Tirip Sarpanaja sudah Sembilan tahun ini menjadi Ketua Partai Rawi Mtrbhmi. Pengalamannya di berbagai organisasi Rimba Raya berhasil menghantarkannya menjadi politisi gaek. Besanan dengan pendiri partai Rawi menjadikannya cepat loncat naik pesat. Dari kerani jadi ketua lantas mentri. Selepas pemungutan suara kemarin, naik lima kursi perolehan partainya buah dari menjilat Baginda sebagai kepala urusan niaga rimba raya.
Sri Maharaja Baginda Babi memang lihai sekali memainkan percaturan politik. Sempat menjadi oposisi, tetapi berubah Haluan dan mendukung mati-matian segala kebijakannya, Tirip Sarpanaja takluk dan tunduk begitu jatah posisi diberikan. Ini membuktikan bahwa tidak ada yang abadi di politik kecuali kepentingan itu sendiri.
Tirip Sarpanaja sangat baik dalam bergaul. Tak heran ia diterima semua kalangan baik kawan maupun lawan. Tidak hanya golongan tua. Golongan muda di partai juga dekat dengannya. Tirip selalu hadir menyokong kegiatan baik dukungan pendanaan maupun kehadiran untuk memberi pengarahan. Suatu ketika di sebuah konsolidasi kader muda di kedai kopi kaki Gunung Blau, ia dicecar pertanyaan oleh kader muda yang membara hatinya idealismenya belum luntur, dalam tajuk pembekalan kader muda AMM: Angkatan Muda Mtrbhmi.
"Pak Tirip, Mengapa Partai dalam slogannya memperjuangkan kepentingan rakyat, tetapi praktiknya justru mengkhianati rakyat saat sudah berkuasa?"
"Sekarang saya akan memberi tahu jawaban atas pertanyaanmu itu. "
"Partai mencari kekuasaan sepenuhnya demi kepentingannya sendiri. Kami tidak tertarik pada kebaikan orang lain; kami hanya tertarik pada kekuasaan, kekuasaan murni. Entah bagaimanapun itu caranya"
"Yang harus kamu sadari, bahwa tidak ada seorang pun yang pernah merebut kekuasaan dengan tujuan melepaskannya. Kekuasaan bukanlah sarana; itu adalah sebuah akhir. Seseorang tidak mendirikan dinasti untuk menjaga revolusi; seseorang melakukan revolusi untuk mendirikan dinasti. Objek penganiayaan adalah penganiayaan. Objek penyiksaan adalah penyiksaan. Objek kekuasaan adalah kekuasaan!"
Kader muda itu tercekat. Cangkir kopi di depannya ia seruput cepat cepat. Terus ia seruput padahal sudah tiris tinggal ampas saja. Persis petikan novel yang ia baca, kalimatnya diulang oleh orang yang begitu ia kagumi, namun kekaguman itu runtuh seketika mendengar jawabannya yang lugas soal kekuasaan adalah segalanya, perjuangan kesejahteraan rakyat adalah slogan belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H