Mohon tunggu...
Momon Mumet
Momon Mumet Mohon Tunggu... -

Jempol Ampuh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ada Apa dengan Sri Sultan?

21 September 2011   16:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:45 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tanggal 9 Oktober 2011 mendatang, masa perpanjangan jabatan Sultan sebagai Gubernur DIY habis, hingga saat ini belum ada keputusan apa pun dari pemerintah apakah akan memperpanjang masa jabatan tersebut atau tidak.  Namun demikian Mendagri menyatakan telah mengusulkan kepada Presiden perpanjangan masa jabatan Sultan selama dua tahun mendatang atau deberikan sampai terselsaikannya RUU keistimewaan Yokyakarta. Sementara itu Partai Golkar mengusulkan perpanjangan masa jabatan selama 5 tahun, ini artinya sama dengan masa jabatan gubernur umumnya. Ini sekaligus juga menggambarkan bahwa keinginan masyarakat Jogyakarta  untuk memperoleh penetapan gubernur seumur hidup belum dapat terwujud.  Apa yang diusulkan Partai Golkar tersebut adalah sebagai sikap pesimisme akan rampungnya pembahasan RUU Keistimewaan Jogyakarta, setidak2nya sampai akhir masa jabatan Presiden SBY.

Tarik ulur penetapan Sultan sebagai Gubernur seumur hidup memang terlihat sejak masa jabatan Sri Sultan Hamengku Buwono  X  berakhir dua tahun silam. Kekesalan masyarakat Yokyakarta terhadap SBY yang dianggap sebagai penentang penetapan telah menimbulkan gerakan anti SBY di Yogyakarta. Namun, dengan perkembangan pembahasan RUU yang tidak jelas kapan rampungnya  bahwa sesungguhnya menunjukkan  sikap parlemen tak berbeda dengan SBY. Demikian juga dengan perubahan sikap yang kini tak lagi menginginkan jabatan seumur hidup semakin membuat tidak jelasnya arah RUU keistimewaan DIY.  Sebuah situasi yang antiklimaks dimana sebelumnya rakyat Jogyakarta menginginkan penetapan gubernur seumur hidup. DPR pun seolah tidak lagi menganggap RUU DIY sebagai agenda yang prioritas, masa perpanjangan 5 tahun yang diusulkan oleh Partai Golkar juga menegaskan bahwa pembahasan RUU DIY akan dilakukan setelah tahun 2014, setelah berakhirnya pemerintahan SBY dan juga setelah  priode jabatan anggota DPR berakhir.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka rapat kabinet terbatas Nopember 2010 di kantornya mengatakan tidak pernah melupakan sejarah dan keistimewaan DIY.  Keistimewaan DIY itu sendiri berkaitan dengan sejarah dari aspek-aspek lain yang harus diperlakukan secara khusus sebagaimana pula yang diatur dalam Undang-undang Dasar. Maka itu harus diperhatikan aspek Indonesia adalah negara hukum dan negara demokrasi. Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi mau pun nilai-nilai demokrasi," kata SBY pada waktu itu yang segera menuai kontroversi. Demo2 massa di Yogyakarta yang pro penetapan dan anti SBY segera merebak, namun lambat laun gejolak massa hilang dengan  sendirinya. Yang menjadi pertanyaan kita, apakah memang rakyat Jogyakarta mengikuti titah Sultannya yang tidak menginginkan dirinya sebagai Gubernur seumur hidup ?.  Ataukah gerakan rakyat Jogyakarta adalah sebagai buah permainan elit politik tingkat atas ?.  Ataukah ada ambisi politik Sultan yang memanfaatkan rakyat Jogya  ?.

Politik susah diduga, rakyat yang tidak mengerti lebih sering menjadi alat ambisi politik. Atas nama rakyat, rakyatpun bergerak mengikuti irama tokoh politik. Yang satu menentang, yang lain bertahan dan ketika tercapai kompromi ditingkat elit, rakyat yang tadinya bersuara lantang juga hilang tanpa bekas. Jika RUU DIY hanyalah sebuah alat politik untuk bargaining posisi kekuasaan, hal itu sangat disayangkan. Sebab, semula rakyat yang katanya rela berkorban demi keistimewaan kedudukan Sultannya, pada akhirnya tak beda dengan demo2 yang lainnya yang merupakan lahan bisnis demokrasi.. Kebohongan elit politik, kebohongan juga yang dilakukan rakyat. Namun dibalik itu semua, politik pada akhirnya menjadi ladang bisnis, kekuasaan berarti sebuah kesempatan bisnis yang sangat menjanjikan sehingga banyak yang rela berinvestasi demi kursi kekuasaan. Rakyat telah dijebak dalam sebuah lingkaran politik yang sesungguhnya tidak dipahaminya karena berharap imbalan. Langkanya lapangan kerja, demo2 pada akhirnya menjadi peluang kerja, bekerja untuk pemesan yang bertujuan ikut dalam kekuasaan.  Maka, tak mengherankan jika rakyat tidak diperhatikan oleh penguasa karena setelah berkuasa memang tidak dibutuhkan lagi teriakan jalanannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun