Pecinta berarti orang yang bercinta, kata KBBI. Pencinta berarti orang yang sedang a.k.a berproses untuk mencintai, maka cintanya belum sampai kepada tahapan kesempurnaan.
Cinta menjadi tahapan tertinggi dalam fase kedekatan -taqarrub- kepada Allah swt., dalam dunia tasawuf, cinta sama dengan mahabbah. Cinta adalah segalanya, "Ketika cinta sudah memabukkan, kegilaanpun dianggap sebagai kewarasan, karena orang yang sedang bercinta, tidak pernah tersadar bahwa dia sedang mencintai atau tidak mencintai, karena cinta baginya telah membutakan."
Baca juga: Mungkinkah "Gempabumi" Menggantikan "Gempa Bumi" di KBBI?
Sampai di sini, saya sepakat dengan Rabiah al-Adawiah, "Cintanya kepada Allah swt., membuatnya tidak sempat untuk membenci siapapun". Dengan demikian, kata cinta hanya sepadan ditujukan pencinta kepada Allah swt.
Dalam Q.S. Ali Imran, 3 ayat 30, "Jika engkau mencintai Allah swt., maka ikutilah syariatNya, maka Allah swt., akan mencintaimu."
Secara umum, percintaan memang bisa terjadi di antara Sang Pencipta dengan Yang diciptakan. Khaliq love Makhluq.
Cinta bukan karena takut dan harap. Mengurangi kualitas cinta karena ekspektasi, seperti penghamba yang menghamba karena terbebani, terancam dan terpukul. Keterpaksaan karena takut jilatan neraka.
Baca juga: Perbedaan Kita, Kami, dan Kalian
Penghambaan karena iming-iming kenikmatan surga. Itu memang iman, tapi sadarlah, iman yang terhenti dalam ruang eksternal, seperti kulit yang tidak pernah menemukan bijinya.
Abu nawas, gegara cinta di antara harap dan takut, dia pernah bersyair, "Ya Allah, aku berharap masuk ke surgaMu, tetapi aku tidak layak untuk memasukinya, Ya Allah, aku takut masuk ke nerakaMu, tetapi aku tidak sanggup menahan siksanya".
Sebuah ungkapan mau tapi malu. Memang begitulah cinta, yang selalu dihiasi dengan perasaan malu, karena malu merupakan cinta itu sendiri, yang di dalamnya terdapat gelora iman.
Baca juga: Benarkah Pemahaman Anda Tentang Kata Pembelajar dan Pemelajar?