Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan secara resmi telah melarang angkutan umum yang menggunakan kendaraan bermotor roda dua yang telah tertuang dalam Surat Pemberitahuan Nomor UM.3012/1/21/Phb/2015 yang ditandatangani oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, tertanggal 9 November 2015.
Mengapa pemerintah melarang? Alasannya adalah karena PP No. 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan menyebutkan :
Bagian Kedua
Angkutan Orang dengan Kendaraan Umum
Pasal 4
Pengangkutan orang dengan kendaraan umum dilakukan dengan menggunakan mobil bus atau mobil penumpang.
Sedangkan di dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, tidak ada pasal yang secara tegas melarang beroperasinya angkutan umum beroda dua atau beroda tiga. Dalam pasal 138 ayat (3) UU No. 22/2009 hanya disebutkan bahwa angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum.
Bila mengaitkan dengan ketentuan hukum di atas, maka keberadaan ojek sebagai kendaraan umum sesungguhnya memang belum diatur secara tegas dan tidak ada satu pasalpun yang melarangnya.
Pertanyaannya adalah apakah semua kegiatan yang tidak atau belum diatur oleh undang-undang, maka pemerintah bisa melarang?
Jawabannya tentu saja bisa. Pemerintah mempunyai dasar dan pertimbangan tertentu sebelum secara resmi menerbitkan surat pemberitahuan untuk melarang keberadaan ojek online. Namun demikian, sebagian kalangan menilai bahwa pemerintah dalam hal ini dinilai terlalu terburu-buru sebab bagaimanapun juga keberadaan ojek di sekitar kita, juga ikut berperan dalam dunia transportasi, selain kendaraan roda empat atau tiga.
Azas Manfaat VS Azas Hukum
Terkait dengan keberadaan ojek, menurut anda mana yang seharusnya lebih diutamakan, apakah Azas manfaat atau Azas Hukum?
Maksud saya begini, bila ada sebuah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau pihak tertentu baik itu bersifat komersial atau non komersil yang memberi manfaat kepada orang lain atau kelompok tertentu, dan tidak merugikan pihak lainnya, haruskah itu dilarang? Bila pemerintah melarang keberadaan ojek sedangkan masih ada beberapa kalangan yang membutuhkannya, maka dalam hal ini pemerintah telah melanggar Azas Manfaat bagi sebagian orang.
Atau mungkin saja pemerintah juga telah mempertimbangkan azas manfaat dari keberadaan ojek tersebut namun disisi lain dalam praktiknya, ojek telah menimbulkan permasalahan baru yang berdampak luas  dan merugikan masyarakat pengguna jalan lainnya. Jadi, atas pertimbangan analisis cost and benefit tersebut,  maka keberadaan ojek dilarang.
Namun demikian, pemerintah juga tidak boleh sewenang-wenang dalam menentukan kebijakan. Bila memang pemerintah menilai bahwa keberadaan ojek memberi dampak negatif lebih besar daripada dampak positifnya, maka pemerintah juga harus bisa membuktikannya dan menyampaikan pertimbangannya di muka publik.
Kecuali bila memang nyata-nyata bahwa keberadaan ojek telah mengganggu ketertiban atau bahkan meresahkan masyarakat, bolehlah pemerintah melarang aktifitas mereka.
Kasus pelanggaran lalu lintas
Harus kita akui bersama, bahwa memang keberadaan ojek cukup berkontribusi di dalam penambahan kasus pelanggaran terhadap peraturan dan ketertiban lalu lintas dan tak jarang mengganggu pengguna jalan lainnya. Perilaku negatif para pengemudi ojek di ibukota yang seringkali kita temukan sehari-hari antara lain ; Â masuk jalur Busway, melawan arus, tidak memiliki SIM, berhenti atau parkir di tempat terlarang, ugal-ugalan dalam berkendara dll.Â
Tentu hal ini selain menambah jumlah kasus pelanggaran Lalulintas, juga dapat membahayakan keselamatan para pengguna lalulintas lainnya.
Namun demikian, persoalan pelanggaran lalu lintas adalah terkait dengan perilaku para pengendara ojek, dan  tak bisa dijadikan alasan untuk melarang kegiatan ojek yang ada. Bila memang terjadi pelanggaran lalu lintas yang dilakukan pengedara ojek, tentu bisa di tindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.Â
Manfaat dan Mudlarat
Khususnya di ibukota, keberadaan ojek bagi sebagian warga sangat membantu dan memberi solusi bila terjadi kemacetan atau sekadar ingin menyingkat waktu. Hal ini sebagai akibat adanya persoalan kemacetan lalu lintas dan masih rendahnya mutu angkutan umum yang tersedia. Disisi lain, pada kondisi tertentu. maka alternatif penggunaan jasa ojek menjadi pilihan demi menghemat waktu perjalanan. Jangankan warga biasa, para pejabat pemerintah hingga Presidenpun pernah memilih meninggalkan mobil dinasnya dan berganti menggunakan jasa ojek demi untuk menghemat waktu perjalanan.
Selain manfaat, tentu terdapat mudlarat atau kerugian yang diakibatkan adanya fenomena jasa ojek yang makin marak akhir2 ini. Apalagi jasa ojek sudah dioperasikan secara komersial dengan menggunakan teknologi internet, sehingga memberi kemudahan bagi para pengguna bila ingin menggunakan jasa ojek kapan saja dan dimana saja, dengan harga yang relatif murah.
Karena tertarik dengan kesuksesan bisnis ojek online ini, maka banyak pengusaha yang berlomba-lomba membangun bisnis yang sama. Hingga saat ini sudah tercatat bebarapa perusahaan yang mengelola jasa ojek secara profesional antara lain Go-Jek, Go-Box, Grab Bike, Grab Car, Blue Jek, Lady-Jekojek dll.
Namun demikian, kita juga harus 'fair' dalam menilai sebuah persoalan. Selain memberi manfaat kepada sebagian masyarakat, namun dampak lain yang tak kalah penting untuk diantisipasi adalah meningkatnya kasus pelanggaran peraturan dan ketertiban lalu lintas yang dilakukan oleh para pengemudi ojek.
Tentu saja antara manfaat dan mudlarat ini, akan menimbulkan tarik menarik kepentingan dari beberapa kalangan. Bagi para pengusaha ojek online, tentu mereka akan cenderung untuk mempertahankan bisnis mereka, mengingat tidak ada aturan perundang-undangan yang secara tegas melarang keberadaan ojek. Juga bagi para pengendara ojek adalah sebagai sumber mata pencaharian mereka. Namun disisi lain, pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan juga perlu mengambil langkah antisipatif demi menjaga  ketertiban lalu lintas di ibukota, mengingat fenomena bisnis jasa ojek online ini menunjukkan pertumbuhan yang sangat cepat.
Pemerintah tentu khawatir akan terjadi dampak negatif yang makin besar dengan adanya angkutan umum dengan kendaraan roda dua ini yang sementara ini belum ada aturan perundangan yang secara tegas mengaturnya.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan uraian diatas, dapat kita simpulkan bahwa keberadaan jasa ojek secara online ini bagai pedang bermata dua. Di satu sisi memberi dampak positif dalam hal pemanfaatan tenaga kerja dan memberi manfaat bagi sebagian warga, namun disisi lain telah menimbulkan dampak negatif yaitu dengan adanya penigkatan kasus pelanggaran terhadap aturan dan ketertiban lalu lintas yang dilakukan oleh para pengendara ojek sendiri.
Oleh karena itu, pemerintah dhi. Kementerian Perhubungan harus segera melakukan studi dan pengkajian secara menyeluruh terhadap permasalahan ini, bila perlu dengan menggunakan metode survey kepada seluruh masyarakat untuk mengukur manfaat atas keberadaan jasa ojek.
Karena menyangkut kepentingan umum, maka pihak Lembaga Legislatif (DPR) juga harus segera menentukan kebijakan agar diperoleh kepastian hukum melalui pembuatan Undang-undang, yang secara spesifik mengatur keberadaan angkutan umum yang menggunakan kendaraan bermotor roda dua.
Keputusan pemerintah yang melarang kegiatan ojek dalam hal ini semata-mata adalah sebagai konsekwensi hukum. Sebab untuk bisa membuat aturan hukum tentu diperlukan payung Undang-Undang sebagai hirarki hukum tertinggi yang pertama-tama harus dipatuhi.
Salam
@donibastian - 18/12/2015
Ilustrasi gambar : kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H