tertulis di selembar kisah tentang lelaki bersorban hijau
di tengah pelataran yang penuh bebatuan di musim kemarau
dia terdiam bersama kehenigan batin yang tulus murni
seraya pucuk-pucuk daun perlahan bersemi mengitari
seberkas cahaya dari langit bersemayam dalam kalbu
menerangi setiap jengkal bumi yang meratapi sepi
hidup baginya adalah sebatas menunggu jatuh layu
mati hanyalah menuju ke gerbang kehidupan abadi
tapak langkah kakinya melukis syair kesucian
sementara sepasang mata mengikuti kemana pergi
menggantang asa demi menimba lentera keilmuan
sebagai penunjuk jalan kebenaran yang hakiki
dua manusia sejalan seiring bagai tasbih batu mulia
terbawa oleh sampan di atas riak laut yang tenang
sesaat kemudian mengukir satu lubang di dasar papan
air mengucur deras memaksa perahu mereka karam
sejuta tanya terlontar di bibir santri
apa gerangan yang tengah ia lakukan kini
tiang layar terkoyak bersama runtuh tiang
tak tahu apa sesungguhnya makna terbentang
simpan kata tanyamu di dalam hati saja
tak perlu kau larut dalam riuh keraguan
burung camar terbang bila saatnya tiba
pergilah kau bila tak sanggup menahan
langkah mereka terhenti dalam kerumunan bocah
lelaki kecil tertinggal sendiri dalam dekapan
belum genap usia menghela nafas dunia yang gerah
satu nyawa terpisah dari raga oleh jemari tangan
sejenak menuju gubug reyot di seberang jalan
tegakkan pilar menutup pintu tabir rahasia
mengubur kembali seonggok harta tersimpan
menunggu waktu yang datang di masa kemudian
bibir santri tak lagi mampu terkunci
saat kebersamaan yang harus diakhiri
janji yang terucap telah teringkari
menutup jalan cerita menguak misteri
di bawah mahkota raja yang penuh keangkuhan
menyita seluruh perahu indah yang berkeliaran
jika satu lubang dan tiang patah pertanda usang
maka selamatlah pemiliknya dari rasa kehilangan
lelaki kecil mati demi ayah bunda yang taat
kelak dewasa mengajak ke jalan yang sesat
teriring doa kepada dzat yang maha suci
anak angsa bening lahir sebagai pengganti