Pada zaman dahulu kala di daerah Mangir, berkuasa Ki Ageng Wanabaya. Keturunan Brawijaya yang dari putra ke 43 dari jumlah putranya yang sampai 117.
Keputusan membuka daerah perdikan Mangir ia dapat setelah selesai bertapa lama di Gunung Merbabu. Lewat wangsit untuk membuka daerah di selatan Merapi, sekitar tempuran Kali Progo yang terhampar hutan kelapa.
Kelapa dalam budaya Jawa merupakan pralambang alam semesta.
Sebagaimana para ksatria mendapat gaman dan ajian setelah bertapa, bekal babat perdikan ia dapat sebilah keris sakti pemberian Sang Hyang Bahurekso Damalung.
Keris yang dapat membakar kulit meski tak sempat bersentuhan dengan hanya mencabut warangka.
Bersama sejumlah pengikutnya, Ki Ageng membangun peradaban di tepi timur kali Progo. Tanahnya yang subur, air yang cukup menjadikan bumi Mangir gemah ripah loh jinawi tata titi tentrem kertaraharja.
Setiap menjelang purnama, warga berduyun duyun menyambut dengan gegap gempita. Biasanya selain cawis sesaji, ungkapan rasa syukur lewat upacara adat, beberapa pusaka juga dihadirkan.
Tradisi Mangir, purnama penuh merupakan waktu istimewa. Simbol bersatunya mikrokosmos & makrokosmos, dimana saat energi dari Sang Hyang Murbeng Dumadi memancar sangat kuat.
Tersebutlah Endang Sawitri, putri Ki Demang Taliwangsa kadapuk mengambil beberapa pusaka di kediaman Ki Ageng atas perintah Sang Ayah.
Kehadiran pusaka memang wajib sebagai bagian ritual. Saat Sawitri menerima pusaka, Ki Ageng berpesan, jangan menaruh dipangkuan.