Alloh swt, menciptakan manusia bukan untuk bermain-main dan tanpa tujuan, tetapi memiliki hikmah kebaikan yang memantaskan peran manusia tersebut sebagai pengemban tanggung jawab kepemimpinan di muka bumi (khalifah).
Supaya manusia memahami peran dan fungsinya, maka Alloh swt, memberikan aturan normatif tentang tata cara pemakaian hidupnya, dalam bentuk hukum (syariat), yang akan mengantarkan kebaikan dan keselamatan baginya.
Landasan teologis tentang hal ini, bermula ketika Alloh swt, menjanjikan ketika Dia menciptakan segala sesuatu pasti memiliki tujuan dan tidak mungkin disia-siakan. Dia akan menjaga, memelihara dan mengatur ciptaan-Nya dengan sebaik-baiknya. Tentunya hal tersebut senada dengan penggunaan nama "Robb" yang melekat dengan nama Alloh swt, sebagaimana yang terdapat dalam pembukaan ayat Alquran yang pertama kali turun, Q.S. Al-Alaq: 1-5, yang bermakna bahwa Alloh swt, sebagai Tuhan yang telah menciptakan makhluk-Nya (ultimate creator), yang tidak pernah meninggalkan dan menelantarkan, tetapi Dia akan senantiasa mengawasi dan mengevaluasi proses "tumbuh-kembang-kematian" makhluk-Nya.
Hipotesis tentang penciptaan di atas, sekaligus mengejawantahkan kesalahan (fallacy) tentang Tuhan dalam paham sekularis, yang menganggap bahwa Tuhan hanya tau menciptakan, tetapi tidak tau cara untuk memelihara ciptaan-Nya, sehingga Tuhan menjadi entitas yang paling sombong, yang tidak memiliki peran lagi kepada ciptaan-Nya.
Sebagai objek ciptaan, manusia tidak lebih tau tentang dirinya, dibandingkan Alloh swt, yang menciptakan-Nya. Alloh swt, paling tau mana yang baik dan buruk bagi manusia tersebut. Dalam konteks penjagaan kehidupan manusia, maka Alloh swt, menurunkan hukum (syariat) untuk mengatur dan melanggengkan kehidupan manusia selama hidupnya.
Semisal, ketika seseorang membeli perlengkapan elektronika baru, pasti di dalam kardus pembungkusnya, terdapat buku panduan berupa hukum pemakaian yang harus diaplikasikan pemakai, agar alat elektronika tersebut dapat berfungsi dengan baik dan bertahan lama. Yang paling tau tentang pemakaian alat elektronika, bukanlah pemakai, tetapi pabrik yang menciptakannya, sehingga pabrik pasti tau apa yang paling dibutuhkan oleh ciptaannya, sebagaimana Alloh swt, lebih tau apa yang paling dibutuhkan manusia, sebagai hamba ciptaan-Nya. Berdasarkan uraian di atas, semakin terlihat sifat dasar hukum Alloh swt, adalah melindungi kepentingan makhluk-Nya. Dengan demikian, semakin relevan memahami maqosid syariah untuk merasakan kepedulian dan kedekatan Alloh swt, kepada makhluk-Nya.
Memahami Maqosid Syariah
Secara etimologi, maqosid syariah, terdiri dari dua kata, yaitu maqosid dan syariah. Maqosid artinya maksud atau tujuan, sedangkan syariah artinya hukum atau aturan yang ditetapkan Alloh swt, untuk kebaikan (kemashlahatan) makhluk-Nya di dunia dan akhirat. Secara terminologi, maqosid syariah adalah maksud atau tujuan diturunkannya hukum Alloh swt, yang terdapat dalam Alquran dan Hadis, yang memiliki nilai (value) perlindungan kepada manusia sebagai pengemban syariat, dengan tujuan untuk menyelamatkan kehidupannya di dunia dan akhirat.
Imam Asy-Syatibi menyatakan, "sesungguhnya syariat bertujuan untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat", Lebih lanjut, dia menyatakan tidak ada satupun syariat yang ditetapkan Alloh swt, tidak memiliki manfaat dan tujuan, karena syariat yang ditetapkan tetapi tidak memiliki tujuan, sama saja membebankan sesuatu yang tidak perlu dilaksanakan. Tujuan tersebut harus bermuara pada kebaikan (kemashlahatan) yang menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup manusia.
Di dalam Q.S Al-Anbiya: 107, dijelaskan tugas utama diutusnya Nabi Muhammad saw, adalah membawa rahmat bagi sekalian alam. Kalimat "rahmat", menunjukkan bahwa syariat yang dibuat Alloh swt (maqasid as-syari') mengandung kemashlahatan kepada makhluk-Nya, ketika mereka berada dalam "mainstream", setia untuk mengaplikasikan syariat secara praktis (maqasid mukallaf). Dapat dianalogikan pemetaan penggunaan syariat, seperti lampu rambu-rambu lalu lintas, yang memiliki beberapa warna dengan fungsinya masing-masing. Fungsi dari beberapa warna lampu rambu-rambu lalu lintas adalah mengatur para pengendara agar selamat dalam berlalu lintas.
Apabila pengendara, melanggar fungsi lampu rambu-rambu lalu lintas, maka dia akan celaka. Warna "merah", artinya dilarang untuk berjalan, dalam konteks syariah, dikenal dengan haram, dilarang melakukannya sehingga wajib ditinggalkan. Warna "kuning", selaras dengan syubhat, di dalamnya terdapat makna kewaspadaan, kehati-hatian dan keragu-raguan. Apabila terasa meragukan, sebaiknya ditinggalkan. Warna "hijau", selaras dengan halal, di dalamnya terdapat makna boleh untuk dilakukan dan terdapat kebaikan atau pahala bagi yang melakukannya.