Asosiasi yang terbentuk di pikiran rakyat atas partai politik yang bertarung di kancah demokrasi Indonesia, paling umum adalah pada dua hal. Pertama, figur dan/atau tokoh pendiri partai. Sebagai contoh, Golkarakan berasosiasi di pikiran rakyat dengan Soeharto. PDI-P dengan Megawati Soekarno Putri, Gerindra dengan Prabowo Subianto dan seterusnya.
Kedua, organisasi massa besar yang ada di belakangnya. PKB hampir akan selalu diasosiasikan dengan NU, atau PAN dengan Muhammadiyah. Semua organisasi tersebut bisa kita katakan organisasi massa umat Islam terbesar dan disegani di tanah air.Namun, baik PAN maupun PKB, tidak menyebut diri sebagai partai Islam (baca: partai terbuka). Berbeda dengan kedua partai tersebut di atas, yang sejak awal mengedepankan sebagai partai terbuka, hingga kini PKS tetap konsisten menyebut diri sebagai partai dakwah.
Kata dakwah, mau tidak mau, berasosiasi dengan agama tertentu (baca: Islam), menyeru kepada Islam, akidah dan/atau syariatnya. Sekalipun belakangan kita mendengar PKS menyatakan diri sebagai partai terbuka. Hemat penulis, ini suatu permainan nan rancak, dimana berpolitik dalam demokrasi kian jelas mengedepankan retorika dan kemampuan pencitraan diri mumpuni. Di saat bersamaan konsisten mengidentifikasi diri sebagai partai dakwah.
Melekatnya kata ‘dakwah’ dalam berpolitik demokrasi jelas sangat menguntungkan. Penduduk Indonesia merupakan mayoritas muslim. Sentimen agama adalah satu hal yang paling mudah untuk disentuh di negeri kita, baik dalam arti positif maupun negatif.
Adapun sentimen kebangsaan (nasionalisme) dan demokrasi an sic yang dibawakan, kian hari kian terasa hambar di mata rakyat. Maka sentuhan agama bisa menjadi obat. Kehadiran PKS yang menampilkan diri sebagai partai dakwah jelas memberi arti di sini. Seperti kehadiran Fatin di acara televisi, kehadiran PKS membuat pentas demokrasi Indonesia terjaga tetap riuh, tidak sepi dari kaum agamis.
Memancing Buah Bibir di Media
Selain menonjolnya sentimen agama dan menjadi ciri khas PKS selama ini, di mata masyarakat awam, PKS juga dipandang sebagai tempat berkecimpungnya aktivis-aktivis muda kampus yang turun ikhlas ke masyarakat. Tetapi kita tahu, keikhlasan saja tidak cukup.
Tidak cukup pula hanya dengan citra partai bersih, mesti teruji oleh waktu. Lebih dari itu,untuk menjadi nomor satu dalam raihan kursi sebuah keniscayaan untuk mengusahakan dikenal oleh banyak orang. Harus lebih banyak lagi orang yang membicarakan partai dakwah ini. Semakin menjadi buah bibir, semakin besar peluang untuk menang.
Momentum menjadi buah bibir itu datang di saat LHI ditetapkan sebagai tersangka kasus impor daging sapi. Sosok Anis Matta serta merta muncul sebagai pengganti sang presiden yang disangka atas perbuatan tidak terpuji tersebut. Sebelum banyak pihak berbicara, sebelum opini buruk bermunculan, Anis Matta tampil ke depan dengan orasinya yang oleh sebagian pihak dianggap menimbulkan kontroversi: tuduhan konspirasi.
Tulisan-tulisan di media massa muncul mengulas ‘partai Islam’ ini. Tuduhan konspirasi yang dilontarkan Anis Matta, dianggap oleh sebagian pengamat sebagai hal yang kontraproduktif untuk usaha pemberantasan korupsi di Indonesia. Bahkan Azyumardi Azra dalam sebuah tulisannya di media cetak nasional, menyatakan lontaran tuduhan konspirasi ini biasanya sebagai gambaran pihak yang tidak mampu berpikir rasional.
Bagi sebagian kalangan, dengan kasus impor daging sapi ini mungkin dianggap awal ‘dihabisinya’ PKS sebagai partai dakwah. Ternyata hal tersebut keliru. Mungkin mereka lupa bahwa PKS adalah partai kader, yang menjadi duta-duta partai turun ke lapangan dari hari ke hari tanpa lelah. Mereka benar-benar berinteraksi dengan masyarakat, terutama masyarakat kampus dan sekolah serta aktivis masjid.
Begitupun dengan membaca kondisi psikologis umat Islam akar rumput, satu kata ‘konspirasi’ yang dilontarkan Anis Matta, jelas akan membangkitkan militansi tertentu. Apalagi figur yang menyampaikan sejauh ini memang tercitra sebagai ‘pendakwah’ dibanding politikus. Pekik ‘Allahu Akbar’ yang melatarbelakangi Anis Matta jelas berasosiasi dengan perjuangan Islam melawan konspirasi jahat bagi dakwah.
Opini seperti di atas bisa saja dikembangkan di lapangan oleh kader-kader PKS. Secara tidak langsung, liputan televisi sebelumnya, justru menjadi ajang promosi pengantar bagi kader-kader dakwah di lapangan. Apalagi masyarakat yang religius sejauh ini memang curiga akan kenetralan media televisi. Kader partai yang juga dai tinggal ‘meluruskan’ opini bagaimana yang baik bagi dakwah partai pada umumnya.
Retorika Dakwah
Tuduhan konspirasi hampir-hampir tidak bisa dibuktikan. Memang substansinya bukan di situ. Setelah menjadi pusat perhatian, arah pembicaraan tinggal dibelokkan. Sungguh elok retorika dari PKS, yang tentu saja dimotori Anis Matta, dalam hal ini.
Kata ‘konspirasi’ berkaitan lebih kuat dengan perasaan, yang perlu dijalankan adalah agar kader tetap saja tampil apa adanya seperti sejauh ini, yaitu tampil sebagai pendakwah yang cukup mengerti Islam. Dengan begitu, opini buruk tentang PKS bisa memantul dengan sendirinya alias tidak mempan yaitu dakwah yang disertai tangkisan-tangkisan ringan untuk partai.
Kader tinggal menangkis dengan pembicaraan pada logika-logika umum seputar pembicaraan konspirasi; Islam sedang dimusuhi, media massa rata-ratapunya muatan politik masing-masing dan seterusnya. Dari sinilah PKS di antaranya bisa meraup keuntungan suara.
Tanpa mengabaikan faktor Dedy Mizwar, aktor yang mendampingi ‘jagoan’ PKS, sejumlah kelebihan PKS memenangkan pilkada di Jawa Barat yang digelar tak jauh berselang setelah orasi ‘konspirasi’ Anis Matta. Kemenangan ini disusuli oleh kemenangan di Sumatera Utara. Analisis-analisis yang dianggap memojokkan oleh kader PKS, terpatahkan.
Terlepas dari pro-kontra, apakah benar kemenangan ini kemenangan dakwah Islam, ada perjuangan berat yang menghadang PKS ke depan. PKS akan berhadapan dengan masyarakat yang kian rasional dalam pilihan politiknya. Apalagi, sejauh ini masyarakat tidak melihat perbedaan mencolok sisi hukum kenegaraan antara partai dakwah dan partai yang mungkin diposisikan kader-kader muda PKS sebagai partai ‘non-dakwah’ atau kelompok sekuler. ||