Mohon tunggu...
adhitya trihadi
adhitya trihadi Mohon Tunggu... -

seorang mahasiswa yang menginginkan Indonesia Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Tolok Ukur "Mampu" dalam Premium Bersubsidi

30 Juni 2011   04:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:03 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

"Premium Adalah BBM Bersubsidi Hanya Untuk Golongan Tidak Mampu." Kalimat di atas mungkin sering kita lihat berada di SPBU. Menurut saya kalimat ini kurang tidak tepat. Logikanya begini, yang namanya seseorang membeli kendaraan (baik motor/mobil) adalah orang yang mampu. Karena ia memiliki uang untuk membelinya. Walaupun membeli kendaraannya dengan kredit, pasti sebelum memulai kredit kan mengisi "formulir kesanggupan membayar iuran pelunasaan kredit." Sebelum membeli suatu kendaraan kan pasti di pikirkan "kalau saya punya kendaraan saya pasti isi bensin, kalau saya tidak mampu beli bensin ya buat apa saya beli kendaraan ?" Orang yang membeli kendaraan pasti secara tidak langsung "menyanggupi" dirinya sendiri, untuk membeli bensin kendaraannya. Solusi yang tepat menurut saya adalah "pembatasaan produksi kendaraan." Setiap tahun produksi kendaraan di negara kita terus meningkat, artinya jika permintaan pasar tinggi sama dengan rakyat berkecukupan. Karena mampu membeli kendaraan bukan ? Apalagi jaman sekarang sudah ada istilah Down Payment (DP), dengan uang Rp 500.000 saja kita sudah bisa membawa sepeda motor yang kita inginkan. Hal ini membuat kita jadi malas menggunakan angkutan umum, karena menurut kita dengan membawa kendaraan pribadi lebih cepat, hemat & efisien. Dengan adanya pembatasan kendaraan, akan memaksa kita beralih kembali ke angkutan umum. Fungsi angkutan umum jadi lebih maksimal dan membuat jalanan bebas macet serta pengurangan polusi udara. Tentunya hal ini harus di dukung pula dengan kondisi prasarana angkutan umum yang memadai pula. Jadi hemat saya, penggunaan dan penerapan kata "mampu" harus lebih di cermati kembali. Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun