Tulisan ini baru tayang sekarang,karena tak mau membuat sirik  Kompasianer yang sudah mengeluarkan tenaga,waktu dan mungkin biaya untuk urusan administrasi kependudukan yang dibikin ruwet ini. Begitu mudah dan santai saya berurusan,sehingga cerita ini tidak sexy untuk jadi HL . Baiklah,baca dulu cerita saya baru yakin semua indah pada waktunya.
Pada pertengahan  tahun 2012 Ibu RT  yang kebetulan ketemu dilapak penjual sayur menginformasikan sudah ada ada nama kami dalam print out  pangilan rekam e-KTP. Karena kepo,langsung saya mengikuti Bu RT pulang ke rumahnya. Nama-nama warga se RT dicetak dalam font ukuran 6  pada berlembar-lembar kertas. Tidak ada surat panggilan,warga yang terdampak euporia  e-ktp gelombang pertama di kota Palembang, ramai-ramai datang dan memeriksa sendiri nama mereka dalam print out  sekecil biji Kenain.
Waktu itu kami masih tinggal  tak jauh dari Kantor Camat,berkalang tembok saja.Tak berapa lama setelah daftar nama itu keluar,Kantor Camat sudah diserbu warga.Selang beberapa hari kemudian, 4 unit tenda dan kursi sudah di buka di halaman.Â
Suasananya darurat sekali,seolah-olah ada yang mengejar-ngejar warga melakukan perekaman e-KTP. Perekaman ini harus selesai dalam 3 bulan,yang tidak ada e-KTP akan susah mengurus surat menyurat nantinya . Bisik -- bisik tetangga yang terdengar betapa bahayanya kalau sampai tidak bersegera  melakukan perekaman e-KTP. Sambil duduk-duduk nonton TV di rumah,saya dengar petugas terus memanggil peserta antrian sampai lewat tengah malam.Â
Proses perekaman, sudah berlangsung beberapa minggu saya dan keluarga belum juga ikut antri. Saya bukan pejabat jadi tidak terlalu repot. Tidak juga terkendala jarak,literaly bisa langsung manjat tembok dan tiba di halaman Kecamatan.Mengapa saya belum juga masuk antrian?
Pertama,tidak ada urgensinya saya perlu memegang e-KTP saat itu juga.Semua dokumen,bahkan KTP lama saya masih berlaku sampai beberapa tahun ke depan. Ke dua, teori wawasan nusantara. Indonesia Raya ini begitu luas dengan jumlah penduduk yang super duper banyaknya.Kecuali,Tuhan campur tangan maka tidak mungkin urusan rekam merekam selesai dalam 3-6 bulan. Saya optimis,masih ada bulan bahkan tahun-tahun berikutnya untuk rekam e-KTP. Ke tiga, tidak sering latah ikut-ikutan sesuatu. Berhenti sejenak untuk berpikir,rasanya kok tidak masuk akal maka saya tidak ikut-ikutan.
Satu bulan berjalan, baca berita banyak  alat rekam yang dipaksa kerja Rodi akhirnya collapse. Berangsur-angsur antrian mulai surut, tenda dan kursi sudah di buka. Iseng-iseng mengisi waktu sebelum masuk shift siang,saya mengajak keponakan mampir ke Kantor Camat. Suasana ruang perekaman sunyi sepi, cuma saya dan beberapa petugas. Keponakan saya suruh pulang dulu, untuk memanggil Ibunya biar sekalian rekam E-KTP. Karena cuma kami berdua, semua berjalan cepat dan santai saja.Kakak,bahkan sempat minta foto ulang karena tidak puas dengan hasil foto yang pertama.Proses mengisi formulir,rekam sidik,retina,foto dan tanda tangan selesai kurang dari 30 menit.Sebelum pulang,petugas input data mengingatkan untuk mengganti Kartu Keluarga,karena NIK nya sudah berubah.
Sekitar dua bulan kemudian, menjelang sore beberapa tetangga terlihat mendatangi Kantor Camat.  Kabarnya,sudah ada e-KTP yang jadi. Tanpa membuang waktu,capcus langsung ke TKP. Meskipun  tidak terlalu berharap e-KTP sudah jadi,mengingat kami termasuk yang paling akhir direkam. Petugas itu, terlihat lelah di kerumuni tetangga-tetangga saya yang ramai berkicau.Â
Akhirnya karena kami semua dari satu RT,ia menunjuk  satu kotak yang sudah ditandai menurut RT. Bergantian kami memeriksa bergepok-gepok e-KTP yang di ikat karet gelang. Wkkkkk ternyata e-KTP kami sekeluarga sudah tercetak. Tersenyum lebar,saya menandatangani bukti pengambilan.Keesokan harinya, di kantor saya membuat sirik teman-teman yang duluan rekam tapi belum jadi.
Cerita berlanjut ke bulan Januari 2018. Setelah gagal melakukan registrasi kartu prabayar, karena NIK tidak cocok. Jadi teringgat,urusan yang belum selesai di tahun 2012. Awalnya,saya berniat ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Tapi lokasinya yang cukup jauh dari rumah dan jalanan Kota Palembang yang sedang musim macet. Ah, iseng-iseng kembali lagi menemui petugas Kecamatan yang dulu mengingatkan soal urusan NIK ini.
Lelaki separuhbaya itu,ketak-ketik keybord  lalu mengambil kertas kopelan kemudian menulis sederet  angka. Sambil menecis kopelan NIK pada KK asli , ia berpesan jangan lupa KK ini harus diperbarui.Dengan penuh khikmat saya menganguk padanya.Â