"Ceritakanlah padaku tentang penjelajah waktu," kata Alina pada juru cerita itu.
Maka Juru cerita itu pun bercerita tentang Rangga: Pada suatu hari yang baik, di malam yang cerah, langit sangat terang lantaran bulan bersinar penuh, bintang nampak bertebaran berkerlipan telanjang bulat dalam pandangan, Rangga mendapat keajaiban.
Hari itu Kamis malam Jumat Kliwon tiga bintang berjajar membentuk rasi waluku, konon kata para pinisepuh ini waktu posisi magis. Rangga yang sedang duduk sendirian mencangkung di warung kopi kaki gunung Blau melamun memandang langit yang luas.
Rangga termenung-menung mengagumi betapa menakjubkan langit malam itu. Begitu saat memandang ke sebelah timur. Sejurus ia mendapati terang benderang perpaduan kilatan cahaya aneka warna memancar memutar dalam gelombang mata pusaran mengecil lantas membesar.
Rangga penasaran. Beranjak dari kursinya, tinggalkan kopinya yang masih separuh. Ia memacu motor mendekati sumber cahaya. Hingga tiba di ujung bukit tempat biasa orang mendirikan tenda menjemput cahaya matari pertama.
Biasanya tempat itu selalu penuh dengan orang kemping. Tapi hari itu sepi sekali.
Ia malah mendapati sesosok manusia berkepala musang memakai mahkota sedang merapal puja mantra membelakangi ular naga besar sekali. Disekitar pusaran warna nampak burung beterbangan dengan sayap terkepak berkilauan warna emas semua.
Persis di dongeng dongeng yang diceritakan ibunya menjelang tidur. Dulu ibunya menyebutnya burung Phoenix.
Dari kabut yang tersibak akibat pancaran cahaya puspawarna nampak candi candi perwara yang mengingatkan kisah candi Murca. Cerita Mbah Jarwo, juru pijat yang mukim di Sagan ia dapat saat satu ketika pinggangnya nyeri berhari-hari.
Kisah candi Murca, candi yang terdiri sejumlah perwara mendampingi candi utama yang besarnya melebihi candi Bumi Sambara, menjadi dongeng Mbah Jarwo agar ia tetap terjaga saat membuang ngilu pinggang.