Mohon tunggu...
Irfan Maulana
Irfan Maulana Mohon Tunggu... profesional -

Ketua Harian DPP Gerakan Pemuda Anti Korupsi (DPP GEPAK)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pak Polisi, Selamat Berulang Tahun

1 Juli 2013   15:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:10 1144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila melintasi jalanan ibukota pada awal bulan Juli, satu hal yang menarik perhatian kita adalah betapa cukup banyak spanduk ataupun baliho yang berisikan ucapan selamat ulang tahun kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terpampang dimana mana. Setiap tanggal 1 Juli memang selalu diperingati sebagai hari lahir Korps Bhayangkara.

Isi dari spanduk pun hampir seragam, intinya banyak pihak yang mengingikan kepolisian menjadi lembaga yang bersih, tangguh dan professional. Tentu harapan itu adalah harapan masyarakat seluruhnya, tidak terkecuali kepolisian itu sendiri. Lalu, bagaimana wajah Polri yang kini sudai mencapai usia 67 tahun? apakah ekspektasi masyarakat yang besar selama ini seirama dengan kinerjanya ?

Dalam beberapa tahun belakangan ini, Polri memang sering menjadi objek perhatian masyarakat. Tindak tanduknya tak jarang menghiasi sejumlah pemberitaan. Itu karena kinerjanya dinilai belum memuaskan, bahkan bisa dikatakan buruk. Pemisahan tubuh Polri dari TNI, pada awalnya diharapkan akan membuat Polri dapat berkerja dengan lebih baik dan professional. Setidaknya, itulah yang termaktub dalam UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Namun, pada kenyataannya Polri belum mampu mengemban amanah yang luar biasa berat tersebut. Polri masih berjalan terseok-seok, kepercayaan publik pun kian hari semakin menipis. Banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan, banyak lubang yang harus ditutup serta tak sedikit kerikil yang harus disingkirkan.

Problem utama yang harus segera diselesaikan tentu saja adalah masalah korupsi. Tanpa bermaksud mengabaikan beragam problem yang lain, saya berpendapat bahwa masalah korupsi yang membaluri tubuh Polri harus segera mendapatkan perhatian khusus. Korupsi yang dilakukan oleh oknum Polri berserak dimana-mana, dari pengurusan SIM hingga jual beli jabatan. Kanker korupsi yang menggerogoti tubuh Polri sudah sedemikian ganas, akibatnya upaya penegakan hukum yang menjadi salah satu tugas Polri menjadi terhambat bahkan berjalan ditempat.

Pendapat diatas tentunya didasari oleh fakta-fakta yang akurat. Bila kita melihat pada hasil survey Global Corruption Barometer (GCB) di Indonesia yang secara rutin diluncurkan oleh Transparency International (TI) sepanjang tahun 2003-2010, maka Polri terlihat menempati posisi 5 besar—bahkan yang pertama tahun 2007—instansi terkorup bersama parlemen, partai politik, pengadilan dan bea cukai.

Pada realitanya korupsi di tubuh Polri bukanlah sesuatu yang sulit untuk dibuktikan. Beragam pemberitaan di media massa menyorot dengan gamblang bahwa korupsi seakan sudah terinternalisasi dengan baik di tubuh Polri. Publik tentu belum lupa denganisu rekening gendut perwira Polri, kasus korupsi simulator SIM, harta tak wajar Aiptu Labora hingga kasus jual beli jabatan di tubuh Polri. Sederet panjang borok yang menganga harus segera disembuhkan. Pasalnya, bersih atau tidaknya Polri dari korupsi akan sangat menentukan wajah penegakan hukum di Indonesia, sebab Polri merupakan ujung tombak penegakan hukum. Bila ujungnya tumpul, maka jangan berharap penegakan hukum berjalan dengan baik. Sesederhana itu.

