapat kuketahui namanya. Namun itu menjadi wujud nikmat yang patut disyukuri. Ya disyukuri saja, itu lebih dari cukup bagiku. Tapi di lain waktu, trauma itu kembali mencekam perasaan tatkala penyebabnya datang dan tak jarang memicu stres parsial, yang anehnya lagi, setelah tidur, badan serta pikiran kembali fresh. Gerrrrr!
Dijuteki atau direspons negatif oleh orang lain, seperti ketika aku bertanya malah dijawab dengusan. Misalnya "Gimana kabarmu kawan?", dibalas "Baik!!!" tak ada basa-basi namun cenderung tak positif. Atau seperti "Entuk njilih motormu seduluk?" dijawab "Yo!!!" dengan nada keras. Contoh lain,"Apa ada yang salah?", dijawab "Nggak!!!" masih berima ketus. Tidak cuma lisan tapi gerak tubuh pun aku bisa trauma. Pandangan negatif, sikap tubuh yang arogan dan gaya bicara yang angkuh bisa jadi sebab aku terserang fobia lagi.
Akibat trauma itu akan berdampak bagi siapa pun. Ya bagi orang macam apa pun, entah itu teman, saudara, bapak-ibu, tua-muda bakal ada perlakuan 'istimewa' dariku. Sebagaimana orang itu baik, pasti baiklah sambutanku. Begitu pula jika ia tak baik, maka aku pun jauh dari senyum manis menyambutnya. Bahkan kepada mereka yang bertipe kedua, aku bisa kecewa, marah, benci hingga menjurus ke antipati. Orang tersebut aku anggap patung/mayat hidup, pokoknya kuanggap orang itu tidak adalah jasadnya. Sadis amat ya! Tapi tentu ini analogi yang salah, dan anehnya lagi aku pun mengakui bahwa ini adalah kesalahan.
Seperti halnya dosa, suatu kesalahan harus segera dibersihkan. Tapi entah kenapa pula, aku seperti jatuh ke lubang yang sama. Padahal sabda Nabi melarang bagi manusia beriman untuk jatuh pada kesalahan yang sama.Berkali-kali, aku sekuat pikiran dan tenaga untuk memperbaiki kondisiku ini tapi sering kali kalah oleh emosi. Dan terjatuh lagi. Menyesal iya tapi sekuat hati menyesal kubenamkan dalam egoku.
Trauma ini bakal jadi bom waktu bagiku. Setali tiga uang, trauma, dosa, dan tobat berjejer sekaligus berguguran dalam kamus kehidupan ini. Aku seharusnya mencari obat untuk menyembuhkan 'penyakit' ini dengan cara apa pun. Sampai kurus kering pun aku jalani jika memang kutemukan obat yang manjur untuk keluhanku ini. Aku kudu temukan penyembuh itu! Aku pun tak jarang menangis sebab trauma ini. Lebih-lebih orang yang kusayangi, menjadi 'penyebab' traumaku. Dan memang, Rabb-ku mengujiku lewat trauma ini. Semoga aku diberi taufik dan pengampunan-Nya. Aamiin.
Solo, 24 Juni 00:53
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H