Afifuddin Muhajir ini mengupas tuntas relasi Islam dengan Pancasila. Masyhur sebagai ahli usul fikih, angle kajian Kiai Afif fokus berbicara pancasila dari sudut pandang kajian nusus dan maqasid. Sebuah angle kajian tradisional khas pesantrean.Â
"Pancasila adalah syariat itu sendiri dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dengan menjadikan Pancasila sebagai dasarnya adalah negara syar'i".  Demikian penggalan kesimpulan orasi ilmiah Kiai Afif dalam rangka penganugerahaan Doktor Honoris Causanya di UIN Semarang beberapa pekan lalu. Dalam makalah berbahasa arab setebal 44 halaman, Kiai bernama lengkapSimpulan beliau ini sangat krusial dan istimewa. Krusial karena gagasan Rais Syuriah PBNU ini menjadi gembok besar yang mengunci ruang gerak para pegiat anti Pancasila, pro khilafah. Disadari atau tidak, firqah-firqah anti pancasila  itu sampai saat ini masih ada, dan mereka bergerak massif. Propaganda yang mereka lempar ke permukaan adalah membenturkan Islam dengan pancasila. Simpulan beliau bahwa Pancasila selaras dengan syariat menjadi counter attack atas propaganda tersebut.
Konglusi tersebut menjadi istimewa lantaran lahir dari rahim seorang kiai yang murni didikan pesantren tradisional. Sedari usia delapan tahun, beliau sudah masuk pesantren dan dididik langsung serta dibesarkan oleh Kiai As'ad Situbondo (Pahlawan Nasional). Kata Prof. Mahfud MD, "Kiai Afif adalah profil kiai yang hampir seluruh hidupnya ditempat hanya di pesantren Asembagus Situbondo". Bagi Prof. K.H. Abdul A'la, fakta ini menjadi sangat istimewa karena kemampuan inteleklualitas Kiai Afif dibidang ushul fikih benar-benar mengagumkan, melampaui batas lokalitas, menjangkau dunia global, dan kemampuan ini diperolehnya hanya di satu pesantren, yakni Pondok Pesantren Sukorejo Situbonbo.
Lompatan pemikiran ala Kiai Afif ini masih sangat langka. Banyak pakar mengakui bahwa  gagasan-gagasan beliau sangat original. Belum tentu mereka yang puluhan tahun mengeyam pendidikan di pesantren bisa memiliki pandangan serupa. Apalagi sekelas ustad muallaf yang baru hijrah. Alih-alih  mengerti duduk perkara negara pancasila, mereka justru  gagal faham. Gagasannya lahir dari perenungan yang mendalam  dan serius (ijtihad). Pikirannya lahir sebagai jalan keluar atas problem dasar negara yang cukup rumit dipecahkan karena riak penolakan muncul dari internal orang Islam sendiri.
Pikiran kiai yang juga menjadi ketua MUI pusat bidang Fatwa ini merefleksikan wawasan Islam yang moderat. Apresiasi atas kajian-kajian teks (nusus) di satu pihak, dan kajian terhadap tujuan-tujuan syariat (maqasid) dipihak lain menggiring Kiai Afif sampai pada kesimpulan bahwa NKRI adalah negara syar'i yang sesuai dengan teks-teks dan tujuan-tujuan syariat (nushsh al-syar'ah wa maqshidih). Kesimpulan ini menjadi ruh bagi relasi negara dan agama yang bersifat mutualistik. Sebuah paradigma yang  berdiri di antara paradigma sekuleristik dan intergralistik.
Hemat Kiai Afif, Â kehadiran negara bukanlah tujuan (ghayah), melainkan sebuah sarana untuk mencapai tujuan (wasilah). Oleh karena sebagai instrumen maka wataknya lentur dan tidak rigid. Ia bisa bergerak dinamis sesuai hajat hidup manusia. Watak inilah yang membuat Islam bisa survive terhadap perubahan waktu dan tempat dimanapun ia berada, termasuk di Indonesia. Alqur'an dan hadis tidak merincinya secara tehnis dan terperinci. Dua dalil primer tersebut banyak mengulasnya secara universal dan makro. Hal ini sebagaimana tercermin dalam prinsip permusyawaratan, keadilan, egaliter, dan kebebasan.
Fresh ide ala Kiai Afif ini menjadi imunitas baru bagi NU yang sedari awal getol berjuang mempertahankan negara pancasila. Bedanya, jika pendahulunya baru sampai pada kesimpulan pancasila tidak bertentangan dengan Islam maka Kiai Afif lebih progres dari itu. Beliau berani mengatakan bahwa Pancasila adalah syariat itu sendiri. Kesimpulan itu beliau rilis tanpa harus dicurigai sebagai antek barat dan liberal serta tanpa perlu mengimpor teori-teori barat sebagaimana pendahulunya semisal Almarhum Gus Dur. Mana tega menyebutnya liberal dan antek barat sementara waraknya sudah level III, satu level dibawahnya warak para nabi dan seluruh hidupnya dihabiskan di pesantren.
Dari aspek lainnya, Ide brilian Kiai Afif tersebut menjadi bukti bahwa beliau merawat konsistensi NU sebagai penjaga gawang NKRI. Besar di pesantren yang menjadi tempat diterimanya asas tunggal dalam Mukhtamar NU 84, Kiai Afif konsisten melestarikan sikap kenegaraannya sebagai warga nahdiyyin. Beliau konsisten menunjukkan komitmen religiusitas dan nasionalisme sebagaimana diwarisi dari Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari pendiri Nahdlatul Ulama sekaligus guru dari Kiai As'ad Syamsul Arifin yang merupakan guru dan orang tua angkat Kiai Afif.
Atas konstribusi besar ini, Kiai Miftachul Akhyar (Rais Am PBNU) menyebut Kiai Afif sebagai salah satu jimat NU. Hal serupa juga diamini oleh Buya Ahmad Syafii Maarif. Lebih lanjut, Buya mengapresiasi kealiman dan ketawaduan Kiai Afif dan menyebut masyaikh Mahad Aly Situbondo tersebut sebagai sosok yang al-raasikhuuna fii al-'ilm wal amal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H