Televisi, menjadi inkubator pembudidayaan budaya alay. Diharapkan nantinya, tontonan semacam ini menjadi standar dalam pergaulan sehari-hari bangsa Indonesia.
Hiburan cepat saji, murah meriah adalah menonton TV. Tinggal pencet remot, maka pikiranpun senang dan hati jadi tenang. Televisi seperti memiliki kekuatan gaib. Kalau sudah 'terpelet', tak bisa berpaling darinya.
Psikolog dari University of Manitoba, Robert McIlwraith meneliti, mengapa orang menonton TV. Ternyata, secara umum orang memanfaatkan tayangan TV untuk mengalihkan perhatian. Berikut beberapa alasan yang menyebabkan orang menonton atau hanya menyalakan TV:
- Sedih
- Kesepian
- Marah
- Khawatir
- Sekadar bosan saja
Salah satu dari alasan itu, selalu terjadi pada diri kita setiap hari. Indonesia memiliki 14 stasiun TV nasional dan sekian puluh TV lokal dengan jam tayang hampir 24 jam. Tinggal pilih sesuai mood kita saat itu.
Saya kenal seorang Ibu, dengan anak-anak yang sudah dewasa. Untuk mengisi waktu luang, selain nonton sinetron India dia juga gemar menyetel acara alay dari pagi sampai sore. Apakah si Ibu benar-benar nonton acara itu dengan serius sampai akhir?
Belum tentu, karena biasanya dia sudah ketiduran begitu iklan ketiga. Artis-artis yang ngobrol ngalur ngidul, penuh canda dan tawa membuat suasana rumahnya jadi meriah. Suara TV, sebagai pengalih perhatian dari rasa kesepian.
Lebih dari sekedar penghibur lara, TV ternyata sudah bisa pula menjaga anak. Ah yang benar?
Mama muda sebelah rumah saya, pagi-pagi biasanya menghidupkan TV dengan volume lumayan kencang. Sembari Mama sibuk sana-sini, meyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Anak balitanya, disuruh duduk manis di depan TV. Suara dan gambar menghipnotis anak untuk tidak bergerak. Pemandangan ini sekarang makin sering kita temukan di Indonesia
Saat terpaku, menonton tayangan TV, kita dalam mode Inersia Atensi. Berasal dari bahasa Latin Iners - malas. Inersia Atensi - perhatian yang membuat tubuh malas bergerak dan otak malas berpikir. Tontonan yang ditayangkan saat ini, akan terlihat pengaruhnya dimasa depan.Â
Jerome Singer, seorang Psikolog di Yale University, menyatakan orang yang terlalu banyak menonton televisi sejak masa kanak-kanak tumbuh dengan kehidupan fantasi yang kurang. Bagi mereka, menonton televisi pengganti imajinasi mereka sendiri."
Kekuatan Super SubliminalÂ
Perubahan sosial dan gaya hidup, mempengaruhi amanya waktu dan pilihan acara TV yang ditonton.Â
Suatu sore, sambil menyapu halaman saya mendengarkan obrolan anak-anak yang lewat. Queen,bocah perempuan kelas 5 SD, kulihat memperagakan monolog berikut di hadapan teman-temanya yang cekikikan.
".....eh ada sampah ....eh itukan foto mantan...... ih mantan kan barang bekas...... barang bekaskan sama dengan sampah..."
OMG dari mana anak segede biji kedelai, mendapat ide lawakan sekelas Nikita Mirzani begitu. Jawabnya, apa yang mereka lihat di televisi , you tube, atau media sosial.
Televisi memiliki kekuatan subliminal - daya mempengaruhi dan membentuk persepsi penonton. Apa yang tayang di TV, film dan media sosial, menjadi rujukan dan membentuk persepsi masyarakat. Super power inilah, yang kemudian dihubungkan dengan dampak tayangan alay yang sudah mulai diributkan orang.
15 tahun yang lalu, kemunculan stasiun TV swasta diikuti dengan hadirnya lembaga pengukur rating tayangan  di Indonesia. Rating mengambarkan seberapa banyak orang yang menonton suatu tayangan. Sejak itu, rating selalu dijadikan alasan stasiun TV untuk melanjutkan atau menghentikan tayangan. Crew TV,  melakukan segala daya upaya demi rating dan kelangsungan hidup acara mereka. Termasuk, menyelipkan trik murah meriah yang dianggap ampuh mengerek rating.
Trik - trik tayangan alay menurut CNN Indonesia
- Tamu RahasiaÂ
- Mengejek Lawan Main
- Drama dibalik layar
- Memancing tawa dengan jargon khasÂ
- Skandal Settingan
- Kehadiran pria kemayu.
Tidak ada yang baru dari daftar di atas. Salah satu sampai salah tiganya, selalu  dipakai dalam berbagai Â
jenis tayangan. Tetapi untuk menjadi tayangan dengan rating tinggi, bumbu-bumbu di atas perlu dilebihkan dibeberapa bagian sehinga mendapat predikat 'ALAY'
Kejutan yang membuat bintang tamu merasa malu atau marah adalah yang paling laku. Adu argumen, yang tidak masuk akal . Saling memancing emosi pemain, dengan membuka aib masing-masing. Semakin memalukan, konon semakin bagus ratingnya.Â
Vicky Prastyo contohnya, diajak main dalam tayangan 'alay' bukan karena tampan atau pinter. Kepandiran tingkat tingginya, adalah bahan lelucon tiada habis bagi lawan main. Biasanya, setelah lepas kendali kata-kata  yang tidak sopan kemudian meluncur tanpa  sempat disensor.
Berulang kali, ditegur soal ejek mengejek lawan main. Tetapi terus terjadi, Â mau tahu kenapa?
IMO - menurut hemat saya ada hubunganya dengan budaya Indonesia.Â
Pertunjukan drama tradisional, sudah dikenal sejak zaman nusantara belum bernama Indonesia. Â Biar mudah, kita pakai contoh adalah Lenong dari Betawi. Menggunakan bahasa Melayu dialek Betawi, bahasa pengantar Lenong bisa dimengerti semua etnis. Sebab itu ejek mengejek, ala Lenong adalah yang paling sering digunakan pada tayangan varietry show.
Julukan  yang menyangkut cacat fisik, atau membandingkan manusia dengan benda lain adalah trik memancing tawa. Masih kenal dong, sama yang namanya Bokir, Bolot, Boneng. Nama pangung  mereka, adalah julukan dari cacat fisik atau ejekan yang biasa mereka lakukan di atas pentas.
Tak cuma Lenong, seni pertunjukan tradisional daerah lain pun sami mawon. Adalah Ketoprak, seni pertunjukan tradisional Jawa yang sukses menjadikan lelaki kemayu sebagai bintang panggung. Kabul alias Tessy, orbitan dari paguyuban seni pertunjukan tradisional Ketoprak.Â
Mantan prajurit KKO ini, sudah jadi Tessy sejak Srimulat masih main di Taman Sriwedari-Solo. Tessy bukan banci biasa, lebih cocok masuk kategori Drag Queen. Tetap jantan, dalam pakaian wanita.Â
Lagi pula dahulu, nampaknya kita masih berpikir waras. Dapat memisahkan yang mana cuma sekedar lakon ( acting),yang mana bencong sejati. Tidak ada bencong, yang mau pakai cincin segede-gede dosa begitu.
Penampilan lelaki kemayu, mulai bikin pusing ketika mereka ramai berseliweran di TV. Adalah Olga, Ivan Gunawan, Ruben Onsu dengan gaya bencong kekinian sebagai trend setter tampilan lelaki kemayu. Saya bingung, haruskah memasukan idola saya Nazar Sungkar dalam barisan ini.
Bahasa tubuh dan kepribadian pria-pria cantik ini, jadi mesin produksi tawa yang tak lekang oleh waktu.Â
Penggerek rating, sekaligus penggali lubang kubur bagi idealisme program TV.Â
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), tahun 2016 sempat mengeluarkan larangan media massa menampilkan Waria dalam tayangan dan iklan. Pelarangan itu niatnya baik, mencegah generasi muda Indonesia dari paparan "virus" LGBT yang katanya sedang mewabah. Alamak, LGBT bukan virus flue yang bisa menular begitu saja saat bencong bersin.Â
Ada truma masa lalu, ada faktor genetik dan lain-lain yang membuat manusia akhirnya mengidentifikasi diri ke dalam salah satu huruf LGBT itu. Alasan yang paling masuk akal, untuk mencegah tampilan lelaki kemayu ini adalah kita semakin permisif. Semakin sering menonton lelaki-lelaki kemayu tampil di TV akhirnya mengangap mereka normal saja.
Mengangap mereka normal saja, seperti pisau bermata dua. Baik, untuk kehidupan sosial para pelaku LGBT yang kadang diperlakukan kelewat batas oleh manusia lain yang merasa normal. Buruk, LGBT seperti pengeroposan tulang yang melemahkan sendi agama, tatanan sosial dan moral bangsa.
Jadi maksud  loh, tontonan alay itu tinggal meneruskan saja apa yang sudah ada. Kontent tontonan alay itu merupakan bagian budaya Indonesia begitu ?
Kalau mau jujur, iya begitulah adanya kita.Â
Difinisi budaya itu adalah : Suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari berbagai unsur yang rumit, termasuk sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni.
Seperti yang kita obrolin di atas, ejek mengejek dengan julukan, sudah berkembang dan dimiliki dalam konteks ini dimegerti oleh semua anggota komunitas. Akhirnya, menjadi bagian budaya "bercanda" kita.Â
Lalu kenapa perlakuan tontonan alay berbeda dengan seni pertunjukan tradisional ?
Paparan budaya hiburan dan canda tradisional, sporadis dan terlokalisir (istilah zaman orde baru) Sporadis, karena setiap daerah punya gaya berbeda. Gaya canda Betawi, tidak cocok dibawa ke Padang. Terlokalisir, lokasi dan waktu pentas amat terbatas. Drama hiburan tradisional, tidak main dari sahur sampai beduk Magrib. Tidak juga manggung, 7 hari dalam seminggu di 15 stasiun TV.Â
Jadi maksudnya,tidak ada alasan untuk melarang tayangan alay?
Siapa bilang! di hutan saja ada Hukum Rimba apa lagi di televisi.
Stasiun penyiaran televisi dan radio termasuk media massa, mempunya fungsi sosial dan terikat dengan peraturan perundang-undangan.
Tayangan televisi, harus bermuatan idealisme dalam membentuk watak dan moral anak bangsa. Seperti buku panduan tertib berlalu lintas, ada rambu-rambu yang mesti dipatuhi.
Standar Perilaku Penyiaran
Komisi Penyiaran Indonesia menyusun standar perilaku, yang harusnya wajib dipatuhi. Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
Karena itu, isi siaran dilarang:
- Bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohongÂ
- Menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarangÂ
- Mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golonganÂ
- Memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.
Masalah kehidupan pribadi dapat disiarkan dengan ketentuan sebagai berikut:
- Tidak berniat merusak reputasi objek yang disiarkan;Â
- Tidak memperburuk keadaan objek yang disiarkan;Â
- Tidak mendorong berbagai pihak yang terlibat dalam konflik mengungkapkan secara terperinci aib dan/atau kerahasiaan masing-masing pihak yang berkonflik;Â
- Tidak menimbulkan dampak buruk terhadap keluarga, terutama bagi anak-anak dan remaja;Â
- Tidak dilakukan tanpa dasar fakta dan data yang akurat;Â
- Menyatakan secara eksplisit jika bersifat rekayasa, reka-ulang atau diperankan oleh orang lain;Â
- Tidak menjadikan kehidupan pribadi objek yang disiarkan sebagai bahan tertawaan dan/atau bahan cercaan; danÂ
- Tidak boleh menghakimi objek yang disiarkan.
Perlindungan Kepada Orang dan Masyarakat Tertentu
Program siaran dilarang menampilkan muatan yang melecehkan orang dan/atau kelompok masyarakat tertentu, seperti:
- Pekerja tertentu, seperti: pekerja rumah tangga, hansip, pesuruh kantor, pedagang kaki lima, satpamÂ
- Orang dengan orientasi seks dan identitas gender tertentuÂ
- Lanjut usia, janda, dudaÂ
- Orang dengan kondisi fisik tertentu, seperti: gemuk, ceking, cebol, bibir sumbing, hidung pesek, memiliki gigi tonggos, mata julingÂ
- Tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunadaksa, tunagrahita, autisÂ
- Pengidap penyakit tertentu, seperti: HIV/AIDS, kusta, epilepsi, alzheimer, latah; dan/atauÂ
- Orang dengan masalah kejiwaan.
Ungkapan Kasar dan Makian
- Program siaran dilarang menampilkan ungkapan kasar dan makianÂ
- secara verbal maupun nonverbalÂ
- yang mempunyai kecenderungan menghina atau merendahkan martabat manusiaÂ
- memiliki makna jorok/ mesum/cabul/vulgar, dan/atau menghina agama dan Tuhan.Â
- Â Kata-kata kasar dan makian tersebut mencakup kata-kata dalam bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing.
Sanksi administratifnya dapat berupa:
- Teguran tertulisÂ
- Penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentuÂ
- Pembatasan durasi dan waktu siaran;Â
- Denda administratif;Â
- Pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu;Â
- Tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran; atauÂ
- Pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran
S O P jelas, sanksinya tegas, kenapa  demi rating semua dianggap angin lalu.Sampai saat ini AC Nielsen adalah satu-satunya perusahaan yang menyediakan catatan rating untuk media cetak, elektronik maupun perusahaan periklanan di Indonesia. Hellen Katherina- Executive Director Media Businesess Nielsen Indonesia,  menyatakan tidak ada sama sekali campur tangan pemerintah dalam urusan rating  tayangan media massa yang selama ini dilakukan perusahaanya.Â
Jadi soal rating itu cuma urusan AC  Nielsen dan Stake Holder Industri Pertelevisian. Kementrian yang berwenang menjaga budaya, harkat dan martabat bangsa tidak mengangap rating penting. Jadi selama ini  AC  Nielsen dan Industri Pertelevisian, bebas bermain-main kartu soal tayangan apa yang akan ditonton oleh seluruh rakyat Indonesia.Â
Nampaknya, ada upaya agar tayangan alay tetap berada di puncak rating. Jangan salahkan saya beropini, televisi menjadi pusat pembudidayaan  budaya  alay. Diharapkan nantinya, tontonan alay ini menjadi standar dalam pergaulan sehari-hari  bangsa Indonesia.
Orang -orang 'pinter' dan berkuasa di stasiun TV, tidak mau membayar biaya lebih untuk memperbanyak jumlah responden. Penambahan jumlah responden, akan memberikan gambaran yang lebih mendekati situasi nyata di lapangan. Kenyataan yang mungkin akan membuat tontonan alay tutup.Tampilan, tidak dinilai dari unsur layak-tidak tapi menghasilkan duit atau tidak. Jangan-jangan rating itu cuma kambing hitam dari kapitalis televisi rakus  menyedot untung dari murahnya biaya produksi tayangan alay.Â
Percuma dong, kita kasak-kusuk soal tayangan yang tidak mendidik. Bila, awalnya perkara yaitu responden rating  tidak pernah jadi target bahasan.
Ingin tayangan yang lebih baik, bukan dengan menganti chanel TV. Tapi 'memaksa' pemerintah  campur tangan. Benahi, alasan apa yang bikin tontonan begitu  bisa nongol di TV***donapalembang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H