Sesungguhnya ada banyak peristiwa dan kasus yang mirip untuk bisa menggambarkan kondisi penegakan hukum di Indonesia. Banyak yang bisa kita petik pelajaran dari bagaimana banyak negara membenahi kondisi dalam negerinya dengan membenahi lembaga kepolisiannya. Kita bisa memotret apa yang terjadi di Amerika Serikat (AS) pada era gangster mafia (1930 – 1980). Korupsi yang terjadi di tubuh kepolisian AS membuat praktik perjudian, protitusi, pembunuhan, perdagangan obat bius yang dijalankan mafia tumbuh secara subur. Baru pada awal tahun 1990 an, Polisi Federal AS secara serius memburu para mafia dengan terlebih dahulu membentengi tubuhnya dari virus korupsi. Pesan yang bisa dipetik adalah, kekacauan sosial akan selalu tumbuh subur apabila kepolisian berkinerja buruk dan korup.

Begitu pula yang terjadi di Hongkong. Pada sekitar tahun 1960-an dan awal 1970-an, angkatan kepolisian Hongkong dikenal luas sebagai lembaga terkorup dan berakibat pada tumbuh suburnya praktik perdagangan obat, perjudian, pelacuran, perang antar geng di negara tersebut. Hingga lahirlah sebuah lembaga antikorupsi bernama Independent Commission Againts Corruption (ICAC) di tahun 1973 yang memiliki fokus memberantas korupsi dengan prioritas membersihkan kepolisian Hongkong dari Korupsi. Seluruh anggota polisi dipecat dan direkrut ulang. Hongkong bahkan terpaksa mengimpor penegak hukum dari India, Australia dan Inggris. Namun, pemberantasan korupsi di Hongkong membuahkan hasil, dimana salah satu faktornya karena keberhasilan ICAC membersihkan korupsi di tubuh Kepolisian Hongkong.

Peluang untuk terciptanya Polri yang bersih, professional dan tangguh tentu bukan sebuah utopi. Bila mau jujur, sesungguhnya sudah banyak masukan dari pada ahli serta masyarakat yang dapat menjadi rujukan Polri untuk mengubah diri. Sebagai lembaga public, Polri harus terbuka dan bersungguh-sungguh membenahi diri. Tentu kita tak mau mendengar lagi, peristiwa penyerbuan kantor-kantor polisi oleh masyarakat, akibat tumpulnya pedang hukum.

Kini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga fokus untuk mengawasi proses penerimaan anggota baru Polri. Sebab hulu korupsi di Polri terletak pada rekruitmen yang marak praktik suap. Selain itu, mungkin ada baiknya untuk dipertimbangkan memangkas sebagian wewenang Polri yang teramat besar, misalkan menyerahkan proses pemberantasan korupsi pada KPK, urusan narkoba pada BNN, sehingga Polri bisa fakus pada kerja penegakan hukum yang lain. Apalagi Polri juga kekurangan personil saat ini. Diskresi yang sangat besar yang dimiliki Polri saat itu tanpa didukung akuntabilitas yang baik, merupakan salah satu faktor penyebab maraknya korupsi di tubuh Polri.

Sebentar lagi, pucuk pimpinan Polri akan berganti. Momentum ini seharusnya bisa dijadikan ajang bagi Polri untuk berbenah. Sungguh naïf bila kita mengatakan bahwa “all cops are bastards” seperti sebuah judul film Italia. Tentu ditengah oknum-oknum polisi korup masih ada polisi yang memiliki nurani layaknya pak Hoegeng. Di akhir masa jabatannya, Presiden SBY harus memberikan kado terbaik untuk Polri dengan memilih figur Kapolri yang kapabel, bersih dan berintegritas tinggi.

Dengan bersihnya Polri dari korupsi, pemberantasan korupsi di Indonesia akan menjadi lebih mudah. HUT Polri ke-67 seharusnya bukan hanya menjadi ajang pamer atraksi bela diri atau terjun payung semata. Namun lebih dari itu, inilah momentum ber”muhasabah” dan menjadi Polri baru yang dicintai masyarakat, Kami tetap menunggu Polisi yang tangguh, professional dan bersih. Selamat Ulang Tahun Pak Polisi !

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun