Mohon tunggu...
Momon Mumet
Momon Mumet Mohon Tunggu... -

Jempol Ampuh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politisasi RUU DIY, Ambisi Jabatan Sultan?

13 Juli 2011   20:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:42 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menengok sejarahnya, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus yang merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/ Dependent state, dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbenstuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayahnya sendiri di bawah pengawasan pemerintah kolonial tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara.

Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan  Yogyakarta Kooti Hookkookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya.  Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 . Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama. Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Netherland Indie  setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.

Namun, sejalan dengan perkembangan politik di Indonesia setelah pemberlakuan pemilihan Presiden secara langsung, berbagai upaya menggoyang kedudukan presiden dengan berbagai cara telah dilakukan oleh elit politik dinegeri ini seperti manuver2 legislatif yang arahnya pada pemasgulan presiden. Disamping itu, berbagai elemen masyarakat juga ikut meramaikan kedudukan presiden dengan berbagai alasan yang pada dasarnya karena tidak puas dengan kepemimpinan presiden dari hasil pemilihan langsung oleh rakyat ini. Media yang ikut meramaikan dinamika politik ini dengan berbagai macam opini termasuk opini tentang RUU DIY yang menetapkan  Sultan Hamengkubowono sebagai gubernur seumur hidup pada dasarnya telah mengkaburkan sejarah kesultanan Jogyakarta dalam pemahaman masyarakat.  Jika kita melihat sejarah kesultanan Yogyakarta, memang sejak zaman VOC  Jogyakarta adalah daerah otonom walaupun dibawah pengawasan pemerintahan kolonial. Tetapi jika dilihat dari strategi pendudukan wilayah oleh kolonialis, pendudukan bukan hanya dilakukan dengan kekuatan militer melainkan juga dengan pendekatan kultur masyarakatnya.

Adalah merupakan pengalaman pribadi sewaktu masa kecil yang tidak terlupakan, rakyat kebanyakan akan bersila dan  jalan beringsut  jika menghadap kakek saya.  Sebuah tradisi jawa atau tatakrama didalam sikap berhadapan dengan orang yang dihormatinya. Mengapa  orang harus menunduk, harus berjongkok berhadapan dengan kakek saya ?.  Sebuah pertanyaan yang terus menggelayut didalam benak saya yang terjawab setelah saya telusuri silsilah saya dan sekaligus saya mengerti bahwa kakek saya, sama dengan para Sultan Yogyakarta yang merupakan leluhur saya sesungguhnya telah diperalat oleh pemerintahan kolonial untuk meguasai bangsa ini.  Bangsa kolonial yang memahami kultur masyarakat jawa yang sangat menghormati junjungannya itu tentu akan mendengar dan mengikuti ucapan junjungannya. Memnfaatkan Sultan untuk menguasai rakyat jawa, dalam strategi penguasaan rakyat dan wilayah tentunya lebih efisien ketimbang memakai kekuatan militer bersenjata. Maka, ketika Sultan memperoleh jaminan kedudukan dan kehormatan oleh pemerintahan kolonial dimata rakyatnya, maka Sultan akan melakukan kompromi dengan penjajah. Fakta sejarahnya, kesultanan Jogyakarta hanya memiliki pasukan seremonial yang artinya bukan untuk melawan bangsa penjajah. Kompromi yang dilakukan Sultan yang  tidak melawan bangsa penjajah tentu saja diikuti oleh rakyatnya. Pengusaan terhadap Sultan dan bangsawan jawa inilah yang memudahkan bangsa penjajah dapat menguasai bangsa kita  selama tiga setengah abad.

Mengunjungi makam leluhur, ini makam Eyang Dono, awalnya saya menduga  nama kakek saya adalah Dono, ternyata itu adalah jabatannya  yang wedana zaman kolonial, juga ada Eyang  Sten ( maksudnya asisten wedana ). Pemanfaatan bangsawan jawa melalui pemberian kedudukan atau jabatan dalam pemerintahan kolonial dengan imbalan gaji besar dan fasilitas pendidikan barat itu menghasilkan generasi nasionalis yang memulai kiprah perjuangannya pada tahun 1920 an, antara lain dengan lahirnya sumpah pemuda tahun 1928. Generasi nasionalis inilah yang mencita2kan kemerdekaan Indonesia yang akhirnya terjadi proklamasi tanggal 17 Agustus 1945.  Apa kiprah Sultan Yogya dalam kemerdekaan RI itu ?.

Sebelumnya, kedudukan Sultan yang aman karena melakukan kompromi dengan pemerintahan kolonial, atas desakan rakyat Jogya yang telah menyadari arti kemerdekaan agar Sultan bergabung dengan republik yang baru diproklamirkan oleh kaum nasionalis akhirnya bergabung dengan pemerintahan republik melalui amanat 5 September. Kedudukan Sultan yang aman tenteram karena melakukan kompromi dengan bangsa penjajah itu, dengan bergabung kepada pemerintahan republik maka konsekwensinya harus berkonfrontasi dengan bangsa belanda yang hendak menjajah Indonesia kembali.  Bukan hanya Sultan Yogya yang harus berkonfrontasi, Sultan Luwupun demikian, bahkan harus meninggalkan istananya untuk melakukan gerilya melawan pasukan kolonial.

Dari penelusuran sejarah maupun dari silsilah keluarga saya, kompromi terhadap pemerintahan kolonial dilakukan karena faktor jabatan atau kedudukan. Pilihan yang dihadapi Sultan untuk bergabung dengan NKRI adalah atas desakan rakyat jogya dan kaum nasionalis yang siap berkonfrontasi dengan bangsa kolonial. Sehingga dapatlah disimpulkan, bahwa kedudukan Sultan telah bergantung pada keiinginan rakyat, bukan lagi berdasarkan kompromi dengan pemerintahan kolonial seperti sebelumnya. Rakyat sudah tidak tunduk dengan bangsa penjajah, suara rakyat harus diikuti oleh Sultan pada waktu itu. Artinya, kedudukan Sultan saat ini adalah atas kehendak rakyat, tidak ada kaitannya dengan latar belakang sejarah. Begitu juga dengan kedudukan presiden maupun kepala daerah yang lainnya yang dipilih oleh rakyat secara langsung. Pembatasan jabatan sudah diatur undang2, namun celah untuk tidak mengikuti undang2 dapat terbuka dengan keistimewaan daerah. Namun, dari penulusuran sejarah dapat dikatakan Kesultanan Yogyakarta tidak ada istimewanya kecuali dimanfaatkan oleh pemerintahan kolonial agar rakyat Jogya tidak memberontak melawan bangsa penjajah.Sebagaimanna bahasa awam mengatakan " Hey Sultan,Kalau kowe orang tidak melawan kumpeni, jabatan kowe orang saya jamin aman seumur hidup".  Maka, manggut2lah Sultan yang akhirnya setuju punya tentara seremonial seperti yang dapat kita saksikan saat ini. Sayangnya, kolonial telah menjadi masa lalu, sekarang zaman NKRI yang demokrasi, tidak ada lagi kumpeni yang dapat menjamin jabatan sultan seumur hidup, suara rakyatlah yang menentukan. Demi politik, sejarahpun dapat berubah sesuai kebutuhan politik sehingga banyak yang berpendapat berdasarkan sejarah, keistimewaan Yogyakarta adalah gubernurnya seumur hidup.  Ambisi kekuasaan yang memanfaatkan suara rakyat, namun sejarah menjadi kabur oleh kepentingan politik kekuasaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun