Satu lagi klaim Kementerian Pertanian yang tak sesuai kenyataan. Mereka kerap menyatakan, bahwa Kekeringan yang terjadi pada paruh kedua tahun ini, hanya berdampak pada 0,69% dari total luas lahan persawahan nasional atau setara dengan 48.600 Ha. Padahal, di lapangan, yang terjadi justru lebih parah. Apakah Kementan sengaja menyedikitkan jumlah agar kinerjanya tampak sempurna. Siapa tahu?
Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi, atau PATAKA, yang dipimpin Yeka Fatika, telah melakukan sejumlah riset, dan menemukan banyak bukti yang bikin miris. Sawah-sawah yang terdampak kekeringan sehingga terancam gagal panen begitu luas. Data yang disampaikan lembaga ini pun lebih masuk akal daripada penjelasan Kementan.
Yeka mengaku memang tak ada lembaga yang dapat melaporkan data lahan yang puso akibat kekeringan secara pasti. Namun dari berita yang dilaporkan media massa, kita dapat menyimpulkan betapa besar kekeringan berdampak pada musim panen kemarin.
Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) melaporkan, setidaknya ada 50% lebih lahan di 85 wilayah di pulau Jawa mengeluh kekeringan. Dampak besar terasa di Jawa Timur. Jika di Pulau Jawa yang sudah didukung waduk saja masih terkena dampak kekeringan, bagaimana dengan lumbung padi di pulau lain yang pengairannya lebih banyak mengandalkan hujan?
Dari kajian PATAKA, lima wilayah terkena dampak kekeringan cukup parah. Sekitar 80% areal persawahan di Nagrek, Jawa Barat, terlanda kekeringan. Desa Loji Kabupaten Garut, Sukolilo Kabupaten Pati, Desa Monggot Kabupaten Grobogan, Desa Ngebel Kabupaten Wonogiri, semuanya terkena. Tanaman padi kuning meranggas, sungai-sungai kering kerontang hingga menampakkan tanah yang sudah berkerak.
Debit air dari waduk serta sungai yang susut, menjadi salah satu penyebab besarnya. Akibatnya, luas lahan yang dapat diairi pun kian sempit. Lalu dari mana sawah-sawah ini mendapatkan air? Dan bagaimana bisa Kementan mengklaim bahwa kekeringan tak berdampak masif?
Tinjauan PATAKA ini didukung pula oleh BMKG. Berdasarkan peta analisis curah hujan pada Agustus 2018, curah hujan pada hampir seluruh wilayah Jawa masuk dalam kategori rendah (0-20 s/d 50-100). Sulawesi dan Sumatera pun tak kalah kering. Peta BMKG menunjukkan bahwa kekeringan tahun ini meningkat dibanding tahun lalu.
Ini belum ditambah jaringan irigasi yang rusak. Kajian PATAKA menemukan adanya kerusakan level sedang dan berat yang diperkirakan mencapai 43%. Apa dampaknya? Sekitar 3 juta Hektare sawah tak mendapatkan pasokan air yang mencukupi. Serta merta, ini berpengaruh pada produktivitas padi.
Demikian mendalam kajian yang dilakukan para pengamat pertanian independen, namun para pejabat anti impor malah menelan mentah-mentah klaim surplus dari satu pihak, seolah turut melegitimasi hasil produksi yang tak bisa dipertanggungjawabkan.
Mestinya, riset dan observasi para pengamat seperti PATAKA ini, dijadikan bahan pertimbangan pemerintah untuk menangani sektor pangan kita. Agar mereka punya sudut pandang alternatif selain angka fiktif buatan Kementan. Sehingga saat memutuskan impor, mereka keluar dengan satu suara dan tak saling tuding menyalahkan