[caption id="" align="aligncenter" width="460" caption="The Saints (Dok.injuryleague.com)"][/caption]
Mungkin sulit membayangkan melihat negara yang 69 tahun lalu porak poranda karena bom atom, sekarang sedang gagah memimpin perekonomonian dunia. Anak sekolah dasar kelas 5 pasti sudah diajarkan oleh gurunya tentang bagaimana dahsyatnya 2 buah bom atom yang dijatuhkan oleh sebuah pesawat B-29 Flying Superfotress di kota Nagasaki dan Hiroshima meluluh lantahkan negara Jepang yang menyebabkan lumpuhnya sendi perekonomian negara tersebut.
Jepang harus benar-benar mulai membangun negaranya dari nol. Meskipun tidak memiliki modal yang cukup dan juga tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah baik bahan mentah maupun energi, mereka berusaha melakukan perbaikan besar-besaran mulai dari sektor perekonomian dengan rekontruksi dan rehabilitasi insfrastruktur yang hancur seperti sistem transportasi, sistem penyediaan energi, fasilitas industri dan sebagainya. Dengan keseriusan dan mental pantang menyerah orang Jepang, kita bisa melihat sekarang begitu pesatnya pembangunan di Negara matahari terbit tersebut.
Secara tidak langsung, Jepang telah membantah mentah-mentah teori ekonomi klasik yang mensyaratkan suatu negara jika ingin pembangunannya berjalan secara pesat harus memiliki sumberdaya modal, bahan mentah (Row Material) dan buruh yang memadai.
Strategi insdustri berotientasi ekspor, dimana Jepang mengimpor barang mentah lalu memberikan nilai tambah yang pada akhirnya di ekspor dengan harga yang lebih mahal, telah membantu Jepang untuk bangkit dari keterpurukan Perang Dunia. Jepang telah membuktikan mereka bisa maju dan mandiri, sehingga teori ekonomi Jepang sering dikaitkan dengan teori ekonomi Heterodox (menyempal), Yang tidak sepenuhnya mengadopsi teori ekonomi barat.
Karena pada kenyataannya tidak semua negara memiliki karakteristik yang sama dalam ekonomi, sosial dan budaya. Sehingga kita tak perlu menggunakan mentah-mentah teori ekonomi barat yang tentunya memeliki karakteristik yang sangat berbeda dari kita. Itu lah yang dipegang teguh oleh Jepang sehingga bisa membangun negaranya dari keterpurukan dan menjadi salah satu negara maju pada masa kini.
Melihat jepang mengingatkan saya terhadap Southampton. Siapa sangka klub yang lima tahun lalu, masih berkubang di League one, atau 3 tingkat di bawah EPL ini sekarang sedang berdiri kokoh di posisi 2 klasemen. Hanya fans garis keras atau sangat keras dan manusia yang kehilangan akal sehat saja yang berani memprediksi Southampton dapat bersaing dengan Chelsea dan Man City musim ini. Manusia normal lainnya, akan menilai Southampton pasti terpuruk. Bagaimana tidak? Setengah amunisi inti mereka musim lalu, melakukan eksodus besar-besaran. Mulai dari Mauricio pochettino, yang pindah ke Spurs. Di susul Lovren, Lallana dan (Si anak yang mengaku fans Berat Liverpool sejak kecil) Ricky Lambert pindah ke Merseyside merah, Luke Shaw ke Manchester United dan Culum Chambers ke Arsenal.
Southampton akan hancur. Benar-benar hancur. Layaknya Jepang di bom atom oleh Amerika.
Sebenarnya Southampton pernah merasakan masa lebih pahit dari pada ditinggalkan para pemain inti mereka musim ini. Tepat tahun 2009, mereka terperosok ke League One. Di tambah pengurangan 10 poin di awal, karena masalah admnistrasi membuat Southampton hanya menempati posisi 7 diakhir musim.
Angin segar kemudian datang, layaknya oase di gurun sahara. Soton mendapatkan suntikan dana dari Miliarder asal Swiis Markus Liebherr. Markus mengambil alih kepemilikan Soton awal musim 2009-2010. Menurut media Inggris, Markus menggelontorkan 14 juta Poundsterling untuk mengakusisi Southampton. Hanya setengah dari Harga yang dikeluarkan Liverpool ketika merekrut (Membuang-buang uang) Andy Carrol dari Newcastle. Bersama Nicola Cortese, bangkir asal Italia yang ditunjuk sebagai pengambil segala keputusan akhir mulai dari belanja pemain, perpanjangan kontrak, perekrutan manejer sampai pemecatan manejer. Mereka berdua bahu membahu membangun Soutmapton hampir dari nol.
Strategi industri orientasi ekspor yang diterapkan Jepang dalam membantu peningkatan pembangunan ekonomi, hampir sama dengan apa yang diterapkan oleh Southampton. Liebherr rela menggelontorkan kocek yang lumayan besar untuk membangun fasilitas akademi kelas 1, demi menopang dan mengembangkan bakat bakat pemain muda. Pemain berumur belasan tahun yang ditemukan oleh pemandu bakat Southampton, kemudian dididik di akademi, diberikan “added Value”, yang suatu saat nanti siap di Ekspor dengan harga yang cukup mahal. Kita telah mengenal beberapa contoh pemain akademi Soton yang sukses seperti Theo Wallcott, Gareth Bale dan Alex Chamberlain. Merekalah produk ekspor yang membantu pembangunan keuangan Southampton. Hingga saat ini, Southampton adalah salah satu klub Inggris yang memiliki akademi pemain muda terbaik.
Secara perlahan, duo Markus Liebherr dan Nicola Cortese sukses mengantar Southampton menggapai impiannya 5 tahun yang lalu, menjadi salah satu tim kuat di EPL. Tak seperti Man City dan Chelsea yang memiliki anggaran seperti menggunakan Game Shark, tak terbatas. Atau tak seperti Man United, yang memiliki kontrak dengan sponsor yang mahal, Southampton adalah klub yang “Biasa aja”, Sumber daya modal mereka terbatas. Bahkan Southampton tidak memiliki Sponsor Apparel, kalah dengan Perseru serui klub Indonesia yang di Sponsori Adidas. Tapi dengan teori yang menyempal atau Heterodox, yaitu menjual pemain dengan harga mahal dan merekrut pemain-pemain yang memiliki kualitas setara dengan harga yang lebih murah, membuat Southampton bisa bersaing dengan klub klub kapitalis semacam Chelsea dan Man City.
Meskipun memiliki resiko yang sangat tinggi dengan menjual pemain-pemain terbaiknya, tapi untuk musim ini perjudian mereka sukses. Terutama ketika mendatangkan Ronald Koeman dari Feynoord. Pelatih asal Belanda ini kemudian sukses mengajak 2 pemain hebat Eredivisi, Graziano Pelle yang notabene top skor Liga Belanda dan Dusan Tadic pengkoleksi umpang silang sukses terbanyak di Eredivisi. Kedatangan mereka berdua, membuat fans The Saints bisa melupakan siapa itu Ricky Lambert dan Adam Lallana.
Sampai saat ini, teori heterodox yang Southampton gunakan masih berjalan positif. Mereka masih konsisten berada di papan atas. Ujian sesungguhnya adalah pada akhir tahun, ketika Southmapton bertemu tim besar seperti Chelsea, City dan Manchester United. Apakah perjudian mereka dengan menjual pemain-pemain bintangnya akan suskses? Hanya bulan Desember yang bisa menjawab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI