Hari-hari terakhir bulan ramadan, masyarakat mulai disibukkan dengan kegiatan untuk menyambut lebaran. Mereka mulai membeli bahan-bahan makanan, kue kering, sirup, dan pakaian baru untuk menyambut datangnya hari kemenangan.
Bagi para perantau, kerinduan terbesar yang dimiliki adalah bertemu keluarga dan kerabat di kampung halaman. Maka kegiatan pulang kampung atau mudik menjadi tradisi yang setiap tahun dilakukan untuk melunasi rasa rindu tersebut.
Dua puluh tahun lebih meninggalkan kampung halaman, membuat saya akan senantiasa terkenang peristiwa-peristiwa mudik menjelang lebaran setiap tahunnya. Berbagai moda transportasi pernah saya coba, mulai dari kendaraan umum seperti bus, kereta api dan pesawat terbang hingga kendaraan pribadi seperti mobil, meski harus nebeng bareng teman.
Tahun 1999 saat Gus Dur terpilih oleh anggota DPR/MPR sebagai presiden, para perantau diberikan kesempatan pulang kampung naik kereta api tanpa dipungut biaya. Cukup dengan menunjukkan KTP dengan domisili Jawa Tengah dan Jawa Timur, saya dan para pemudik lainnya bisa menikmati fasilitas mudik gratis dengan kereta apai kelas ekonomi ini.
Kondisi kereta api saat itu tak senyaman beberapa tahun belakangan ini. Naik kereta apai ekonomi apalagi pada saat mudik lebaran artinya kita harus bersiap-siap berdesak-desakan dalam gerbong. Beberapa jam sebelum jam keberangkatan para pemudik sudah datang ke stasiun. Saat kereta tiba, siapa yang nantinya masuk duluan maka dialah yang punya peluang besar memperoleh kursi untuk duduk.
Saat itu saya tidak kebagian tempat duduk dan terpaksa naya bisa berdiri di area bordes. Penderitaan sepanjang perjalanan harus saya alami dari Tanah Abang menuju Poncol Semarang. Dalam posisi berdiri, saya bahkan tidak bisa bergerak sama sekali karena begitu padatnya penumpang.
Bisa dibayangkan betapa panasnya berada di dalam gerbong tanpa AC yang penuh sesak penumpang. Sesekali kereta berhenti di daerah yang gelap, menunggu kereta yang lainnya untuk melintas di rel sebelahnya. Gerah luar biasa! Atau ketika kereta berhenti di stasiun, para penumpang yang turun akan digantikan dengan penumpang lainnya yang naik dalam jumlah yang sama banyaknya.
Perjalanan dari Tanah Abang sore hari, akhirnya sampai di Semarang pada dini hari, sekitar jam 3 pagi. Selama 10-an jam berdiri sepanjang perjalanan yang tak terlupakan itu. Sesampainya di stasiun Poncol, saya segera duduk selonjoran di lantai peron. Hampir satu jam saya 'menikmati' selonjoran ini, untuk membayar rasa pegal yang saya alami.
Selain berdesakan, mudik lebaran juga identik dengan kemacetan. Kisah mudik berikutnya adalah perjalanan dengan bus sekitar tahun 2009. Berangkat dari Tangerang sekitar jam 5-6 sore, bus keluar tol Cikampek jam 9 malam. Bus mulai terkena macet, dan saya akhirnya tidur jam 9-10 malam itu.
Pagi harinya saya bangun, dan bus masih terkena macet dan masih berada di jalur pantura Cikampek. Sekian lama bus tidak bergerak sama sekali, beberapa penumpang memanfaatkan kesempatan ini untuk turun. Ada yang menikmati sarapan mie instan yang dijual penduduk di pinggir jalan, bahkan ada pula yang menumpang cuci muka dan mandi di rumah penduduk
Kemacetan menjadi sesuatu yang akrab saat mudik lebaran. Perjalanan yang normalnya 12 jam dari Tangerang menuju Pati, bisa molor hingga 18-24 jam! Tidak ada yang perlu disesali, cukup nikmati saja kemacetan setiap mudik lebaran.