Dicky Chandra adalah salah satu dari sekian banyak artis yang terjun kedunia politik memanfaatkan posisinya sebagai public figure. Namun demikian tidak semua berhasil atau bahkan urung maju bertarung memperebutkan kursi kepala daerah seperti Ayu Azhari atau Jupe misalnya. Yang menarik disini, Dicky Chandra maju dalam persaingan memperebutkan kursi kepala daerah memanfaatkan jalur independen dimana umumnya sulit untuk mencapai keunggulan. Hal ini menunjukkan, bahwa kemenangan Dicky Chandra memang karena namanya sangat dikenal oleh masyarakat garut berkat kiprahnya sebagai artis. Peran Dicky Chandra tentu tidak kecil sehingga mampu mendudukkan pasangannya Aceng Fikri sebagai bupati kepala daerah Kabupaten Garut.
Tidak sebagaimana umumnya pasangan yang maju atas dukungan parpol, paling tidak melalui jalur independen, pasangan ini kemungkinan besar tidak menghabiskan dana sebesar jika melalui jalur parpol. Sehingga, dalam menjalankan kekuasaannya, idealismenya atau bahkan egoisme dapat lebih menonjol. Mundur dari kekuasaan adalah sebuah ciri dari Idealisme atau egoisme yang lebih menonjol karena tidak dibebani dana investasi politik sebagai modal untuk maju bersaing terutama pada DIcky Chandra. Ketenaran nama di publik, walaupun ketenaran itu bukan berasal dari kiprahnya dalam dunia politik adalah modal dalam penggalangan massa.
Harus diakui, kampanye semua parpol menggunakan publik figure sebagai vote getter. Bahkan, pertunjukkan erotis juga dimanfaatkan untuk menarik massa agar dapat menyampaikan janji politiknya. Dicky Chandra dikenal sebagai artis sinetron memang cukup mudah untuk menggalang massa dimana Aceng Fikri yang tidak begitu dikenal massa dapat tampil sebagai pemenang karena pengaruh ketenaran nama Dicky Chandra yang ditempatkan sebagai wakilnya. Pandangan seperti inilah yang dapat memunculkan idealisme atau egoisme pada diri Dicky Chandra dan jika terjadi friksi pada pasangan ini, kemungkinan sulit didamaikan. Peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syarif Hidayat, tidak sepakat dengan saran Mendagri Gamawan Fauzi yang memerintahkan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan untuk menjadi mediator komunikasi antara Bupati Garut Aceng Fikri dan Wakilnya, Dicky Chandra. Menurut Menurut peneliti LIPI yang konsen mengkaji relasi kepala daerah dengan wakil kepala daerah itu, justru tidak baik jika Aceng-Dicky dipaksakan rujuk lagi.
Retaknya pasangan bupati dan wakilnya memang banyak terjadi didaerah lain, ini terlihat ketika keduanya maju menjadi pesaing dalam perebutan kedudukan pada periode berikutnya. Bahkan, mungkin tidak pernah terjadi pasangan bupati dan wakilnya dapat bertahan sampai dua periode, umumnya setelah menyelesaikan periode jabatan, masing2 maju dengan pasangan yang berbeda. Untuk kasus Dicky Chandra yang berasal dari jalur independent, persoalannya akan menimbulkan masalah pada aturan penggantiannya. Lantaran kepala daerah dan wakilnya sama-sama dipilih lewat pilkada langsung, yang umumnya masing-masing mengeluarkan biaya, maka wakil akan menuntut porsi kue kekuasaan yang sama terutama menyangkut keputusan proyek untuk pengembalian modal investasi politik. Katakanlah Aceng Fikri sebagai pemodal, Dicky Chandra sebagai vote getter, kemungkinan Dicky Chandra diperlakukan sebagai wakil bupati seremonial, tak memperoleh kue yang memadai adalah hal yang sangat mungkin sebagai biang perpecahan. Ketika hasil kekuasaan itu dirasa tidak adil, idealisme politik dan egoisme akan lebih menonjol karena tidak terbebani investasi politik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI