aku berkelana di tengah riuh nafas rimba
tatap mataku jatuh membentur sisi jalan
kicau burung-burung di puncak cemara
merangkai senandung nada tak beraturan
kugelengkan kepala sebagai pertanda hati bertanya
sesungguhnya lagu apa yang sedang mereka nyanyikan
lembaran hari hanya tertulis catatan yang tak bermakna
waktu yang terbuang hanya untuk sebuah kegaduhan
kutengadahkan kepala memandang burung merpati
terbang tak menentu arah kemana yang akan dituju
sementara anak-anaknya menjerit menagih janji
yang dulu pernah terucap sambil membagikan baju
kugelengkan kepala sebagai luapan rasa tak percaya
jejak tapak kaki mereka tinggalkan goresan luka
tinggi perbukitan melukis sejuta pengharapan
yang telah kandas di dalam selimut kebohongan
kudengar desah rumput ilalang yang layu disudut dusun
sekian lama menunggu demi setetes embun yang luruh
angin perubahan menerpa rencana yang telah disusun
kemakmuran hanya sebatas impian yang pergi menjauh
kugelengkan kepala sebagai pertanda aku merasa prihatin
melihat manusia pintar namun bertindak bagai orang pandir
tak mampu lagi menjaga martabat diri demi kepuasan batin
menebar dusta atas nama kekuasaan sedari hulu hingga hilir
di tepi jalan kulihat banyak pohon yang tumbang bekas ditebang
getah bening mengalir diantara celah kekecewaan yang mendalam
pucuk-pucuk tunas kedewasaan telah pupus diladang yang gersang
sekumpulan mata hati yang buta terbalut oleh selembar kain hitam
kugelengkan kepala sebagai pertanda harapan yang sia-sia
menutup kisah perjalanan yang penuh dengan sandiwara
hanya sepotong doa yang masih terselip dibalik kepasrahan
semoga masih ada waktu yang berpihak kepada kebenaran
#donibastian - LumbungPuisi
GF, 10-02-2016
ilustrasi gambar : publicity.co.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H