Mohon tunggu...
Momon Mumet
Momon Mumet Mohon Tunggu... -

Jempol Ampuh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jaksa Agung Digituin Yusril

1 Agustus 2010   21:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:23 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mungkin lantaran karena mantan menteri, terlebih menkumham yang diyakini memang seorang ahli hukum, menyandang gelar profesor dalam profesinya sebagai pendidik dan menyandang gelar akademis S3, Yusril Izha Mahendra yang dinyatakan sebagai tersangka mempunyai jurus tersendiri, mengilegalkan jaksa Agung untuk melakukan pembelaan dirinya. Tak sampai disitu, dihadapan mahkamah konstitusi dalam rangka mengilegalkan  Jaksa Agung, Yusrilpun menyatakan bahwa S3 lebih pandai dari S1 sebagaimana gelar akademis yang disandangkan. Mungkin Yusril lupa, dia pernah diangkat menjadi pembantu presiden, masih kalah pandai dengan presiden. Menurut petunjuk presiden, begitulah umumnya para pembantu presiden dalam menjalankan tugasnya. Apa yang dikatakan oleh Yusril sesungguhnya merupakan representasi dari sikap pandang bangsa kita umumnya, titel akademis telah berubah menjadi titel sosial, S3 lebih tinggi derajatnya dari S1. Nasib serupa dengan Hendarman Supanji juga dialami megawati pada masa lalu. lantaran tidak bertitel coba diganjal menjadi presiden.

Dimasa lalu, ada politik pemerintahan kolonial memanfaatkan budaya feodalisme bangsa kita dalam upayanya menguasai bangsa kita yaitu  dengan mengangkat para ningrat menjadi pejabat pemerintahan kolonial. Menyandang gelar kebangsawanan menjadikan seseorang mendapat tempat yang dihormati dimasyarakat, budaya ini dimanfaatkan dengan baik untuk menundukkan bangsa ini berabad lamanya. Setiap pejabat pemerintahan kolonial yang berasal dari bangsa pribumi diwajibkan mencantumkan gelar kebangsawananya dan nama keluarga besarnya. Dari gelar dan nama kebangsawanan yang harus dicantumkan  tersebut dimaksudkan agar rakyat patuh dan hormat dengan pejabat yang diangkat pemerintahan kolonial tersebut. Budaya feodal yang kental dalam masyarakat jawa tersebut, para terdidik yang diperlukan dalam pemerintahan kolonialpun dalam perkembangan selanjutnya diharuskan mencantumkan gelar akademis. Demikian pula dalam ijazah, tercantum sebuah kalimat " Berhak menyandang gelar ...... ". Artinya gelar akademispun delegalisir penggunaanya, ini tak lain merupakan warisan kolonial dalam politik menguasai rakyat yang minim pendidikan pada waktu itu.

Gelar akademis pada akhirnya menjadi lambang status sosial didalam masyarakat sehingga gelar akademis merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Situasi ini menjadikan gelar lebih berharga dari ilmunya, ijazah palsupun diburu orang. Budaya berburu gelar, bukan berburu ilmu, mungkin inilah yang menjadikan bangsa kita tertinggal dalam penguasaan iptek. Orang Yahudi tidak ada yang mencantumkan gelar tetapi dalam penguasaan iptek sangat menonjol. Mencantumkan gelar akademis sederet tanpa prestasi sebetulnya memperolok diri sendiri, namun budaya feodal itu telah menghapus perasaan itu.

Lama kelamaan, karena tujuan belajar adalah berburu gelar untuk kepentingan status sosial, lulusan perguruan tinggi akhirnya dihargai murah, bahkan yang berguna hanya kemampuan baca tulisnya, ilmunya tidak terpakai karena tidak memenuhi syarat bekerja sesuai dengan pendidikannya. Banyak lulusan perguruan tinggi yang bekerja asal ada pekerjaan dari pada menganggur. Yang masih menghargai gelar hanya pemerintahan, tak heran menjadi PNS menjadi tempat yang menjanjikan.  Berbondong2 berebut menjadi PNS, segala cara dihalalkan, tarifpun berlaku, sekian puluh juta, sekian ratus juta untuk menjadi PNS dimaklumi.  Inilah keadaan negeri kita yang nantinya diurus oleh korban2 feodalisme yang ditinggalkan oleh pemerintahan kolonial. Budaya yang dibuat oleh pemerintahan kolonial agar bangsa ini tidak pernah maju, ternyata masih berlanjut.  Hal itu masih ditunjukkan oleh mantan menteri negeri ini Yusril Izha Mahendra yang merasa tidak perlu berdebat dengan Hendarman Supanji yang katanya hanya bergelar S1.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun