Dalam satu Jung besar Samudera Raksa, nahkoda musti cakap dan piawai mengatur kendali. Kendali kelasi, kendali emosi harus diatur mengingat jarak tempuh, medan yang akan dijumpai mungkin bikin bahtera digulung ombak, dihantam badai, dipukul gelombang kalau tidak tatag dan teteg serta sehat fisik - ruhani, juru mudi meleng, kapal oleng para penumpang bisa tidak selamat.
Maka yang alim yang layak pegang kendali. Tahu medan, mengerti falak bukan titipan dari orang dalam. Mengerti aturan, bisa menjawab persoalan, tidak gentar pada berondong pertanyaan penumpang demi tenang di perjalanan.
Alim itu artinya berilmu. Sebab ilmu adalah cahaya bagi hati nurani, kehidupan bagi ruh dan bahan bakar bagi tabiat. Kalau ilmu kurang, redup hati nurani, matinya ruh, maka buruklah tabiat.
Orang yang berilmu, pasti mempunyai kapasitas untuk berbicara sebab tanpa ilmu, isinya tidak memiliki bobot sama sekali. Kalau ada yang mengolok-olok memilih nahkoda jangan yang hanya jago bicara, bagaimana bisa delegasi tugas bila tak pandai bicara. Bagaimana penumpang paham tujuan bila tak pintar ngomong sampaikan gagasan bernas.
Tapi yang paling penting dari awak Jung besar, harus ada penasehatnya. Mereka yang bijak harus diajak berlayar, mereka yang bestari pasti tak pernah lepas dari menggenggam cangkir Dongeng Kopi.
Coba saja perhatikan kalau tidak percaya! Rombongan yang menyertakan orang bijak bestari bersama secangkir kopi akan lebih tenang pembawaannya. Tidak kemrungsung dan anti murung!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H