Ketika diberi kesempatan untuk sekedar jalan ke negeri China, saya merenung. (musim dingin di sini), tidak ada jongos atau porter di sini, semua harus dikerjakan sendiri, mana libur lagi.
Anak saya memang bersekolah di sekolah yang mahal, bukan yang termahal, tetapi cukup mahal untuk ukuran kebanyakan orang indonesia. Anak saya dua, kedua-duanya di sekolahkan di tempat yang sama, jadi bisa dibayangkan biaya maintenancenya.
Untuk sekolah mahal, jangan bicara kualitas. Kualitas guru-guru di asah dalam berbagai pelatihan, sehingga kadang-kadang anak saya sekolahnya diliburkan demi pelatihan guru. Pelajaran bahasa asing, sertifikasi Bahasa Inggris TOEFL, sertifikasi komputer adalah contoh nyatanya. JI-CA-NHK juga ada. Tentu saja untuk menerima transfer ilmu tersebut guru-guru harus mengerti paling tidak bahasa nativenya, bahasa asing lain sepertiBahasa Jepang misalnya.
Undang-undang No 20/2003 tentang Sistem pendidikan Nasional mewakili sikap pemerintah akan sebuah standar sekolah yang bertaraf internasional. Harus ada hubungan kakak adik dengan sekolah bertaraf internasional di luar negeri. Harus berbasis TIK yang dilengkapi dengan sarananya. Bicara biaya itu semua.
Yang menjadi renungan saya adalah, anak saya pun mau tidak mau harus belajar bahasa asing seperti bahasa Inggris untuk menerima transfer ilmu dari guru yang menerima transfer ilmu tersebut dari native teachernya. Setiap hari bahasa Inggris, matematika Inggris, ke WC saja Inggris. Bahasa Mandarin tentu saja ada. Hebat? Tentu saja, apalagi yang satu masih kelas satu yanglainnya kelas dua SD. Hebat? Kasihan menurut saya. Tas sekolah seberat tas saya kalau naik gunung. Pekerjaan rumahnya tidak sembarang orang bisa ngerti.Masa kanak-kanak mereka bisa saya katakan tidak ada. Sekolah, les, sekolah les. Hari Minggu sekalipun, padahal hari Sabtu sudah libur sekolah, jika tidak kita bantu akan menjadi hari sekolah, bisa untuk membuat tugas, entah karya tulis dari internet, kumpulan kliping, PR dll.
Nah fakta ini bentrok dengan kenyataan yang saya hadapi sekarang. Dalam hidup nyata sekarang, apakah Bahasa Inggris menjadi penentu bahwa saya bisa berkomunikasi dengan manusia di sini? Bahasa Tarzan tetap saja menjadi andalan. Tawar menawar harga dilakukan dengan kalkulator. Apa yang jaman saya sebagai murid sekolah jalani ternyata tidak berlaku banyak sekarang. Sewaktu sekolah, saya diajari Bahasa Arab sampai dengan kelas 2 SD, pindah sekolah, saya belajar Bahasa Belanda sampai kelas 6 SD dan Inggris sampai tamat SMA. Jaman dahulu namanya berhitung dan mencongak, bukan matematika, pelajaran untuk kelas 1 atau 2 SMP sudah saya lalap di kelas 5 dan 6 SD. Beban yang banyak tetapi tidak sebanyak anak sekarang. Yang menjadi tanda tanya sekarang adalah, fakta bahwa saya dijejali begitu banyak ilmu ternyata bertahun kemudiantidak berguna apakah tidak akan terjadi juga pada anak-anak saya? Itu baru segi bahasa saja. Kasihan melihat mereka keberatan dengan tas, itupun sebagian buku sudah dimasukan dalam loker sekolah.
Perkembangan menuju sekolah Internasional, bukan hanya membebani anak saja, orang tua dari segi biaya, tetapi guru-guru juga. Respons mereka berbeda-beda. Ada yang antusias, ada yang biasa saja, ada juga yang menolak.Berbagai perubahan dalam sistem pendidikan memang terjadi dan harus terjadi karena tuntutan perubahan jaman, tetapijangan lupakan manfaat dan korban-korbannya.
Yang berguna dari semua pelajaran dulu hanya Matematika (berhitung dan mencongak), Olah Raga dan PMP. Apalagi setelah reuni SMA kemarin, saya lihat yang bodoh-bodoh dan nakal-nakal jaman dulu sekarang telah menjadi direktur, direktur utama, pemilik (CEO), komisaris dari berbagai multi-nasional company. Memang sebagian besar adalah kekayaan warisan, tetapi bukankah jika mereka bodoh, warisan itu akan cepat habis? Saya? saya termasuk yang beruntung saja dapat hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H