Penyataan bahwa kopi pertama kali hadir dibawakan kolonial, mustinya jangan diterus-teruskan. Kita mustinya menggali lagi jangan jangan kopi sudah duluan lewat perdagangan antar kerajaan masa Salakanagara di abad kedua.
Bisa saja itu narasi kopi diperkenalkan melalui persebaran kolonial tidak tepat tetapi terus dirujuk jadi catatan biar kita punya hutang budi bersama tanaman komoditas, seperti politik balas budi pendidikan gaya barat seolah-olah menjadikan bangsa yang beradab.
Padahal tradisi cantrik jauh sejak abad kelima dengan dua guru besar Sakyakirti dan Dharmapala.
Kopi kira kira seharusnya hadir sebelum penjelajahan samudera versi Gold, Glory, Gospel. Sebab ia sudah menjadi bagian cawisan sesaji. Bersama ayam cemani, pisang mas, kelapa, bunga, dan apem.
Secangkir kopi hitam pekat bagian ubarampe sesaji ini sejatinya kaya makna. Ayam cemani sebagai bagian keberuntungan dan penangkal sihir, pisang mas simbol kemakmuran sebab ia diambil dari pohon yang tidak akan mati sebelum berbuah dan bertunas baru, simbol regenerasi dan kebermanfaatan, kelapa sebagai simbol alam semesta tujuh lapis, bunga sebagai energi spiritual, melekat atas wanginya, simbol harapan yang diberkahi, apem yang bermakna dosa yang diampuni. Kopi sendiri adalah minuman yang disukai leluhur, sehingga tepat bila sesaji dianggap sebagai media komunikasi di era lampau.
Para Resi menyampaikan bahwa sesaji adalah simbol, sifatnya metaforis, simbol atas niat orang menyampaikan sesuatu, memediasikan pengalaman hidup, baik penderitaan yang sedang dialami, kemalangan ataupun sukacita dan harapan.
Sebagian cawisan juga disertakan dua cangkir lain yang berisi air putih, dan teh yang maknanya lika-liku kehidupan di dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H