Mohon tunggu...
Firman Sofyan
Firman Sofyan Mohon Tunggu... -

Penulis malas - Pemalas nulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Good Governance, Kaukah itu yang Membumihanguskan Entitas Negara Kami?

5 Maret 2014   22:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:12 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1393909657951738074

Sedikit Perkenalan tentang Good Governance

Pasca reformasi yang terjadi di Indonesia, terdapat perkembangan wacana yang luar biasa yang dimotori oleh Lembaga Donor Internasional serta akademisi dan praktisipolitik, ekonomi, maupun tata negara untuk mengubah haluan pengelolaan kekuasaan, kebijakan, dan distribusi public goods melalui konsep ‘government’ menuju ‘governance’. Secara konotatif, terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara konsep ‘government’ dan ‘governance’ yang mana perbedaan tersebut juga turut mempengaruhi jalannya aktivitas politik, ekonomi, serta kehidupan sosial-politik suatu negara. Konsep ‘government’ menekankan pada pemerintah sebagai aktor yang mempunyai posisi dominan dan determinasi yang tinggi dalam menentukan otoritas politik, manuver kebijakan publik, serta keberlangsungan kegiatan sosial maupun ekonomi. Sedangkan ‘governance’ lebih mengacu pada pengelolaan serta penyelenggaranpemerintahan guna meningkatkan pelayanan publik, pemberdayaan masyarakat, serta pembangunan ekonomi. Jika dalam perspektif ‘government’ pemerintah dilihat sebagai aktor (format), maka dalam perspektif ‘governance’ pemerintahan ditinjau melalui tata kelola serta jaringan penyelenggaraannya (substansi).

Lemahnya public trust terhadap pemerintah akibat tingginya tindak-tanduk KKN dan rendahnya produktivitas serta kinerja aparatur negara semakin meningkatkan tuntutan terwujudnya good governance dalam pengelolaan pemerintahan. Good Governance sendiri dianggap sebagai konsep yang ideal dalam proses pengelolaan pemerintahan yang perumusan dan implementasinya turut melibatkan civil society dan economic society serta menjunjung nilai-nilai demokrasi dalam pelayanan publik dan pembangunan ekonomi. Nilai-nilai yang dapat dijadikan assessment tersebut antara lain; akuntabilitas, transparansi, kepastian hukum, responsif, partisipatoris, konsensus, inklusif, efektifitas dan efisiensi.

Di dalam good governance, terdapat tiga pilar (Negara/Pemerintah, Private Sector, dan Masyarakat Sipil) yang memiliki peranan krusial masing-masing namun juga harus sinergis antara satu dan lainnya guna mewujudkan pengelolaan pemerintahan yang baik. Negara memiliki fungsi utama sebagai regulator yang menjamin presisi dalam pelayan publik serta melakukan kontrol terhadap iklim usaha yang sehat. Private Sector yang tidak hanya memiliki fungsi sebagai pelaku usaha serta penyedia lapangan kerja, namun turut berperan dalam penyediaan dan pengembangan comercial and public goods melalui upaya akuisisi serta privatisasi sektor-sektor  publik demi terciptanya pelayanan publik yang optimal dan profesional. Sedangkan Civil Society berfungsi dalam mengawasi akuntabilitas serta transparansi kinerja pemerintahan dalam pengelolaan pelayanan publik.

Menilik peran krusial serta keterkaitan satu sama lain antar tiga pilar good governance tersebut, akhirnya membangun paradigma bahwa keterwujudan good governance dapat dilakukan secara optimal apabila ditopang secara bersama-sama oleh; negara, civil society, serta keterlibatan private sector di dalamnya. Dalam good governance, negara beserta birokrasinya dituntut untuk melakukan pelayanan publik yang bersifat populis yang di saat bersamaan juga dilakukan secara profesional, sehingga di titik inilah diyakini bahwa keterlibatan private sector (yang dikenal profesional) dalam pengelolaan pemerintahan dapat mewujudkan prinsip-prinsip good governance tersebut.

Good Governance, Kaukah itu...

Namun konsep good governance yang selama ini telah dibangun serta diidam-idamkan dapat membawa pemerintahan dalam pengelolaan pelayanan publik secara ideal, accountable, inclusive, dan profesional seakan-akan runtuh dan menjadi ‘duri dalam daging’. Adanya fakta miris dan mengejutkan di awal tahun 2014 tentang dibuangnya  pasien miskin di RSUD Kota Bandar Lampung seolah menjadi representasi bahwa good governance masih menjadi sebatas konsep yang utopis untuk diharapkan keterwujudannyadi Indonesia.

Tragedi pembuangan pasien miskin tersebut seharusnya juga menjadi refleksi lemahnya entitas negara (sebagai regulator dan penyedia hak-hak dasar rakyatnya) terhadap super power aktivitas dan logika ekonomi. Partisipasi private sector yang pada dasarnya bertujuan guna meningkatkan profesionalitas negara dalam mendistribusikan pelayanan publik malah menimbulkan kekhawatiran baru dikarenakan infiltrasi nilai-nilai pasar berupa cost and benefit (yang menjadi landasan utama bergeraknya private sector) mengkonversi pelayanan publik yang seharusnya accessable bagi seluruh masyarakat menjadi bersifat eksklusif hanya untuk kalangan tertentu. Hal ini tentu ditakutkan membawa efek domino yang mempertegas disparitas ekonomi dan menimbulkan kecemburuan serta konflik sosial di tubuh masyarakat.

[caption id="attachment_298441" align="alignnone" width="475" caption="sumber gambar: screenshot film "story of stuff""][/caption]

Jadi patutlah kalau kita bertanya, “good governance, kaukah itu yang membumihanguskan entitas negara kami?”, ataukah memang “Si Pemerintah” sudah sangat nyaman berada di balik idiomatik-kultural masyarakat yang berceloteh, “Rakyat ga perlu program A, ga perlu program B, ga perlu visi-misi A, ga perlu visi-misi B, untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) cukuplah jadi pemerintah yang ga ngerepotin rakyatnya!”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun